1.000 Ha Barang Milik Negara Lenyap: Mengapa Negara Diam?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 27 November 2025 13:52 WIB
Iskandar Sitorus (Foto: Dok MI/Istimewa)
Iskandar Sitorus (Foto: Dok MI/Istimewa)

Jakarta, MI - Gedung superblok, mal premium, hotel bintang lima, sampai kedutaan asing semua tampak normal, modern, dan wajar. Tapi di balik itu, ada fakta yang tidak pernah dibicarakan pemerintah selama 60 tahun. Karena akan menyakitkan hati rakyat.

Bahwa, di bawah gedung-gedung itu, hilang 1.000-an hektare tanah negara, itu aset Asian Games 1962. Nilainya? Dengan hitungan sekilas, kisaran Rp1.000–1.500 triliun. Cukup membangun 15 IKN sekaligus. Itu belum diukur dengan harga keekonomian hari ini plus valuasinya!

Dan yang miris, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejak tahun 1960–2024 sudah menemukan kejanggalan atas Barang Milik Negara (BMN) Asian Games 1962 tersebut, tetapi aparat hukum tidak pernah menindak!

Bagian mimpi besar Presiden Soekarno

Indonesia baru berusia 14 tahun ketika ditunjuk menjadi tuan rumah Asian Games IV. Bagi Soekarno, ini bukan sekadar olahraga, ini pertaruhan martabat bangsa, “Kita bangun kompleks olahraga terbaik di Asia.”

Dan negara saat itu benar-benar membeli tanahnya, bukan merampas. Total pengadaan tanah tersebut yakni 418 hektare di kawasan Senayan yang dikenal area Gelora Bung Karno (GBK); sekitar 320 hektar di Tebet–Pancoran; dan asa ratusan hektar lainnya di area Sudirman, Gatot Subroto, Slipi, hingga Mandala Utara.

Dokumen pengadaan tanahnya sangat lengkap, yakni berdasarkan Keppres nomor 113/1959, 114/1959, 239/1960 dan Peraturan Penguasa Perang (Peperpu) nomor 0733, 1055, dan 1139/1959.

"Itu semua dibayar pakai uang yang berasal dari pinjaman Uni Soviet USD 125 juta dan pembayaran pampasan perang Jepang sebesar USD 223,39 juta. Mekanisme pembayaran melalui Bank Sukapura, embrio bank milik Pemprov Jakarta. Status yuridisnya tegas, yakni BMN. Barang milik negara. Tidak boleh dipindahtangankan," kata Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) dalam keteranga tertulisnya yang masuk ke dapur redaksi Monitorindonesia.com, Kamis (29/11/2025).

Bagian titik gelap 1962–1969

Di sinilah drama dimulai. Asian Games selesai. Tetapi tiba-tiba, seluruh tanah itu tidak pernah dimasukkan ke daftar inventaris negara. Itu tidak dicatat ke dalam Daftar Barang Lokasi (DBL); Daftar Inventaris Kekayaan Negara (DIK) dan Daftar Barang Ruangan (DBR).

"Sehingga BPK sejak 1964–1970 mencatat bahwa “BMN tidak didaftarkan, tidak diverifikasi, dan tidak ditetapkan penggunaannya.” itu catatan arsip audit lama BPK," lanjutnya.

Lalu muncul nama kunci, seorang Mayor CKH berinisial SL salah seorang pejabat Penguasa Perang Jakarta Raya masa itu yang menangani konsolidasi tanah. Sampai hari ini keturunannya terdeteksi menguasai dan mengkomersialkan tanah-tanah tersebut. 

"Dari sinilah mulai muncul perpindahan hak tanpa dasar. Tiba-tiba, sejak akhir 1960-an hingga 1990-an, muncul nama pemilik baru berinisial HL; JHL; NSM; L; SH, dan lainnya," katanya lagi.

"Modusnya peralihan lewat penyimpangan kewenangan Peperpu yang sebenarnya tidak memberi kewenangan menjual BMN. Lalu juga melalui perubahan status tanpa SK Menkeu serta menghilangkan dokumen dan catatan BMN," tambah Iskandar.

Lebih lanjut, Iskandar membeberkan banyak sertifikat lama era 1961–1997 perlu didata ulang karena rawan cacat hukum. Ini selaras dengan pernyataan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid: “Kita wajibkan seluruh sertifikat 1961–1997 untuk daftar ulang karena banyak yang tidak jelas asal-usulnya.”

"Artinya apa? Sertifikat yang berdiri di atas BMN Asian Games 1962 adalah salah satu target utamanya," lanjutnya.

Jakarta modern di atas aset negara yang hilang, kata Iskandar. "Kini mari lihat apa yang terjadi. Lokasi BMN Asian Games 1962 ternyata sekarang menjadi: Kavling Sudirman penuh perkantoran swasta; Jalan MH Thamrin dijamuri gedung komersial; Tomang Mandala Utara padat pemukiman privat
- Luar pagar Senayan berdiri hotek, mal, apartemen, dan gedung campuran," ungkapnya.

Bahkan, kata dia, banyak kedutaan besar asing di sana. Ya, BMN kita berubah menjadi properti milik asing. "Di negara lain? Mustahil itu terjadi! Di Indonesia? Terjadi tanpa perlawanan," tegasnya.

IAW pun mengkalkulasi potensi kerugian negaranya. Hitungan rendah Rp750 triliun; hitungan realistis Rp1.500 triliun; dan hitungan saat ini plus valuasi bisa tembus Rp15.000 triliun.

Iskandar pun menyatakan peluang potensi PNBP yang hilang tiap tahun saja bisa dikisaran Rp217 triliun.

Audit BPK 1960–2024

Inti setiap dekade BPK menemukan pola sama, yakni bahwa BMN tidak dicatat, tidak dikuasai dan tidak dipertanggungjawabkan.

Mengapa 60 tahun negara diam? Karena persoalan ini menyentuh kombinasi 3 hal yakni sistem BMN lemah, karena tdak ada database nasional hingga 2004.

Lalu, Abuse of power era 1960-an, dimana Peperpu digunakan untuk memberikan “keputusan administrasi” seolah-olah boleh memindahkan tanah negara tersebut. Bahkan, ada pembiaran sistemik 60 tahun karena tidak ada keberanian politik, tidak ada Satgas dan tidak ada audit forensik.

"Padahal sebenarnya, hukum kita sudah sangat jelas. Peperpu nomor 51/1960 masih berlaku, isinya melarang penguasaan, penggunaan, dan pemindahan tanah negara tanpa izin. Sanksinya pidana," katanya.

Momentum Presiden Prabowo tutupi kesenjangan 60 tahun

Ketika Nusron Wahid memerintahkan pendaftaran ulang sertifikat 1961–1997, maka negara mendapat pintu masuk hukum paling kuat dalam 60 tahun terakhir. Karena: semua tanah Asian Games 1962 berada tepat dalam rentang tahun itu.

"Ini adalah momentum emas untuk mengembalikan BMN tanpa konflik, tanpa kriminalisasi orang yang sekarang tinggal di sana, dan tanpa membuat Jakarta ricuh," ucap Iskandar.

IAW pun mengusulkan kepada Menteri Keuangan (Kemenkeu) tentang pemulihan dan rekonsolidasi BMN Asian Games 1962 seluas ±1.000-an hektare tanpa jalur litigasi, berbasis audit negara dan pendaftaran ulang tanah. 

"Itu bisa dilakukan dengan Negara menetapkan “zona historis BMN Asian Games 1962” berdasarkan Keppres 113/1959, 114/1959, 239/1960; Peperpu 0733/1959, 1055/1959, 1139/1959; LHP BPK sejak 1960 yang mencatat “BMN tidak terinventarisasi”; dan Pernyataan Menteri ATR: sertifikat 1961–1997 wajib verifikasi ulang," bebernya.

Menurutnya, zona ini bukan untuk “mengusir”, tetapi untuk membakukan status hukum.

Selanjutnya mekanisme “repatriasi administratif BMN” tanpa mengganggu pemilik saat ini dengan cara semua sertifikat 1961–1997 yang berada dalam zona Asian Games 1962 wajib verifikasi; negara menyatakan hak asal-usulnya adalah BMN; dan tetapi hak bangunan/hunian/pengelolaan yang berdiri diberikan legal certainty.

"Dengan kata lain tanah kembali ke negara, bangunan tetap legal. Skema seperti itu sudah dilakukan di Singapura (SLA – State Land Authority); Malaysia (reserve land system); dan Jepang (national land managed by MLIT).

Kemudian, pemilik lama tidak dirugikan tetapi negara tidak hilang hak. "Ini rumus keadilan paling netral: tanah menjadi Hak Pengelolaan (HPL) negara melalui Menkeu; pemilik saat ini diberikan Hak Guna Bangunan (HGB) di atas HPL," katanya lagi lebih jauh.

Mekanisme ini, katanya, persis seperti GBK; Kemayoran; Halim Perdanakusuma; dan aman untuk kedutaan asing sekalipun.

Pemulihan PNBP Rp217 triliun per tahun. Begitu menjadi HPL maka negara dapat menerima uang wajib tahunan; PNBP sewa; PNBP perpanjangan; Bea peralihan hak; dan Bea perubahan fungsi bangunan.

"Itu berjalan tanpa menggugat siapapun. Tanpa kriminalisasi. Tanpa menghentikan aktivitas ekonomi!" tuturnya.

Menurut Iskandar, pembentukan Satgas BMN 1962–2025, ideal dipimpin Jaksa Agung (penegakan hukum bila perlu); Menteri ATR/BPN (untuk sertifikasi ulang); Menteri Keuangan (demi penguasaan aset negara); BPK (lakukan audit historis); dan BPKP (audit forensik).

"Outputnya: database historis 1959–2025; peta overlay digital; status hukum tiap kavling dan dashboard publik yang transparan," katanya.

Menutup luka 60 tahun

Ini bukan sekadar aset. Ini cermin apakah negara punya wibawa atau tidak. "Kita tidak sedang merebut rumah orang. Kita sedang mengembalikan tanah negara yang hilang, itu tanpa membuat rakyat takut," lanjutnya.

Dengan mekanisme aman, damai, administratif, dan audit-based, maka Indonesia akhirnya bisa menutup skandal agraria terbesar sejak 1959!
Dan kalau Presiden Prabowo berani memulai langkah ini, sejarah akan mencatat: “inilah presiden yang mengembalikan 1.000-an hektare aset negara tanpa menyakiti warganya.”

"Indonesian Audit Watch tetap konsisten di garis depan mengawal pemulihan ini. Karena negara yang berdaulat, harus berani memiliki apa yang memang miliknya," tutupnya panjang lebar.

Topik:

IAW BMN BPK GBK