Kampanye Akar: Detik Terakhir Migrasi Suara

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 10 Februari 2024 12:04 WIB
Para pendukung Prabowo-Gibran dalam kampanye akbar di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Pusat, Sabtu, 10 Februari 2024.
Para pendukung Prabowo-Gibran dalam kampanye akbar di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Pusat, Sabtu, 10 Februari 2024.

Jakarta, MI - Tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Cak Imin) nomor urut 01, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, nomor urut 02 dan Ganjar Pranwowo, nomor urut 03, menggelar kampanye terbuka terakhir atau kampanye akbar pada Sabtu (10/2).

Kampanye terbuka, seperti halnya yang sudah-sudah dan hampir terjadi di negara berkembang akan ditandai dengan aktivitas panggung dan diwarnai hiburan musik dan joget bersama. Hal ini juga kemungkinan akan terjadi dalam kampanye pamungkas Pilpres 2024.

Pengamat politik dari BRIN, Aisah Putri Budiarti menjelaskan, pada tahap ini sebelum mengetahui hasil pemilu nanti, dan sebagai titik akhir, maka kampanye riang gembira menjadi cara bagi capres-cawapres untuk berterima kasih kepada seluruh pendukungnya selama ini.

"Di luar itu, ada simbolik bahwa pemilu adalah kegembiraan demokrasi sehingga acara musik menghibur rakyat menjadi bagian dari upaya memaknai itu,” kata Puput sapaannya dikutip pada Sabtu (10/2).

Namun, dibalik itu juga terdapat upaya pembuktian masing-masing kandidat dalam mengumpulkan massa besar yang bisa menunjukan siapa yang memiliki pendukung besar. Dan secara psikologis akan mempengaruhi pandangan pemilih tentang mampu atau tidaknya menang pemilu.

Ia menambahkan kampanye akbar juga berdampak pada keyakinan pemilih terhadap peluang jagoannya untuk menang. "Oleh karena itu, capres-cawapres memilih berkampanye di tempat yang besar [dapat mengumpulkan massa masif] dan di wilayah yang merupakan basis massa pendukungnya,” katanya.

Berdasarkan sejumlah jajak pendapat yang dilakukan sejumlah lembaga survei menunjukkan masih adanya pemilih bimbang atau undecided voters. Angkanya dikisaran 3,1 - 8,5%.

Menurut Pengamat politik dari Universitas Padjajaran, Firman Manan, karakter pemilih bimbang ini baru akan tergerak memiliki setelah memperoleh informasi terakhir mengenai para kandidat. Oleh karena itu, dalam kampanye akbar perlu ada ‘kejutan’ yang tak biasa dari masing-masing paslon untuk menarik simpati pemilih bimbang.

“Kalau tidak ada kejutan yang luar biasa, terutama di akhir itu, saya pikir mungkin [kampanye pamungkas] menjadi salah satu faktor iya, tapi tidak jadi variabel utama,” kata Firman.

Ia melanjutkan, kalau pun nantinya tidak ada kejutan yang berarti, pemilih bimbang akan tetap memperhatikan kejadian ‘blunder’ dari masing-masing paslon. Lebih dari itu, pemilih juga bisa menyeberang pilihan.

“Atau bicara ekstrem ada blunder dilakukan misalnya, di kampanye terakhir. Itu juga punya potensi di detik-detik terakhir bisa akan ada migrasi suara,” tandas Firman.