KPU Diminta Awasi Lembaga Survei yang Sempat Terseret Kasus Korupsi

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 4 Januari 2024 10:33 WIB
Pakar hukum, Deolipa Yumara (Foto: Dok MI)
Pakar hukum, Deolipa Yumara (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Perkembangan pesat lembaga survei belakangan ini menunjukan bahwa sebuah hasil survei memang diyakini banyak kalangan, khususnya politisi, bisa menjadi alat ukur.

Perlu diakui bahwa hasil survei itu penting sebagai panduan dalam menerapkan strategi pemenangan dalam pertarungan pemilu.

Makanya, dalam suasana pemilu seperti saat ini, lembaga-lembaga survei menjamur karena jasanya diminati oleh banyak partai politik atau pasangan capres dan cawapres untuk mengukur peta kekuatan mereka. 

Namun, tidak sedikit pula muncul cibiran bahwa sejumlah lembaga survei telah menghadirkan data yang tidak valid atau berat sebelah.

Misalnya hasil survei dinilai terlalu tendesius kepada salah satu pasangan calon saja.

"Meskipun dalam Pasal 4 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2022 tentang Partisipasi Masyarakat yang menegaskan bahwa keterlibatan masyarakat melalui lembaga survei seharusnya bersikap netral dalam pemilu, tetap saja masih terdapat dugaan keberpihakan yang dapat memberi keuntungan atau kerugian pada peserta pemilu sehingga mengganggu proses tahapan pemilu," ujar pakar hukum pidana, Deolipa Yumara kepada Monitorindonesia.com, Kamis (4/1).

Dibalik itu, indenpendensi para lembaga survei tetap harus dijaga.

Menurut Deolipa Yumara, permasalahan yang muncul dalam hasil survei bukan hanya terkait dengan metodologi, tetapi juga transparansi, dan pendanaan yang kurang terbuka.

Padahal, tegas Deolipa, parameter demokrasi yang berkualitas dan berintegritas itu adalah adanya transparansi dan akuntabilitas. "Ya salah satunya ditentukan oleh lembaga survei dalam pendanaan-pendanaannya," katanya.

Dia juga menilai penting bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi tentang hasil survei yang akurat dan sesuai dengan kebutuhan mereka, tanpa manipulasi. 

Selain itu, Deolipa berpandangan, dampak potensial hasil survei dapat memicu konflik dalam legitimasi proses pemilu dapat bersifat berkepanjangan. 

"Kita harus bijaksana merespons dan membaca hasil survei yang kian bertebaran," tegas Deolipa Yumara.

Deolipa Yumara menegaskan bahwa ada tidaknya masalah dengan survei yang dilakukan atas permintaan pihak tertentu, misalnya, untuk mengetahui bagaimana sentimen publik atas kandidat-kandidat tertentu. 

"Nggak apa-apa, sepanjang lembaga survei yang dipesan tidak melakukan kejahatan-kejahatan akademis, seperti menutupi pendanaan, memalsukan data, memalsukan sampling dan lain-lainya," jelasnya.

Oleh karena itu, ia menyarankan, adanya kualifikasi terhadap lembaga survei, serta meminta pertanggungjawaban tentang keakuratan informasi hasil survei kepada publik.

"Komisi Pemilihan Umum, Komisi Informasi Publik, dan Komisi Penyiaran Indonesia harus mengaturnya," tuturnya.

Lantas bagaimana jika lembaga survei tidak mau menyampaikan pendanaan darimana asal-usulnya termasuk juga hasil risetnya banyak yang berbeda dengan yang dipublikasikan?

Deolipa enggan mengomentarinya, hanya saja dia menyinggung adanya lembaga survei nasional tersangkut dugaan tindak pidana korupsi.

KPK saat itu menyebut, Poltracking dan Indikator Politik Indonesia diduga menerima aliran uang korupsi Bupati Kapuas periode 2013-2018 dan 2018-2023, Ben Brahim S Bahat.

"KPU bersama KPK ya harus mengawasi dan mewaspadai lembaga survei yang sempat terseret kasus dugaan korupsi," tegasnya.

Deolipa pun menekankan pentingnya transparansi dalam lembaga survei di Indonesia. Pasalnya, jika merujuk pada ketentuan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2022 yang mengatur partisipasi masyarakat dalam Pemilu 2024, menegaskan bahwa lembaga survei wajib melaporkan sumber dana mereka. 

"Dalam Pasal 17 PKPU mengatur syarat pendaftaran lembaga survei, termasuk pengajuan surat pernyataan yang mencantumkan metodologi, sumber dana, jumlah responden, tanggal, dan tempat pelaksanaan survei," tutup Deolipa Yumara. (wan)