Menelisik Peluang Partai Kecil Lolos ke Senayan

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 1 Maret 2024 15:34 WIB
Rapat pleno rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilu 2024 di Surabaya, Jawa Timur, pada Rabu (28/2).
Rapat pleno rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilu 2024 di Surabaya, Jawa Timur, pada Rabu (28/2).

Jakarta, MI - Ambang batas parlemen (parliamentary threshold) merupakan syarat minimal perolehan suara partai politik untuk diikutkan dalam penentuan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. Ambang batas parlemen ini mulai diterapkan di Indonesia sejak Pemilu 2009.

Dalam beberapa pemilihan legislatif (pileg) terakhir, syarat itu membuat sejumlah partai kesulitan menembus Senayan sehingga suara yang mereka raih saat pemilu terbuang sia-sia karena tak terkonversi menjadi kursi. Pemilihan umum (Pemilu) 2024 yang baru saja dihelat misalnya. 

Di tengah rekapitulasi suara nasional Pemilu 2024 yang dijadwalkan hingga 20 Maret 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) justru mengabulkan permohonan pemohon terkait dengan ambang batas parlemen minimal 4 persen dari suara sah secara nasional. Putusan ini diambil MK setelah mengadili permohonan yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada Agustus 2023.

Meski rekapitulasi secara manual belum selesai, bisa memprediksi partai politik mana saja yang memenuhi ambang batas parlemen, khususnya pada Pemilu Anggota DPR RI, yang diikuti 18 partai politik nasional. 

Pada pileg ini tercatat 9.918 calon anggota DPR RI yang memperebutkan 580 kursi DPR RI di 84 daerah pemilihan (dapil).

https://cdn0-production-images-kly.akamaized.net/vcTsVTcKTd4C-oll2ttGVO1JE7Y=/640x360/smart/filters:quality(75):strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4634549/original/009133600_1698999917-IMG_20231103_144246.jpg
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menetapkan 9.918 orang menjadi daftar calon tetap (DCT) anggota DPR RI

Sesuai dengan nomor urut peserta Pemilu 2024: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Gerindra, PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai NasDem, Partai Buruh, dan Partai Gelora Indonesia.

Berikutnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Partai Hanura, Partai Garuda, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Demokrat, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Perindo, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Ummat.

Diketahui, bahwa dalam permohonannya, Perludem meminta MK menganulir parliamentary threshold sebesar 4% yang tertuang di pasal 414 ayat 1 Undang-Undang No. 7/2017 tentang pemilu.

Dalam putusan yang dibacakan pada Kamis (29/2) kemarin, MK berpendapat bahwa angka ambang batas parlemen harus diubah sejak pemilu DPR 2029, tapi rumus untuk menentukan besaran persentasenya diserahkan kepada pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang.

"Mahkamah tetap pada pendirian bahwa ambang batas parlemen dan/atau besaran angka atau persentase ambang batas parlemen merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang sepanjang penentuan tersebut menggunakan dasar metode dan argumentasi yang memadai," kata MK dalam putusannya.

Sementara kuasa hukum Perludem Fadli Ramdhanil juga mengatakan tak ada penghapusan ambang batas. MK, kata dia, memperbolehkan ambang batas parlemen berlaku di Pemilu 2029 asal dihitung dengan basis akademis dan teoritis yang jelas.

MK memberi lima poin tuntunan untuk merumuskan ulang ambang batas parlemen baru. Poin pertama adalah ambang batas parlemen baru harus didesain untuk digunakan secara berkelanjutan.

MK juga menekankan ambang batas harus tetap dalam bingkai menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional. Pencegahan besarnya suara yang tak dapat dikonversi menjadi kursi DPR RI menjadi sorotan MK.

Selanjutnya, perubahan ambang batas parlemen harus tetap memperhatikan penyederhanaan partai politik. Poin keempat adalah perumusan ulang ambang batas parlemen harus selesai sebelum tahapan Pemilu 2029 digelar.

Poin kelima, perubahan harus melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna. MK berkata partai-partai nonparlemen juga harus diajak merumuskan ambang batas parlemen baru.

"Ini putusan yang sangat baik sebetulnya untuk penataan sistem pemilu ke depan dan menjamin proporsionalitas hasil pemilu," ucap Fadli di Gedung MK, Jakarta, Kamis (29/2).

Putusan MK

Dalam amar putusan  Nomor 116/PUU-XXI/2023, MK menilai bahwa ketentuan ambang batas parlemen sebesar 4% suara sah nasional yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi. 

Untuk itu, ambang batas parlemen tersebut konstitusional sepanjang tetap berlaku dalam Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya.

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan norma Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan terhadap norma ambang batas parlemen serta besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan Amar Putusan dalam Sidang Pengucapan Putusan yang digelar pada Kamis (29/2/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.

Sebelumnya, Perludem mempersoalkan norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu sepanjang frasa “paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional”. 

Selengkapnya, Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR”. 

Pemohon menyebut hubungan ambang batas parlemen dengan sistem pemilu proporsional. Pemohon berargumen, ambang batas parlemen ini adalah salah satu variabel penting dari sistem pemilu yang akan berdampak langsung kepada proses konversi suara menjadi kursi. 

Menurut Perludem, ketentuan ambang batas parlemen ini tidak boleh tidak dikaitkan dengan ketentuan di dalam Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu yang mengatur bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR baik provinsi maupun kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. 

Perludem mengaitkan ketentuan ambang batas parlemen ini dengan tidak konsistennya atau menimbulkan ketidakpastian antara ketentuan ambang batas parlemen yang 4% dan berakibat tidak terwujudnya sistem pemilu yang proporsional karena hasil pemilunya tidak proporsional

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, Mahkamah tidak menemukan dasar metode dan argumen yang memadai dalam menentukan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dimaksud, termasuk metode dan argumen yang digunakan dalam menentukan paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional sebagaimana ditentukan dalam Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu. 

Bahkan, merujuk keterangan pembentuk undang-undang, yaitu Presiden dan DPR terhadap permohonan a quo, Mahkamah tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase paling sedikit 4% (empat persen) dimaksud dilakukan dengan metode dan argumen penghitungan atau rasionalitas yang jelas.

Terjadi Disproporsional

Selain argumentasi di atas, Saldi melanjutkan ambang batas parlemen jelas memiliki dampak terhadap konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR, yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu. 

Artinya, bilamana diletakkan dalam basis argumentasi sistem pemilihan proporsional yang dianut, jumlah suara yang diperoleh partai politik peserta pemilu selaras dengan kursi yang diraih di parlemen agar hasil pemilu menjadi proporsional. 

Untuk itu, dalam sistem pemilu proporsional semestinya meminimalisir suara yang terbuang agar hasil pemilu tidak terkategori menjadi tidak proporsional atau disproporsional.

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah memaparkan dalam konteks keterpenuhan prinsip proporsionalitas dimaksud, misalnya, pada Pemilu 2004 suara yang terbuang atau tidak dapat dikonversi menjadi kursi adalah sebanyak 19.047.481 suara sah atau sekitar 18% (delapan belas persen) dari suara sah secara nasional. 

https://ichef.bbci.co.uk/ace/ws/800/cpsprodpb/32c7/live/105fc750-d797-11ee-b83b-0f87a864f372.jpg
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kanan) berbicara dengan Hakim Konstitusi Saldi Isra (kiri) di sela sidang uji materiil sebuah undang-undang, Kamis (29/2).

Begitu pula dalam Pemilu 2019, terdapat 13.595.842 suara tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR atau sekitar 9,7% (sembilan koma tujuh persen) suara sah secara nasional. 

Meski pada Pemilu 2014 “hanya” terdapat 2.964.975 suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR, atau sekitar 2.4% (dua koma empat persen) dari suara sah secara nasional, namun secara faktual jumlah partai politik di DPR lebih banyak dibandingkan hasil Pemilu 2009 dan Pemilu 2019, yaitu 10 (sepuluh) partai politik.

Saldi menambahkan bentangan empirik tersebut menegaskan telah terjadi disproporsional antara suara pemilih dengan jumlah partai politik di DPR selama diterapkannya ambang batas parlemen dalam pemilu anggota DPR. 

Fakta tersebut membuktikan, hak konstitusional pemilih yang telah digunakan pemilih dalam pemilu menjadi hangus atau tidak dihitung dengan alasan penyederhanaan partai politik demi menciptakan sistem pemerintahan presidensial yang kuat dengan ditopang lembaga perwakilan yang efektif.

“Padahal prinsip demokrasi menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, namun kebijakan ambang batas parlemen telah ternyata mereduksi hak rakyat sebagai pemilih. Hak rakyat untuk dipilih juga direduksi ketika mendapatkan suara lebih banyak namun tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen,” kata Saldi menjelaskan.

Menurut Mahkamah, sambung Saldi, penentuan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen yang tidak didasarkan pada dasar metode dan argumen yang memadai, secara nyata telah menimbulkan disproporsionalitas hasil pemilu karena tidak proporsionalnya jumlah kursi di DPR dengan suara sah secara nasional. 

Padahal, sesuai dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUUVII/2009, kewenangan pembentuk undang-undang dalam menentukan ambang batas parlemen termasuk besaran atau persentase dapat dibenarkan sepanjang tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.

“Namun secara faktual prinsip-prinsip tersebut telah tercederai karena berakibat banyak suara pemilih yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi di DPR, sehingga menciptakan disproporsionalitas sistem pemilu proporsional yang dianut. Hal demikian disadari atau tidak, baik langsung atau tidak telah menciderai makna kedaulatan rakyat, prinsip keadilan pemilu, dan kepastian hukum yang adil bagi semua kontestan pemilu termasuk pemilih yang menggunakan hak pilih".

"Berdasarkan hal tersebut, dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan ambang batas parlemen dan/atau besaran angka atau persentase ambang batas parlemen yang tidak disusun sesuai dengan dasar metode dan argumen yang memadai pada dasarnya dapat dipahami oleh Mahkamah,” jelas Saldi.

Politikus PDI Pejuangan Hendrawan Supratikno menilai bahwa putusan MK itu sudah bijaksana. Menurutnya, partai politik besar seperti PDI-P pada dasarnya ingin menaikkan ambang batas parlemen tersebut. 

"Putusan yang bijaksana. Kita memang tidak boleh berhenti di angka empat persen. Untuk konsolidasi dan penyederhanaan parpol, angka lima sampai tujuh persen dianggap lebih masuk akal," ujarnya kemarin.

Menurutnya, tak hanya PDIP yang mengusulkan kenaikan ambang batas parlemen dari empat persen. Menurut dia, partai politik besar rata-rata menginginkan ambang batas parlemen dinaikan. Tetapi, Hendrawan tak mengungkap partai politik mana saja di parlemen yang ingin menaikkan ambang batas tersebut. 

"Namun sebaliknya, parpol-parpol baru mengusulkan angka tersebut (empat persen) diturunkan. Jadi memang harus dicari angka kompromi yang rasional," kata anggota Komisi XI DPR ini.

Lebih lanjut, Hendrawan berpandangan bahwa angka empat persen yang sudah ditetapkan saat ini sebagai ambang batas, sejatinya sudah memenuhi kompromi untuk seluruh partai politik. 

"Saat UU (undang-undang) tersebut dibentuk, dilakukan studi banding ke beberapa negara. Rata-rata pada angka empat sampai tujuh persen. Pada waktunya angka yang tepat akan diperdebatkan lagi," kata Hendrawan. 

Bagiamana jika ambang batas diturunkan?

Penurunan angka ambang batas parlemen dinilai akan membuka peluang lebih besar bagi partai-partai bersuara kecil yang selama ini kesulitan lolos ke DPR dengan syarat perolehan suara minimal 4%. "Partai non-parlemen tentu punya kesempatan," kata Arya Fernandes dari CSIS.

Sementara Burhanuddin Muhtadi dari Indikator Politik Indonesia menilai penurunan angka ambang batas dapat memberi insentif agar partai-partai kecil bisa menembus parlemen.

Berdasarkan penghitungan cepat berbagai lembaga survei, enam partai yang baru pertama kali mengikuti pemilu pada 2024 akan gagal memenuhi syarat untuk meraih kursi di DPR.

Amalinda Savirani, pengajar di Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, sebelumnya mengatakan partai baru selalu terbebani untuk memenuhi syarat administratif, termasuk untuk memiliki kepengurusan di 75% jumlah kabupaten/kota dan di 50% dari total kecamatan.

Pada saat yang sama, partai baru juga harus memengaruhi warga untuk memilih mereka, dan itu biasanya membutuhkan sumber daya dan jaringan yang masif, kata Amalinda.

“Verifikasi bisa diakali, tapi representasi itu berat untuk partai baru. Seberapa besar kemampuan mereka mengedukasi dan mempengaruhi warga di akar rumput untuk memilih mereka?“ katanya.