RUU Perampasan Aset: Kalau Disahkan DPR Ikut Tertimpa!

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 21 Agustus 2023 19:13 WIB
Jakarta, MI - Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul menyoroti banyak kasus dugaan korupsi yang tidak dijadikan sebagai momentum percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Padahal, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sudah mendesak para petinggi pemerintahan untuk segera mengesahkan RUU tersebut. Chudry tak yakin DPR akan segera membahas RUU Perampasan itu, sebab sekarang diwarnai dengan kesibukan agendan tahun politik. Jika disahkan, tegas dia, DPR RI juga ikut tertimpa. "Kalau itu disahkan kan bisa berlaku kemana aja gitu, termasuk anggota DPR. Maka saya tidak yakin ada political will dari Anggota DPR periode ini mau cepat membahasnya. Selain sibuk dengan agenda tahun politik, tapi selain itu juga enggan. Karena RUU Perampasan Aset bisa menimpa koruptor siapa saja. Bukan hanya eksekutuf dan yudikatif, tapi juga legislatif," ujar Chudry saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Senin (21/8). Chudry juga menyoroti anggota DPR RI yang tidak sesuai dengan profilnya, yang seharusnya patut untuk diusut oleh Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). "PPATK itu kan kalau melihat profilnya anggota DPR. Berapa sih penghasilan dia dalam sebulan. Kalau diperhatikan aset-asetnya anggota DPR RI sesuai nggak dengan profilnya? Mestinya kan itu bisa diusut gitu loh," bebernya. Kalau misalnya diberlakukan UU Perampasan Aset, jelas Chudry, bisa aja Polisi, Kejaksaan dan KPK meminta anggota DPR untuk membuktikan asal usul aset-asetnya. "Mana mau mereka gitu kan? Kalau itu diberlakukan saya kira mungkin korupsi bisa menurun ya. Kalau korupsi dihapus ya kayaknya sulitlah ya dalam keadaan budaya di Indonesia pada saat ini," ungkap Chudry. Selain itu, Chudry turut menyoroti pengusaha-pengusaha yang berminat menjadi anggota DPR. "Kadang-kadang aneh juga, misalnya dia mapan disektor bisnis dia masuk menjadi politisi. Jadi saya kira mestinya masyarakat sipil itu mempertanyakan, jangan terlalu fokus masalah ke Pilpres, Pileg aja gitu," jelasnya. Sebenarnya kenapa orang mau menjadi pejabat, menurut Chudry, karena dia mau menerima manfaat materilnya. "Berapa persen sih anggota DPR yang mau betul-betul mau mengabdi ke negara? Itu mereka cuma mau cari batu loncatan saja," kata Chudry. "Sekarang kalau betul-betul mau berantas korupsi ya harus tahu dulu akar masalah korupsi itu dimana. Karena pejabat-pejabat itu kan harus mengembalikan investasi yang sudah mererka keluarkan," imbuh Chudry. Berikut adalah batang hukum Indonesia yang mengatur tentang hukuman permasalahan perampasan aset agar hartanya dikembalikan ke negara, yaitu: UU nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pada UU ini perampasan aset merupakan instrumen utama pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Ketentuan tentang pertanggungjawaban secara perdata pelaku tindak pidana korupsi atau ahli warisnya secara lengkap dapat ditemukan dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 UU nomor 31 tahun 1999 dan Pasal 38C UU nomor 20 tahun 2001. Upaya pengembalian kerugian keuangan negara dengan hukuman perdata, sepenuhnya tunduk pada disiplin hukum perdata materiil dan formil, meskipun berhubungan dengan tindak pidana korupsi. Merangkum ejurnal.iainpare.ac.id, pengembalian kerugian keuangan negara juga dapat dilakukan melalui tindak pidana. Tindakan ini dilakukan oleh jaksa dengan menyita harta benda milik pelaku yang sebelumnya telah diputus pengadilan dengan putusan pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian keuangan negara. Pada Pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999 dijelaskan bahwa setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan dan dapat merugikan keuangan negara akan dilakukan tindak pidana. Adapun, pidananya berupa penjara seumur hidup atau paling singkat satu tahun dan paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar). Lebih lanjut, aturan tentang perampasan aset sebagai pidana tambahan beserta hukumannya dijelaskan dalam Pasal 18 UU nomor 31 tahun 1999, seperti dilansir bpk.go.id. Pada pasal 10 KUHP, perampasan harta termasuk dalam jenis pidana perampasan barang tertentu. Pidana perampasan merupakan pidana kekayaan dengan penggolongan dua macam barang yang dapat dirampas, yaitu barang hasil kejahatan dan barang untuk digunakan dalam kejahatan. Benda yang dirampas akan dieksekusi dengan dilelang di depan publik oleh jaksa, lalu hasilnya diserahkan ke kas negara berdasarkan pos hasil dinas kejaksaan, seperti dikutip ejournal.unsrat.ac.id. UU nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Sebelum disahkannya RUU Perampasan Aset, setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaannya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan asal usul hartanya diatur dalam UU nomor 8 tahun 2010. Akibatnya, sesuai Pasal 3, seseorang tersebut dijatuhkan pidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar, seperti tertulis dalam ppid.ppatk.go.id. (Wan)