Pemilu 2024, Bawaslu Kurang Tegas dan Berwibawa "Dalih Tak Cukup Bukti Lindungi Peserta Pemilu?"

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 23 Februari 2024 15:28 WIB
Aksi unjuk rasa yang diikuti sekitar 300 orang di depan Kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Senin (19/2/2024)
Aksi unjuk rasa yang diikuti sekitar 300 orang di depan Kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Senin (19/2/2024)

Jakarta, MI - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) kini memiliki wewenang baru dalam penanganan pelanggaran administrasi dari yang semula berupa rapat kajian menjadi persidangan terbuka. Batu ujian pertama sudah dilalui yakni menangani dugaan pelanggaran administrasi yang disampaikan parpol-parpol bakal calon peserta pemilu 2019 lalu.

Bagaimana pemilu 2024 ini? Pengamat menilai Bawaslu terlalu sibuk mengurusi perkara teknis. Bahkan dinilai kurang tegas merespons sejumlah indikasi pelanggaran Pemilu 2024.

Bawaslu bisa mencari dan mengungkap aktor utamanya. Sebab bagaimanapun kepercayaan publik jadi taruhannya. Kata pengamat kebijakan publik, Riko Novintoro, bahwa Bawaslu adalah lembaga negara yang memang bertugas dalam bagian penegakan demokrasi yang tentunya haru berwibawa dan tegas.

"Pemilu 2024 ini, Bawaslu memang terlihat kurang tegas dan tidak berwibawa. Beberapa kasus pelanggaran yang terlihat sepatutnya diberikan peringatan keras. Tidak membiarkan. Agar ada kepercayaan publik terhadap Bawaslu," ujar Riko kepada Monitorindonesia.com, Jum'at (23/2).

Pernyataan Riko ini seakan merespons pemberitaan Monitorindonesia.com, pada beberapa waktu atau di hari tenang masa pemilu 2024 lalu. Bahwa di masa itu, alat peraga kampanye (APK) atau lainnya harus dilepas oleh partai dan caleg tertentu sesuai aturan dan perundang-undangan yang sudah ada.

Namun nampaknya tidak berlaku bagi salah satu mobil mini bus berlogo partai dan calon anggota legislatif (caleg) wara-wiri di Jl. Jalan Bhakti III Kemanggisan, Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat (Jakbar) pada Senin (12/2/24) sekira pukul 22.57 WIB malam. 

https://inapos.com/wp-content/uploads/2024/02/IMG_20240213_164847.jpg
Minibus caleg DPRD DKI Jakarta (Foto: Dok MI/Nal)

Mini bus yang bertuliskan dan bergambar itu ialah caleg atas nama Prihadi Utomo berdasarkan penelusuran di laman bapilugolkar_jakbar, Prihadi Utomo adalah caleg DPRD Provinsi DKI Jakarta dengan Daerah Pemilihan (Dapil) Jakarta 10.

Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu DKI Jakarta, Benny Sabdo saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com, pada Selasa (13/2)  menyatakan akan menelusuri informasi tersebut. “Terima kasih infonya. Kami minta Bawaslu Jakbar menelusuri peristiwa tersebut,” ungkapnya.

Hal ini pun tersampaikan kepada pihak diduga timses Prihadi Utomo. Namun, salah satu sumber Monitorindonesia.com mengaku bahwa diduga diancam akan dipolisikan soal pencemaran nama baik. "Bang ane mao laporin jenal ke polres ye...ente kgk terlibatkan...ane lgi sama muasa hukum jagoan ane. pencemaran nama baik," kata salah satu anggota timses itu.

Hingga saat ini belum ada informasi lagi terkait tindak lanjut dugaan pelanggaran tersebut.

Hal ini pun juga disoroti oleh pengamat politik Fernando Emas. Dia menilai bahwa Bawaslu sering kali tidak serius dalam menangani dugaan pelanggaran.

"Sanksi yang tidak begitu berat membuat banyak peserta pemilu atau tim suksesnya masih sering kali membuat kecurangan dan pelanggaran agar bisa menang," kata Fernando Emas kepada Monitorindonesia.com, Jum'at (23/2).

"Selain itu, Bawaslu juga sering kali tidak serius mendalami pelanggaran dan kecurangan dengan alasan tidak cukup bukti. Jangan sampai alasan tidak cukup bukti dijadikan alasan untuk melindungi peserta pemilu yang melalukan pelanggaran dan kecurangan," tambahnya.

Salah satu contohnya, adalah kasus dugaan kepala sekolah (kepsek) diminta membayar Rp 3,5 juta untuk membiayai kampanye anak Bupati Pinrang Irwan Hamid, Andi Azizah Irma, kini disetop Bawaslu. Kasus dihentikan lantaran dianggap tidak cukup bukti.

Sementara itu, Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja, sebelumnya mengatakan bahwa sejauh ini pihaknya belum menemukan adanya dugaan kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). 

Jika ada, waktu pengusutan dugaan pelanggaran pidana tersebut terbatas karena meliputi penyelidikan, penyidikan hingga pencarian alat bukti seperti tercantum di UU nomor 7 tahun 2017. (wan)