Hemm...! Belum Apa-apa KPK Sudah Minta Maaf

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 30 Juli 2023 16:55 WIB
Jakarta, MI - Penetapan Kepala Badan SAR Nasional (Kabasarnas) Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letnan Kolonel Arif Budi Cahyanto sebagai tersangka kasus dugaan suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai polemik. TNI tidak mengakui penetapan tersangka dugaan suap terhadap Henri dan Arif oleh KPK pada Jumat, 28 Juli 2023. Menurut Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro, segala tindak pidana yang dilakukan oleh personel TNI diatur dalam UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. KPK pun meminta maaf hingga mengaku khilaf atas penetapan dua orang anggota TNI aktif, Henri dan Arif, dalam kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Basarnas itu. Merespons hal ini, Komisioner Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) Petrus Selestinus, menyayangkan sikap kerdil KPK pimpinan Firly Bahuri yang meminta maaf kepada Puspom TNI, terkait OTT KPK pada 25 Juli 2023 lalu itu. “Sangat disayangkan sikap kerdil KPK yang belum apa-apa sudah mengaku sebagai suatu kekhilafan. Ketika dua anggota TNI tertangkap tangan dalam OTT KPK, pada 25 Juli 2023, terkait dugaan suap dalam pengadaan barang dan jasa di Basarnas,” kata Petrus, Minggu (30/7). “Sikap Puspom TNI secara kelembagaan meminta KPK menyerahkan proses hukum terhadap dua anggota TNI yang terkena OTT, sebagai bentuk intervensi kekuasaan yang merobek-robek independensi KPK dalam menjakankan tugas pencegahan dan pemberantasan korupsi,” sambung Petrus. Alasannya, lanjut Petrus, apa yang diduga dilakukan dua oknum TNI hingga terjaring OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK, harus dipandang sebagai tindakan pribadi, untuk kepentingan pribadi dan orang lain dan bukan untuk dan atas nama serta kepentingan institusi TNI. “Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana yang diminta oleh KPK terhadap kedua oknum TNI yang terkena OTT KPK-pun ditujukan kepada dan bersifat pertanggungjawaban pribadi dua oknum TNI itu. Jadi, bukan tanggung jawab institusi TNI,” paparnya. Jika Puspom TNI ingin membela anak buahnya yang terlibat tindak pidana, kata Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) itu, hanya boleh dilakukan dengan membentuk tim penasehat hukum. Serta melakukan pembelaan melalui jalur hukum yakni praperadilan, atau gugatan ke pengadilan sesuai ketentuan pasal 63 UU KPK. “Sikap Puspom TNI datang ke KPK hendak menarik perkara kedua anak buahnya yang terkena OTT KPK untuk ditangani sendiri, hal itu cerminan arogansi kekuasaan. Ada keinginan untuk menumbuhkan sikap kebal hukum di kalangan prajurit TNI, ketika berhadapan dengan kasus hukum dengan masyarakat sipil,” tandasnya. Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengakui anak buahnya melakukan kesalahan dan kekhilafan dalam penetapan tersangka terhadap anggota TNI. "Kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, ada kelupaan, bahwasannya manakala ada melibatkan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kami yang tangani, bukan KPK," kata Johanis, Jum'at (28/7). Johanis Tanak merujuk pada Pasal 10 UU No 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. "Dalam aturan itu, pokok-pokok peradilan itu diatur ada empat lembaga, peradilan umum, militer, peradilan tata usaha negara dan agama," kata Johanis. Johanis mengatakan, berangkat dari kasus tersebut, pihaknya akan berbenah dan lebih berhati-hati dalam penanganan kasus korupsi khususnya yang melibatkan anggota TNI. "Disini ada kekeliruan, kekhilafan dari tim kami yang melakukan penangkapan, oleh karena itu atas kekhilafan ini kami mohon dapat dimaafkan dan ke depan kami akan berupaya kerjasama yang baik antara TNI dengan KPK," kata Johanis. Atas polemik ini, Direktur Penyidikan KPK, Brigjen Asep Guntur Rahayu mengundurkan diri dari jabatannya.