Masa Jabatan Pimpinan KPK Diperpanjang 5 Tahun, Berlaku untuk Firli Bahuri Cs?

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 26 Mei 2023 02:46 WIB
Jakarta, MI - Jelang lengsernya Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri Cs dari jabatannya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron terkait masa jabatan pimpinan KPK. Dengan demikian, masa jabatan pimpinan KPK diubah dari semula empat tahun menjadi lima tahun. Lantas apakah akan berlaku kepada Firli Bahuri Cs? Jika merujuk pada pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Mahkamah mengatakan,  ketentuan masa jabatan pimpinan KPK selama 4 (empat) tahun adalah tidak saja bersifat diskriminatif tetapi juga tidak adil jika dibandingkan dengan komisi dan lembaga independen lainnya yang sama-sama memiliki nilai constitutional importance. Selain itu, berdasarkan asas manfaat dan efisiensi, masa jabatan pimpinan KPK selama 5 tahun jauh lebih bermanfaat dan efisien jika disesuaikan dengan komisi independen lainnya, sehingga siklus waktu pergantian pimpinan KPK seharusnya adalah 5 tahun sekali, yang tentu saja akan jauh lebih bermanfaat daripada 4 tahun sekali. Terlepas dari kasus konkret berkaitan dengan kinerja pimpinan KPK yang saat ini masih menjabat, alasan berdasarkan asas manfaat dan efisiensi ini pula yang digunakan oleh Mahkamah tatkala memutus apakah perlu masa jabatan pimpinan KPK diberlakukan konsep Pergantian Antar Waktu sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011. Di sisi lain, meskipun pengaturan mengenai masa jabatan pimpinan KPK merupakan kebijakan hukum dari pembentuk undang-undang, akan tetapi prinsip kebijakan hukum atau dikenal sebagai open legal policy dapat dikesampingkan apabila bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable, merupakan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir), atau dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, dan/atau bertentangan dengan UUD 1945. Hal inilah yang menjadi pertimbangan Mahkamah, sehingga pada perkara a quo terkait dengan kebijakan hukum terbuka tidak dapat diserahkan penentuannya kepada pembentuk undang-undang. Terlebih, dalam perkara a quo sangat tampak adanya perlakuan yang tidak adil (injustice) yang seharusnya diperlakukan sama sesuai dengan prinsip keadilan (justice principle). Pengaturan masa jabatan pimpinan KPK yang berbeda dengan masa jabatan pimpinan/anggota komisi atau lembaga independen, khususnya yang bersifat constitutional importance telah melanggar prinsip keadilan, rasionalitas, penalaran yang wajar dan bersifat diskriminatif sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 280 ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, masa jabatan pimpinan KPK seharusnya dipersamakan dengan masa jabatan komisi dan lembaga independen yang termasuk ke dalam rumpun komisi dan lembaga yang memiliki constitutional importance, yakni 5 tahun sehingga memenuhi prinsip keadilan, persamaan, dan kesetaraan. “Dengan mempertimbangkan masa jabatan pimpinan KPK saat ini yang akan berakhir pada 20 Desember 2023 yang tinggal kurang lebih 6 (enam) bulan lagi, maka tanpa bermaksud menilai kasus konkret, penting bagi Mahkamah untuk segera memutus perkara a quo untuk memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan,” demikian Guntur. Selain dari pada itu, dalam pertimbangan hukum lainnya yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Mahkamah menegaskan bahwa KPK yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dijamin independensinya yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Oleh karena itu, sebagai upaya melindungi independensi KPK sebagai lembaga yang berwenang memberantas tindak pidana yang bersifat extra ordinary crime, perlu adanya jaminan perlakuan yang adil terhadap lembaga KPK, salah satunya terkait dengan masa jabatan pimpinan KPK yang diatur dalam Pasal 34 UU 30/2002. Masa jabatan pimpinan KPK yang diberikan oleh Pasal 34 UU 30/2002 selama 4 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan telah ternyata menyebabkan dalam satu kali periode masa jabatan Presiden dan DPR yaitu selama 5 tahun in casu Periode 2019-2024, dapat melakukan penilaian terhadap lembaga KPK sebanyak 2 kali yaitu dalam hal melakukan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK. Dalam hal ini, secara kelembagaan, KPK diperlakukan berbeda dengan lembaga negara penunjang lainnya namun tergolong ke dalam lembaga constitutional importance yang sama-sama bersifat independen dan dibentuk berdasarkan undang-undang karena terhadap lembaga constitutional importance yang bersifat independen tersebut, yang memiliki masa jabatan pimpinannya selama 5 tahun, dinilai sebanyak satu kali selama 1 (satu) periode masa jabatan Presiden dan DPR. Menurutnya, sistem perekrutan pimpinan KPK dengan skema 4 tahunan berdasarkan Pasal 34 UU 30/2002 telah menyebabkan dinilainya kinerja dari pimpinan KPK sebanyak dua kali oleh Presiden maupun DPR dalam periode masa jabatan yang sama. Penilaian dua kali terhadap KPK tersebut dapat mengancam independensi KPK karena dengan kewenangan Presiden maupun DPR untuk dapat melakukan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK sebanyak 2 kali dalam periode atau masa jabatan kepemimpinannya berpotensi tidak saja mempengaruhi independensi pimpinan KPK, tetapi juga beban psikologis dan benturan kepentingan terhadap pimpinan KPK yang hendak mendaftarkan diri kembali pada seleksi calon pimpinan KPK berikutnya. Sehingga, berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon terkait ketentuan norma Pasal 34 UU 30/2002 adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan adalah beralasan menurut hukum. Sementara itu, Arief melanjutkan,  seiring dengan reformulasi masa jabatan pimpinan KPK dari semula 4 tahun menjadi 5 tahun, maka hal itu berdampak pula terhadap masa jabatan Dewan Pengawas. Berdasarkan ketentuan Pasal 37A UU 19/2019 yang menyatakan "Anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 kali masa jabatan." Dalam rangka menjaga konsistensi dan harmonisasi dalam pengaturan masa jabatan pimpinan KPK dan masa jabatan Dewan Pengawas, maka reformulasi masa jabatan pimpinan KPK menurut penalaran yang wajar berlaku pula bagi Dewan Pengawas, sehingga masa jabatan Dewan Pengawas yang semula selama 4 (empat) tahun juga disamakan menjadi 5 tahun. Dalam pengambilan putusan ini, terdapat alasan berbeda (concurring opinion) dari Hakim Konstitusi Saldi Isra khususnya terhadap pengujian norma Pasal 29 huruf (e) UU 19/2019 dan terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari 4 orang hakim konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Saldi Isra, dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih khusus terhadap pengujian norma Pasal 34 UU 30/2002. “Penentuan mengenai persyaratan usia minimum dan maksimum bagi pejabat publik merupakan kewenangan sepenuhnya dari pembentuk undang-undang, kecuali pilihan kebijakan tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable,” jelas Saldi saat membacakan alasan berbeda. Sedangkan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyatakan, berkenaan dengan masa jabatan sejumlah komisi atau lembaga, telah ternyata terdapat ketidakseragaman dalam pengaturannya. Misalnya, Pimpinan KPK memegang jabatan selama 4 tahun, Anggota Komisi Informasi diangkat untuk masa jabatan 4 tahun; Masa jabatan anggota KPPU adalah 5 tahun; masa jabatan keanggotaan Komnas HAM selama 5 tahun Anggota Komisi Yudisial memegang jabatan selama masa 5 tahun, dan Masa jabatan ketua, wakil ketua dan anggota KPI Pusat dan KPI Daerah 3 tahun. “Ketidakseragaman mengenai masa jabatan komisi negara di Indonesia tidak dapat ditafsirkan telah menimbulkan ketidaksetaraan, ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan diskriminatif, serta timbulnya keraguan masyarakat atas posisi dan independensi KPK dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, sebagaimana didalilkan oleh Pemohon,” jelas Enny. KPK dalam Rumpun Kekuasaan Eksekutif Jika merujuk pada ketentuan Pasal 3 pada Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.” Menurut mantan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah, penegasan ini memang diperlukan agar koordinasi kerja kelembagaan dapat disesuaikan dengan tahapan-tahapan yang ada pada cabang kekuasaan eksekutif negara yang dipimpin oleh presiden republik Indonesia yang juga memiliki masa jabatan lima tahun. “Kita tahu bahwa setelah presiden dilantik yang kepadanya mendapatkan tugas untuk melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang diatur melalui operasionalnya melalui rancangan anggaran RAPBN,” ujar Fahri kepada wartawan, Jum’at (26/5). "Maka seluruh lembaga dalam cabang kekuasaan eksekutif perlu menyesuailan diri agar sinergi dan orkestrasi penyelenggaraan negara. Termasuk pemberantasan korupsi di dalamnya berada dalam satu irama yang terencana," imbuhnya. Pansel Capim KPK Segera Dibentuk Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Pratikno mengaku tengah menyelesaikan proses pembentukan panitia seleksi (pansel) calon pimpinan (capim) KPK. Pemerintah menargetkan, Pansel Capim KPK akan mulai bekerja pada Juni 2023. Proses pembentukan Pansel Capim KPK ini dilakukan menjelang berakhirnya masa jabatan pimpinan KPK era Firli Bahuri pada Desember 2023. "Saat ini pemerintah sedang memfinalisasi pembentukan Pansel KPK. Jadi sesuai UU KPK, itu masa jabatan pimpinan KPK adalah 4 tahun. Artinya pimpinan KPK sekarang masa jabatannya akan berakhir nanti pada tanggal 20 Desember 2023," kata Pratikno dalam kanal Youtube Sekretariat Negara, Rabu (24/5). Kepemimpinan Firli Bahuri Cs akan berakhir pada Desember 2023. Karena itu, Pansel Capim KPK akan mulai bekerja pada Juni 2023. "Karena dulu pelantikannya 4 tahun yang lalu adalah 20 Desember. Jadi nanti Pansel KPK yang akan kita bentuk itu kita harapkan sudah mulai bekerja sebelum pertengahan Juni 2023 ini," ucap Pratikno. Ia juga mengungkapkan, Pemerintah mempunyai waktu enam bulan untuk melakukan proses seleksi Pimpinan KPK. Pratikno memastikan, rentang waktu tersebut sangat cukup untuk menyeleksi capim KPK. "Masih ada waktu enam bulan untuk proses seleksi. Sebagaimana pengalaman seleksi pejabat publik selama ini, enam bulan itu waktu yang cukup untuk menemukan putra-putri terbaik ya," pungkasnya. Pimpinan KPK Saat Ini Berdasarkan Pasal 21 (2) dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 tertuang bahwa Susunan Pimpinan KPK terdiri dari ketua merangkap anggota dan empat orang wakil ketua merangkap anggota. Saat ini, pimpinan KPK periode 2019-2023 dijabat oleh Firli Bahuri sebagai Ketua didampingi empat orang Wakil Ketua yakni Alexander Marwata, Nawawi Pomolango, Nurul Ghufron, dan Johanis Tanak. Johanis Tanak baru dilantik pada 28 Oktober 2022, mengisi kursi yang ditinggalkan Lili Pintauli Siregar, yang mengundurkan diri pada 11 Juli 2022. Lili mundur setelah terjerat masalah dugaan gratifikasi saat menonton balapan MotoGP di Sirkuit Mandalika, Nusa Tenggara Barat. pada Maret 2022. Gratifikasi itu diberikan oleh perusahaan minyak negara Pertamina. Lili mengundurkan diri setelah masalah gratifikasi tersebut diadukan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Dewas tak sempat menjatuhkan sanksi kepada Lili karena pengunduran diri tersebut. Kasus ini pun tak diusut secara hukum. Pratikno tak menjelaskan siapa saja yang akan menjadi Pansel Capim KPK kali ini. Pada 2019 lalu, saat Firli Bahuri cs terpilih, Pansel dipimpin oleh akademisi Yenti Ganarsih dan diisi berbagai nama seperti Indriyanto Seno Adji,  guru besar hukum pidana di Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo, Hamdi Muluk, Marcus Priyo Gunarto, Hendardi, Al Araf, Diani Sadia Wati dan Mualimin Abdi. Sebelumnya, Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengubah masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari sebelumnya empat tahun kini masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun. Putusan ini mengabulkan gugatan yang dilayangkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Dia menggugat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 khususnya Pasal 29 e dan Pasal 34 terhadap Pasal 28 D ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan Pasal 28 I ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945. Gugatan tersebut terdaftar dengan nomor 112/PUU-XX/2022. MK menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang semula berbunyi, ‘Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama empat tahun’ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. "Sepanjang tidak dimaknai, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan," ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan ketetapan dan putusan, Kamis (25/5). Lewat putusan itu, apakah Ketua KPK Firli Bahuri Cs akan terus menjabat hingga tahun depan atau di masa Pemilu 2024? (LA)