Pasal 256 KUHP Baru Bikin Deg-degan Pendemo!

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 11 Desember 2022 03:06 WIB
Jakarta, MI - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah telah menyepakati Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) untuk disahkan menjadi Undang-Undang (UU) dalam rapat paripurna Selasa (6/12) kemarin. Meski sidang paripurna dan pengesahan telah selesai, masyarakat menemukan masih banyak pasal-pasal kontroversial KUHP baru atau bermasalah yang perlu diperbaiki. Salah satunya adalah pasal 256 KUHP yang mengatur demonstrasi yang jika terjadi keonaran. Dengan adanya pasal ini, publik beranggapan akan menyulitkan kepada para pendemo. Padahal, unjuk rasa atau demonstrasi merupakan salah satu bentuk penyampaian pendapat di muka umum yang dijamin oleh undang-undang. “Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II," demikian bunyi pasal 256 KUHP seperti dilihat Monitor Indonesia, Minggu (11/12). Delik diatas berubah dari yang diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Sebab dalam UU 9/1998, domonstrasi tanpa izin cukup dikenakan dengan tindakan administrasi yaitu pembubaran. Oleh karena itu hal ini sangat berbahaya. Sebab demonstrasi yang biasa dilakukan adalah secara spontan sebagai bentuk aksi kekecewaan kepada kinerja pemerintah. Memang benar bahwa dengan adanya KUHP ini telah mewujudkan suatu kepastian hukum. Khususnya kepastian bagi para penguasa agar dapat berkuasa tanpa adanya suara-suara yang dapat mengancam kursi jabatannya. Apakah begitu? Jika memang perubahan itu mengarah ke pemerintah yang antikritk sehingga dapat membatasi rakyatnya sendiri bersuara, apa kata dunia? Perlu diketahui, bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di muka umum adalah dihadapan orang banyak, atau orang lain termasuk juga di tempat yang dapat didatangi dan atau dilihat setiap orang. Contohnya, unjuk rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum. Kendati demikian, anggota DPR Komisi Hukum Fraksi Partai NasDem, Taufik Basari, sebelumnya mengatakan delik pasal 256 KUHP baru, bukanlah untuk pihak yang menggelar unjuk rasa, melainkan delik terganggunya ketertiban umum, keonaran, atau huru-hara. Menurut dia, pasal ini dimaksudkan agar tiap unjuk rasa digelar dengan koordinasi bersama pihak aparat untuk tidak mengganggu ketertiban umum, jalannya lalu lintas, hingga kepentingan pihak lain. “Pasal ini mesti dibaca dengan keseluruhan RKUHP ini, yakni semangat RKUHP bukan semangat punitive, karena KUHP baru ini semangatnya dilandaskan pada upaya restorative,” kata Taufik belum lama ini. Taufik menjelaskan, bahwa baik pemerintah maupun DPR perlu mensosialisasikan pasal ini kepada aparat penegak hukum. Tujuannya, kata dia, agar aparat tidak serta merta menerapkan pasal dan lebih selektif dalam implementasinya. “Jadi sebenarnya yang dipermasalahkan teman-teman bukan substansi pasal, melainkan bagaimana penerapannya,” pungkasnya. Taufik menjelaskan, ada masa tunggu selama 3 tahun sebelum RKUHP berlaku. Menurut dia, masa jeda ini bisa dimanfaatkan untuk mensosialisasikan pasal-pasal RKUHP terhadap aparat penegak hukum untuk menghindari kekhawatiran kelompok masyarakat sipil ihwal pasal ini. “Problemnya di implementasi, bukan substansi materi. Implementasinya bisa menimbulkan kekhawatiran berdasarkan pengalaman kita selama ini. Nah yang perlu kita perbaiki bagaimana implementasi ini dilakukan dengan pemahaman yang benar,” kata dia. Sebelumnya, Komisi Hukum DPR bersama pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM menyepakati RKUHP di tingkat I pada Kamis (24/11). Keputusan ini diambil usai Komisi Hukum dan pemerintah membahas 23 poin yang dirangkum dari daftar inventarisasi masalah (DIM) fraksi yang diserahkan kepada pemerintah. Kemudian, DPR dan Pemerintah menyepakati Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) untuk disahkan menjadi Undang-Undang (UU) dalam rapat paripurna Selasa (6/12/2022). Pasal-pasal kontroversial dalam RUU KUHP baru bisa diunduh melalui link Pasal Kontroversial RUU KUHP Baru