Kejagung Tunda Periksa Capres-Cawapres, Ahli Hukum Singgung Kasus CPO Seret Airlangga Hartarto

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 22 Agustus 2023 16:53 WIB
Jakarta, MI - Ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Mudzakir menegaskan bahwa orang berpotensi untuk jadi tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) seharusnya secepatnya untuk dinyatakan kepastian hukumnya. Hal itu ia ungkapkan merespons sikap Kejaksaan Agung yang menunda seluruh proses penegakan hukum terkait capres-cawapres, caleg dan kepala daerah terkait Pemilu 2024. Sikap ini berbeda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tetap memproses hukum kasus dugaan korupsi meskipun di tahun politik. Mudzakir begitu ia disapa, menyinggung dugaan keterlibatan Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto terkait degan kasus korupsi CPO dan turunannya yang merugikan negara Rp 6,47 triliun. "Airlangga Hartarto terkait dengan masalah CPO itu kan sudah terang sekali, bahwa ia mengambil keputusan kontra (Kebijakan) yang bertentangan dengan presiden pada saat itu, hingga pada akhinya lahirlah kelangkaan minyak goreng dan sekaligus harganya melambung tinggi. Itu jelas sekali merugikan negara, banyak orang susah dan sebagainya. Tapi kok tiba-tiba kemudian ada kebijakan bahwa itu tidak diproses akan diproses nanti," ungkap Mudzakir kepada Monitorindonesia.com, Selasa (22/8). Menurut Mudzakir, hal itu sungguh tidak fair, karena rakyat sudah disuguhi suatu calon diduga bermasalah. "Nah saya ingin sampaikan kepada jaksa dan juga polisi dan juga KPK, bahwa sebaiknya orang-orang yang bermasalah itu langsung ditunjukkan saja bahwa ini, seorang Menko ini. Kasih identitas bahwa dia telah bertanggung jawab terhadap kasus CPO yang sedang dalam proses penyelidikan atau penyidikan, dan lagi yang lain juga sama seperti itu," ungkapnya. [caption id="attachment_543370" align="alignnone" width="702"] Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Prof. Mudzakir (Foto: Doc Pribadi)[/caption] Jadi jelas, lanjut Mudzakir, bahwa nanti misalnya ada lembaga swasta yang mempublikasi proses-proses hukum itu sebaiknya tidak perlu disalahkan. Itu bukan kepentingan politik. "Itu mendidik rakyat Indonesia agar supaya memilih calon-calon yang akan datang yang bebas dari korupsi, koluusi dan nepotisme (KKN)," beber Mudzakir. Atas dasar itulah, Mudzakir tidak sependapat dengan keputusan Jaksa Agung menunda proses hukum terhadap capres-cawapres dan dilanjutkan setelah pemilu usai. "Mungkin kalau itu KPK yang cenderung untuk menolak putusan Jaksa Agung saya sependapat. Jadi mestinya sekarang harus teridentifikasi yang kuat itu disebutkan saja. Kalau memang dia tidak bisa menyebutkan sebagai tersangka, cukup aja berdasarkan alat bukti ini, ini memiliki kekuatan pembuktian yang kuat bahwa seseorang calon itu adalah terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. Mungkin seperti itu aja juga enggak apa-apa," jelasnya. Menurut Mudzakir, hal ini akan menjadi preseden buruk jika itu dibiarkan seperti itu saja. Apalagi kualitas Pemilu sekarang semakin buruk dan memelihara orang-orang yang bermasalah. "Jadi kalau dia memelihara orang bermasalah pada kemudian hari dia akan bermasalah lagi adalah masalah lanjutan. Jadi gagasan untuk memberantas KKN mungkin ya omong kosong lah gitu kalau itu Jaksa Agung mengambil kebijakan seperti itu," cetusnya. Di lain sisi, hal ini juga termasuk kaitannya dengan penundaan-penundaan pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset. "Itu merupakan paket yang tidak dapat terpisahkan dari sikap legislatif maupun eksekutif. Karena dia menjadi bagian eksekutif untuk menunda pengesehan RUU perampasana aset. UU Perampasan Aset ini akan berkena kepada pihak-pihak yang bersangkutan akan datang," terangnya. Yang paling penting, tambah Mudzakir, penegak hukum harus clear proses hukumnya terhadap seseorang yang nyalon dan mestinya KPU dan Bawaslu juga meminta klarifikasi kepada penegak hukum terkait dengan proses hukumnya itu sampai dimana. "Sampai dimana sih proses hukum orang-orang ini? Kalau misalnya jadi presiden, wakil presiden, kepala daerah atau menjadi anggota legislatif tersangkut perkara dugaan terjadi tipikor atau tidak. Kalau tersangkut, sangkutnya ada dimana bisa dijelaskan seperti itu sehingga rakyat nanti bisa diumumkan orang ini tersangkut atau tidak tersangkut," katanya. Mudzakir juga melihat nama-nama calon presiden, sebagian besar tersangkut dan disebutkan paling tidak itu beberapa kasus-kasus tertentu. "Tapi yang ada yang kasusnya disebutkan karena faktor politik, ada juga disebutkan kasusnya paling tidak secara riil dan nyata, sehingga rakyat bisa menilai oh ini, kalau ini benar-benar bertanggung jawab, ini tidak, nggak dipilih. Paling tidak secara moral headsetnya itu dia bisa memilih calon yang benar-benar berkualitas lah dan tidak terindikasi dalam selama menjabat itu berbuat melakukan tindakan korupsi," demikian Mudzakir. (Wan)