Demurrage Impor Beras Dinilai Terlalu Besar, Ekonom Minta BPK Lakukan Audit Keuangan

Dhanis Iswara
Dhanis Iswara
Diperbarui 10 Agustus 2024 2 jam yang lalu
Sejumlah pekerja melakukan bongkar muat beras impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara (Foto: Antara)
Sejumlah pekerja melakukan bongkar muat beras impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara (Foto: Antara)

Jakarta, MI - Ekonom Senior INDEF, Dradjad Wibowo, mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk segera mengaudit keuangan terkait demurrage atau denda impor beras sebesar Rp294,5 miliar. 

Menurutnya hal itu mesti dilakukan untuk menguatkan langkah aparat penegak hukum (APH) dalam membongkar skandal nilai demurrage sangatlah tak wajar.

"Yang menjadi masalah adalah ketika demurrage-nya terlalu tinggi/mahal dalam situasi normal. Sebaiknya BPK, BPKP atau auditor/investigator independen ditugaskan melakukan pemeriksaan audit," kata Dradjad kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (10/8/2024). 

Pasalnya skandal demurrage sebesar Rp 294,5 miliar itu diduga menyeret nama Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi dan Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi.

Demurrage ini juga diperkuat dengan keberadaan 1.600 kontainer yang diduga berisi beras ilegal tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dan Tanjung Perak, Surabaya. 

Dradjad optimis, jika audit keuangan itu dilakukan maka hal itu dapat membuka tabir dan mengetahui dasar dari besarnya nilai denda impor beras tersebut.

Karena dari audit keuangan tersebut, lanjut Dradjad, akan diketahui apakah memang nilai sebesar Rp294,5 miliar tersebut wajar untuk demurrage atau tidak.

"Demikian akan diketahui demurrage-nya wajar atau di luar kewajaran. Jika memang nanti dari pemeriksaan audit ditemukan bukper (bukti permulaan) yang kuat, baru aparat hukum masuk," jelas Dradjad. 

Lebih lanjut, Dradjad menduga nilai demurrage yang sangat besar itu merupakan pertanda ada faktor human error dalam proses impor beras.

"Faktor manusianya bisa karena kompetensi yang rendah, tapi bisa juga karena KKN. Efek selanjutnya adalah ekonomi biaya tinggi. Dalam kasus beras akhir-akhir ini, beras menjadi terlalu mahal bagi konsumen," pungkasnya.