Jutaan Pengusaha dan Sopir Truk Jadi "Sapi Perahan" di Jalan Raya, Pemerintah Diam Aja

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 26 Juli 2023 14:21 WIB
Wajah Teddy, 36 Tahun, tampak lusuh saat beristirahat tak jauh dari pintu masuk gerbang tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) II Ciledug, Jakarta Barat pekan lalu. Teddy merupakan sopir truk bermuatan pasir seberat 40 ton. Bapak tiga orang anak itu, sudah 4 kali beristirahat di pinggir jalan tol sejak berangkat dari Serang, Banten. Padahal, perjalanan baru sekitar 50 kilometer. Teddy yang ditemani satu kerneknya pun mengaku berhenti di pinggir tol karena mesin dan ban truk yang dibawanya melampaui daya angkut. Muatan layaknya truk yang dibawanya hanya 25 ton. Namun kenyataannya sampai 40 ton. "Setiap 10 kilometer harus berhenti, istirahat. Ban (truk) panas. Takut pecah," ucap Teddy saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, di pintu masuk tol JORR Ciledug pekan lalu. Teddy mengangkut pasir dari Serang, Banten menuju salah satu kawasan pengembangan perumahan di Bogor, Jawa Barat. Setiap berhenti, setidaknya butuh waktu minimal setengah jam. Dari awal peralanan hingga Bogor, Teddy harus berhenti 6 kali. Dalam sehari, Teddy hanya bisa pulang pergi Serang-Bogor hanya satu trip. Biaya perjalanan yang diberikan oleh pemilik armada sebesar Rp 1,8 juta. Rincian biaya itu dialokasikan untuk Bahan Bakar Solar Rp 1 juta, biaya makan dan minum selama sehari 2 orang Rp 200 ribu, biaya tol pulang pergi Rp 300 ribu dan biaya bongkar muat pasir ke truk Rp 100 ribu. "Sisanya Rp 200 ribu itulah gaji saya (sopir) dan kenek," lirih Teddy. Teddy tidak ada gaji bulanan atau lainnya. Bila perjalanan lagi apes, seperti adanya pemberhentian truk oleh Patroli Jalan Raya (PJR) Teddy harus keluarkan minimal Rp 50 ribu. Begitu juga petugas Dishub yang juga minta jatah bila masuk jalan biasa atau di luar jalan tol. Trus, kenapa bisa bertahan jadi sopir truk? Teddy mengaku tidak ada pilihan. "Yang penting bisa makan aja mas. Kalau masih ada sisa Rp 50 ribu atau Rp 100 ribu iya itu saya kasih ke istri," ucap Teddy menambahkan. Sopir truk bagi Teddy tak lagi menjanjikan. Sehingga dirinya pun sudah memiliki ancang-ancang untuk mencari pekerjaan lain yang bisa membantu ekonomi keluarga. "Istri buka warung sembako. Jadi lumayan membantu. Saya juga pulang sekali sebulan biar ongkos bisa irit," tambah pria yang keluarganya tinggal di wilayah Tangerang itu. Hal senada juga disampaikan Alamsyah (49). Sopir truk yang sama membawa pasir dari Serang itu mengaku sopir truk hanya jadi "sapi perahan" di jalan raya. Beruntung bagi Alamsyah, armada yang dibawanya ada koordinator atau pihak ketiga yang menjamin bebas beroperasi sekalipun tak lolos Uji Kir dan tak memiliki kelengkapan surat-surat kendaraan lainnya. "Kalau kami tinggal telepon bos aja kalau ditanya petugas Dishub. Kita langsung dibiarkan jalan sama petugasnya," ucapnya. Seperti biasa, mayoritas truk yang beroperasi di jalan raya tak lulus Uji Kir. Namun, pangusaha truk harus mengeluarkan biaya hingga jutaan rupiah untuk koordinasi dengan pihak ketiga agar armadanya tidak ditangkap oleh aparat Dishub dan Polantas di jalan raya. "Kami hanya bawa (armada) aja. Walaupun sering juga kita harus keluarkan duit ke petugas. Biasalah (petugas) cari-cari kesalahan selalu ada saja. Kalau yang gitu, biaya kami tanggung sendiri," tutur Alamsyah. Diakui Alamsyah dan Teddy, muatan yang mereka bawa juga melebihi kapasitas. Menurut mereka, muatan truk tronton yang mereka bawa maksimum hanya bisa membawa 25 ton. "Kalau yang ini ada 40 ton. Jadi tetap aja bebannya overload sebenarnya. Makanya kita sering berhenti takut bannya pecah karena panas terus," katanya. Pengamat Transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengakui pengusaha hingga sopir truk menjadi "sapi perahan" oknum aparat Dishub dan Polisi. Berbagai cara dilakukan mereka termasuk beking para oknum jenderal melalui pihak ketiga seperti CMC, JMC, dan puluhan pihak ketiga lainnya. Ketegasan dari aparat Dishub di pemerintah daerah pun tak lagi bisa diharapkan karena semuanya sudah seperti "lingkaran setan". "Kasihan para pengusaha dan sopir truk kita ini. Padahal lapangan kerja jutaan di sana. Pemerintah seolah tutup mata dengan situasi ini," kata Djoko kepada Monitorindonesia.com. Dia juga mendesak Kapolri, Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo untuk menindak tegas para oknum yang membekingi pihak ketiga tersebut. Sebab, tanpa ada beking kuat di Polri pihak ketiga tersebut tak bisa bebas menekan para pengusaha angkutan barang. Di Jakarta saja terdapat 750 ribu kendaraan angkutan barang atau truk. Dari data Dispenda DKI Jakarta, dari jumlah itu hanya 250 ribu unit yang bayar Kir atau layak jalan. (Lin)