14 Temuan BPK dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 12 Juni 2024 20:00 WIB
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI (Foto: Dok MI/Aswan)
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan terdapat 14 temuan dalam laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) yang disusun oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Adapun, daftar temuan BPK pada Kemenkeu diterbitkan dalam, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Sistem Pengendalian Intern dan Kepatuhan Terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Pemerintah Pusat tahun 2023.

BPK mencatat masih terdapat kualitas perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan anggaran yang belum sepenuhnya memadai. Hal tersebut menurut BPK mengakibatkan LKPP belum dapat dimanfaatkan sebagai alat evaluasi APBN.

Selanjutnya, terdapat temuan berupa pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai yang terindikasi kurang disentoran dan potensi sanksi administrasi belum dikenakan, sehingga negara terindikasi mengalami kekurangan penerimaan sebesar Rp5,82 triliun beserta sanksi administrasi Rp341,80 miliar.

Selengkapnya, berikut ini daftar lengkap 14 temuan BPK dalam LKPP 2023:

1. Kualitas Perencanaan, Penganggaran dan Pelaksanaan Anggaran serta Keselarasan antara Pelaporan Keuangan dan Kinerja dalam Rangka Pertanggungjawaban Program/Kegiatan Pemerintah Belum Sepenuhnya Memadai

Terdapat mekanisme pelaporan kinerja dan keuangan yang belum memadai untuk mengukur akuntabilitas pelaksanaan program atau kegiatan pemerintah dan efektivitas anggaran.

Selanjutnya, BPK menemukan bahwa sistem informasi dan mekanisme pengendalian atas akurasi capaian keluaran dari setiap kegiatan APBN sebagai pendukung pelaporan kinerja dan pelaporan keuangan belum memadai.

Lalu, BPK mengatakan bahwa perencanaan dan penganggaran belum sepenuhnya disusun dengan kerangka kerja logis untuk menggambarkan dukungan pelaksanaan anggaran dalam pencapaian sasaran pembangunan.

2. Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai Terindikasi Kurang Disetorkan Sebesar Rp5,82 Triliun dan Potensi Sanksi Administrasi Sebesar Rp341,80 Miliar

BPK menyebut bahwa indikasi kurang disetornya pajak penghasilan sebesar Rp5,82 triliun dan potensi sanksi administrasi sebesar Rp341,80 miliar disebabkan kurang koordinasinya pejabat teknis terkait dalam mengevaluasi, mengembangkan, dan menyempurnakan Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP).

Serta, kepala KKP dan Kepala Seksi tidak optimal melakukan pengawasan berjenjang atas pemantauan dan upaya perpajakan terhadap Account Representative (AR) terkait atas kekurangan dan keterlambatan penyetoran pajak serta sanksi administrasi dari upaya hukum.

3. Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada 42 K/L Minimal Sebesar Rp6,81 Triliun dan Pengelolaan Piutang Bukan Pajak pada 17 K/L Minimal Sebesar Rp3,51 Triliun Belum Sesuai Ketentuan

BPK menyebut hal tersebut mengakibatkan PNBP sebesar Rp3,20 triliun terlambat, belum disetor ke kas negara serta kurang dan tidak dipungut.

Selanjutnya, pungutan yang belum memiliki dasar hukum dan pungutan yang telah memiliki dasar hukum sebesar Rp1,66 triliun dan digunakan langsung sebesar Rp1,12 triliun. Serta terdapat permasalahan lainnya sebesar Rp1,95 triliun.

4. Rekonsiliasi Volume dan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) Tahun 2020 s.d. 2023 Belum Selesai Dilaksanakan 

BPK melaporkan bahwa rekonsiliasi volume dan HGBT Tahun 2020 sampai dengan 2023 belum selesai dilaksanakan. Dalam hal ini, rekonsiliasi volume dan HGBT bertujuan untuk memastikan bahwa gas bumi di sisi hulu telah dimanfaatkan atau diserap oleh konsumen gas bumi di sisi hilir sesuai dengan volume dan harga yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tak hanya itu BPK juga menyebut bahwa belum terdapat evaluasi menyeluruh atas implementasi kebijakan HGBT di bidang industri dan/atau di bidang penyediaan tenaga listrik bagi kepentingan umum.

5. Penganggaran Mandatory Spending Bidang Pendidikan pada APBN Tahun 2023 Belum Didukung dengan Perencanaan Program/Kegiatan yang Memadai

BPK mengatakan hal ini dapat terjadi akibat alokasi anggaran mandatory spending bidang pendidikan melalui pos pembiayaan pendidikan tidak didukung dengan proses perencanaan yang mendukung pemenuhan kaidah penganggaran berbasis kinerja dan prinsip belanja berkualitas.

Selain itu, perencanaan dan penganggaran mandatory spending bidang pendidikan tidak didukung dengan mekanisme pemantauan terhadap target dan pencapaian outputnya.

BPK juga menemukan permasalahan dalam teknis perhitungan anggaran mandatory spending Pendidikan dan pelaksanaan anggarannya namun tidak mempengaruhi persentase minimal anggaran mandatory spending bidang Pendidikan yang telah dialokasikan pada APBN Tahun 2023.

6. Penganggaran, Pelaksanaan, dan Pertanggungjawaban Belanja pada 81 K/L Minimal Sebesar Rp7,05 Triliun Belum Sepenuhnya Sesuai Ketentuan

Berdasarkan hasil pemeriksaan atas LKPP Tahun 2023, BPK masih menemukan adanya permasalahan terkait penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, dan belanja bansos minimal sebesar Rp7.05 triliun yang tidak sesuai ketentuan pada 81 K/L.

Permasalahan tersebut antara lain terdiri dari permasalahan pelaksanaan pembayaran belanja pegawai, permasalahan penganggaran belanja pegawai, penyimpangan perjalanan dinas.

Selanjutnya, kesalahan penganggaran/peruntukan belanja barang, permasalahan lainnya, lalu permasalahan dalam pelaksanaan kontrak, kesalahan anggaran belanja modal, serta permasalahan lainnya yang terkait kepatuhan terhadap undang-undang.

7. Perencanaan dan Penganggaran atas Kebijakan Pemberian Insentif Perpajakan Berupa Subsidi Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) Tertentu dan Rumah Tapak/Satuan Rumah Susun, serta Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah Panas Bumi Tahun 2023 Belum Memadai

BPK melaporkan bahwa realisasi subsidi PPN DTP KBLBB tertentu Tahun 2023 sebesar Rp505 miliar belum didukung penganggaran. Selanjutnya, terdapat kebijakan pemberian Subsidi PPN DTP rumah tapak dan satuan rumah susun tahun 2023 tidak diketahui realisasinya dan belum didukung penganggaran.

Terakhir dalam hal ini, BPK menjelaskan bahwa realisasi PPh DTP Panas Bumi Triwulan II dan III Tahun 2023 kurang dianggarkan sebesar Rp917,82 miliar.

8. Perencanaan dan Penganggaran Alokasi DAU Specific Grant Tahun 2023 untuk Dukungan Penggajian Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Daerah Belum Memadai

BPK menjelaskan bahwa Hal tersebut mengakibatkan penyaluran DAU specific grant tahun 2023 untuk dukungan penggajian PPPK daerah yang tidak terukur dan tidak dapat dimanfaatkan untuk peningkatan fleksibilitas pendanaan daerah melalui DAU block grant serta berpotensi tidak mendukung upaya peningkatan belanja yang berkualitas.

9. Pengendalian Pelaksanaan Kebijakan Prefunding untuk Pemenuhan Pembiayaan TA 2024 Belum Memadai

BPK menjelaskan bahwa pelaksanaan kebijakan prefunding untuk pemenuhan pembiayaan TA 2024 melalui penerbitan SBN pada akhir tahun 2023 sebesar Rp39,89 triliun tidak direncanakan secara memadai dan terukur.

Selain itu, terdapat ketidakselarasan tujuan kebijakan prefunding antara UU Nomor 19 Tahun 2023 tentang APBN TA 2024 dengan PMK Nomor 160/PMK.05/2017 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Utang Pemerintah.

Terakhir, BPK juga mencatat bahwa pemerintah tidak memperhitungkan alternatif pendanaan APBN lainnya melalui penggunaan SAL, fleksibilitas penarikan pinjaman tunai, dan pemanfaatan saldo kas BLU dalam menjalankan kebijakan prefunding untuk tujuan pemenuhan pendanaan awal tahun anggaran.

10. Pengelolaan Kas dan Rekening pada K/L Belum Sepenuhnya Memadai 

Dalam temuan ini, BPK melaporkan terdapat Pengelolaan kas tunai oleh Bendahara Pengeluaran melebihi ketentuan pada tujuh K/L sebesar Rp879,18 juta, selanjutnya bendahara pada 17 K/L belum/terlambat menyetorkan saldo kas sebesar Rp11,47 miliar ke kas negara.

BPK juga mencatat terdapat pembukuan oleh bendahara belum tertib pada lima K/L, serta permasalahan lainnya yang terkait dengan pengelolaan kas pada 22 K/L sebesar Rp44, 35 miliar.

11. DJP Belum Melakukan Tindakan Penagihan Aktif Piutang Pajak Secara Optimal

Dalam hal ini, BPK mengatakan bahwa DJP belum melakukan tindakan penagihan piutang perpajakan macet belum daluwarsa secara optimal dan DJP melakukan tindakan penagihan piutang perpajakan yang mendekati daluwarsa secara optimal.

12. Pengaturan Persetujuan Perubahan Penggunaan PMN yang Belum Dimanfaatkan Belum Memadai

BPK memandang terdapat ketidakjelasan pengaturan terkait persetujuan perubahan penggunaan PMN yang belum dimanfaatkan khususnya yang terkait dengan, mekanisme persetujuan Menteri Keuangan atas perubahan penggunaan PMN, termasuk norma waktu dan bentuk persetujuannya.

Selanjutnya, cakupan pemberian PMN yang perubahannya perlu mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan, mekanisme yang perlu dilakukan jika terdapat ketidaksepakatan antara Menteri Keuangan dan Menteri BUMN dalam hal perubahan penggunaan PMN.

Serta, status perubahan penggunaan PMN yang telah disetujui oleh Menteri BUMN namun tidak disetujui oleh Menteri Keuangan.

13. Pengelolaan Persediaan, Aset Tetap, Properti Investasi, Aset Tak Berwujud, dan Aset Lain-Lain Belum Sepenuhnya Memadai

Dalam hal ini, BPK menemukan terdapat Laporan Barang Milik Negara (LBMN) belum sepenuhnya disusun sesuai ketentuan, permasalahan pengelolaan persediaan, Permasalahan pengelolaan aset tetap, permasalahan pengelolaan properti investasi, hingga permasalahan pengelolaan aset tak berwujud, aset lain-lain, dan kemitraan dengan pihak ketiga.

14. Pelaksanaan Anggaran atas Pekerjaan yang Belum Diselesaikan pada Akhir Tahun Anggaran Melalui Mekanisme Rekening Penampungan Akhir Tahun Anggaran (RPATA) Belum Sepenuhnya Didukung Pengaturan yang Jelas dan Pengendalian yang Memadai

Pada temuan terakhir, BPK mencatat pengendalian atas pelaporan aset/beban dan kewajiban per 31 Desember 2023 yang timbul dari penyelesaian seluruh/sebagian hasil pekerjaan oleh pihak ketiga tidak sepenuhnya memadai.

Selanjutnya BPK juga mencatat terdapat penggunaan mekanisme RPATA belum sepenuhnya didukung pengaturan secara jelas dan pengawasan yang memadai.

Ketiga, pembayaran tagihan Penyedia Barang/Jasa pada akhir tahun dengan mekanisme rekening penampungan sejenis RPATA pada satker BLU juga belum memadai.

Terakhir, terdapat indikasi ketidakakuratan pencatatan dan reklasifikasi aset atas pekerjaan yang menggunakan mekanisme RPATA, dan Implementasi RPATA pada empat K/L belum sesuai ketentuan.

Topik:

BPK LKPP BPK RI