PDIP Dorong Pembuktian Dugaan Intervensi Kasus e-KTP Lewat Lie Detector

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 16 Desember 2023 13:47 WIB
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto (Foto: Dok MI)
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Eks Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Persaudaraan Aktivis dan Warga (Pandawa) Nusantara karena pernyataannya yang menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah meminta menghentikan kasus korupsi e-KTP mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto (Setnov).

Pernyataannya itu menjadi pro dan kontra. Ada yang percaya kepada Agus dan ada juga yang percaya dari pernyataan pihaknya istana  bahwa tidak ada intervensi dalam kasus yang terjadi pada tahun 2017 itu.

Menanggapi hal ini, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan bahwa pembuktian hal itu bisa melaui tes uji kebohongan atau lie detector. Hasto mencermati dari pendapat dari para tokoh pro demokrasi, perguruan tinggi, bahwa banyak yang percaya terhadap kredibilitas Agus Rahardjo itu. 

"Bisa dibuktikan keterangan seseorang itu betul atau tidak, melalui tes kebohongan," ujar Hasto di Kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (16/12).

Menurut Hasto, melalui tes itu dapat membuktikan pihak mana yang melakukan kebohongan publik. Sehingga, tegas dia, hal-hal terkait dengan komitmen pemberantasan korupsi agar tidak ada intervensi terhadap KPK.

"Terhadap proses penegakkan hukum memang harus dilakukan dengan mengedepankan seluruh independensi dari KPK, termasuk para pejabat yang bertugas untuk memerangi dan mencegah korupsi itu," jelas Hasto.

Hasto pun mengingatkan agar semua pihak dapat menunggu proses hukum berjalan.

Sebagai informasi, bahwa dalam kasus korupsi e-KTP ini, Pengadilan sudah memvonis bersalah kepada 8 orang. 

Berikut rinciannya: 

1. Sugiharto: 5 tahun penjara (vonis 22 Juni 2017) 

2. Irman: 7 tahun penjara (vonis 20 Juli 2017) 

3. Andi Naragong: 8 tahun penjara (21 Desember 2017) 

4. Setya Novanto: 15 tahun penjara (divonis 24 April 2018, kemudian mengajukan peninjauan kembali (PK) setahun setelahnya) 

5. Anang Sugiana Sudiharjo: 6 tahun penjara (divonis 30 Juli 2018, inkracth setelah banding dan PK) 

6. Made Oka Masagung: 10 tahun penjara (divonis 5 Desember 2018, mengajukan PK dan ditolak pada 2020) 

7. Irvanto Hendra Pambudi Cahyo: 10 tahun penjara (divonis 5 Desember 2018) 

8. Markus Nari: 6 tahun penjara (divonis 11 November 2019) 

Kendati, dalam pengusutan kasus korupsi e-KTP, muncul beberapa perkara baru. 

Perkara pertama, pemberian keterangan palsu oleh mantan anggota DPR Miryam S Haryani dalam persidangan. 

Ia kemudian divonis bersalah dengan hukuman 5 tahun penjara pada 13 November 2017. 

Pada perkara ini, Markus Nari juga ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap menghalangi penyidikan dan penuntutan KPK dengan mempengaruhi Miryam untuk memberikan keterangan palsu. 

Perkara kedua adalah saat KPK menganggap ada pihak-pihak yang menghalang-halangi penyidikan perkara korupsi e-KTP untuk Setya Novanto. 

Dua orang ditetapkan sebagai tersangka yaitu pengacara Novanto, Fredrich Yunadi dan dokter di Rumah Sakit Medika Permata Hijau, dr. Bimanesh Sutarjo. 

Fredrich Yunadi awalnya dihukum 7 tahun penjara namun diperberat menjadi 7,5 tahun di tingkat kasasi pada 2021. 

Sementara itu Bimanesh harus menjalani hukuman 4 tahun penjara setelah mengajukan banding atas putusan vonis 3 tahun penjara. Tersangka baru Pada tahun 2019, KPK mengumumkan 4 tersangka baru dalam kasus korupsi e-KTP. 

Keempatnya adalah Miryam S Hariyani, Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI periode 2010-2013, Isnu Edhi Wijaya, Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan Kartu Tanda Penduduk Elektronik Husni Fahmi, dan Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, Paulus Thanos. 

Lalu, KPK melakukan penahanan kepada Isnu Edhi Wijaya dan Husni Fahmi pada 3 Februari 2022. Keduanya ditahan di Rutan Cabang KPK pada Pomdam Jaya Guntur, Jakarta. (Wan)