'Take Over' Korupsi LPEI

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 23 Maret 2024 19:38 WIB
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK (Foto: Dok MI)
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Kejaksaan Agung (Kejagung) menerima laporan dari Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang diserahkan kepada Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, Senin (18/3/2024) lalu. Laporan tersebut berasal dari Tim Terpadu yang tengah mengusut sejumlah kredit macet diLembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).

Selang satu hari, KPK kemudian mengumumkan telah meneken surat perintah dimulainya penyidikan (Sprindik) kasus dugaan korupsi atau fraud LPEI. Pada tahap awal, mereka menyoroti pemberian kredit pada tiga debitur senilai Rp3,4 triliun yaitu PT PE, PT RII, dan PT SMYL.

Namun Kejagung tetap melaksanakan kajian teknis untuk dapat melanjutkan proses penyelidikan dalam rencana penyidikan dugaan korupsi di LPEI itu.

Tim penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus)-lah yang menjadi pengendali dalam pengusutan dugaan korupsi terkait pemberian fasilitas pembiayaan dan kredit ekspor terhadap empat perusahaan swasta selaku debitur LPEI yang merugikan negara sekitar Rp 2,5 triliun pada 2019.

Tim di Jampidsus sepertinya mengabaikan seruan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta Kejakgung, agar menyetop seluruh rangkaian proses hukum, dari penyelidikan, maupun penyidikan kasus korupsi di LPEI tersebut. Karena KPK, pada Selasa (19/3/2024) resmi mengumumkan kasus dugaan korupsi LPEI tersebut ditingkatkan ke level penyidikan. 

KPK mengklaim kasus tersebut sudah dalam penyelidikan sejak 10 Mei 2023. Namun Kejagung menyebut kalau kasus yang dilaporkan Menkeu Sri Mulyani ini, merupakan lanjutan dari kasus LPEI yang sudah mereka tangani sejak 2021. 

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana berkata selama ini belum ada koordinasi antar-lembaga soal perkara LPEI. Kalaupun KPK ingin Kejagung menghentian kasus yang sedang berjalan maka harus melalui komunikasi.

"Maka dari itu saya bingung, [kasus] mana yang dimaksud [dihentikan]? Kita ini kan sudah punya MoU antar penegak hukum. Datang aja ke sini dulu, jangan diomongin ke media. Kan tidak elok, kita juga tidak ngulik-ngulik kasus, tidak mau ada tumpang tindih kasus antar penegak hukum,"  kata Ketut dikutip Monitorindonesia.com, Sabtu (23/3/2024).

"Karena itulah gunanya koordinasi dan kolaborasi antar penegak hukum. Kami terbuka mana kasus yang dimaksud [dihentikan]. Kita juga enggak mau.... kasus-kasus kita sudah terlalu banyak, jumlahnya triliunan juga banyak," tambahnya.

Dalam Mou atau nota kesepahaman tersebut, sambungnya, memang ada klausul bahwa sebuah perkara yang sama akan diserahkan ke pihak yang lebih dahulu melakukan penyidikan.

Sementara itu, menurut Direktur Penyidikan Jampidsus Kuntadi, pihaknya melakukan telaah sehingga akan segera dirumuskan untuk dapat dilanjutkan ke proses penyelidikan, dan penyidikan. 

“Sifatnya saat ini masih berupa laporan. Dan masih dalam kajian. Kalau memang sudah ada kecukupan (bukti-bukti peristiwa pidananya), ya kita pasti dalami ke penyelidikan dan penyidikan,” begitu kata Kuntadi saat ditemui di Kejakgung, Jakarta, Jumat (23/3/2024).

Menurutnya, laporan dugaan korupsi LPEI oleh Menkeu Sri Mulyani pada Senin (18/3/2024) tersebut, sebetulnya babak lanjutan dari perkara korupsi LPEI yang pernah diusut tuntas oleh tim Jampidsus pada 2021-2022. 

Konstruksi kasusnya, pun sama. Yaitu penyimpangan hukum maupun aturan LPEI dalam pengajuan kredit dan pembiayaan ekspor oleh perusahaan-perusahaan swasta.  “Dalam kasus yang dilaporkan (oleh Sri Mulyani) itu, nggak jauh berbeda (dari yang pernah ditangani 2021-2022),” beber Kuntadi. 

Dari semua konstruksi kasus LPEI tersebut berujung pada dugaan tindak pidana korupsi yang sama berupa fraud, atau penyimpangan yang dilakukan perusahaan debitur dan merugikan keuangan negara. “Semuanya berawal dari situ (fraud),” tegasnya.

Take Over

Pakar hukum dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah menilai tindakan KPK yang mengusut dugaan korupsi fasilitas kredit di LPEI patut dicurigai. Sebab KPK seolah take over kasus dari Kejaksaan Agung (Kejagung). 

Jika KPK sudah mulai melakukan penyidikan atau penyidikan dilakukan secara bersama dengan aparat penegak hukum lain, maka KPK yang berwenang menangani perkara tersebut. Ketentuan ini diatur dalam UU KPK.  "Tapi bagaimanapun, langkah KPK untuk melakukan take over terhadap perkara LPEI itu tetap patut dicurigai," kata Herdiansyah, Rabu (20/3/2024). 

Sejumlah hal guna mendukung kecurigaannya itu. Kata dia, pertama, menurut KPK laporan perkara ini sudah masuk sejak awal 2023. Tapi KPK justru tak mengungkapnya lebih dulu dari Kejagung.  "Lalu kenapa setelah sekian lama baru diributin? Jadi tidak salah APH lain mengambil inisiatif akibat lambannya penanganan perkara," jelas Herdiansyah. 

Kedua, Herdiansyah menduga perkara LPEI ini kemungkinan tidak tunggal. Herdiansyah menduga dugaan korupsinya lebih dari satu perkara. Sehingga menurutnya tak masalah kalau APH lain turut serta menyelidiki. 

"Bisa jadi banyak ikan dalam satu kolam. Jadi tidak masalah jika APH lain masuk menangani perkara terkait LPEI ini," ucap Herdiansyah. 

Herdiansyah mengingatkan selama ini Kejagung memang bagian dari tim terpadu dalam pengawasan LPEI bersama BPKP dan Inspektorat Kemenkeu. Bahkan kepolisian juga bisa masuk dalam tindak pidana umum. 

"Jadi KPK tidak perlu buru-buru merasa jadi lembaga tunggal yang berhak menangani perkara LPEI ini," ucap Herdiansyah. 

Ketiga, Herdiansyah menyinggung KPK sulit mendapat kepercayaan masyarakat mengusut kasus ini di tengah perilaku buruk pimpinan hingga bawahan KPK.

"Jangan salahkan publik kalau menilai KPK punya motif dibalik take over perkara ini. Menjaga integritas lembaga saja gagal, gimana mau menangani perkara lain. Begitu respons publik," ucap Herdiansyah. 

Namun demikian, KPK membantah adu cepat dengan Kejagung dalam mengusut dugaan korupsi fasilitas kredit di LPEI. KPK mensinyalkan sudah menerima laporan sebelum Kejagung.  

Naik Penyidikan Tanpa Tersangka

Keputusan KPK menaikkan dugaan kasus ini ke tingkat penyidikan tanpa tersangka dikritik mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap. Menurutnya, tindakan KPK tersebut telah merusak pola kerja yang sudah berlangsung selama ini.

“Dengan berubah seperti ini pimpinan KPK mendekonstruksi belasan tahun kerja KPK sejak periode pertama,” kata Yudi di hadapa wartawan pafa hari Rabu (20/3/2024).

Menurut Yudi, kebijakan baru KPK ini bisa berdampak buruk pada pemberantasan korupsi. Dikhawatirkan, KPK bakal mudah menghentikan penyidikan kasus jika tidak menemukan adanya tersangka.

“Nantinya KPK akan sangat mudah menaikan sprindik dan bisa juga gampang men-SP3 jika tidak menemukan tersangka. Karena di UU yang baru KPK juga bisa men-SP3,” kata Yudi.

“Intinya jadi untuk apa ada pasal 44 jika akhirnya naik ke penyidikan tidak ada tersangka. Penyidikan tanpa nama tersangka di awal justru bertentangan dengan pasal 44 UU KPK,” timpalnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron tidak menjelaskan siapa yang menjadi tersangka dalam kasus ini. Saat ditanya wartawan tentang siapa yang menjadi tersangka, Ghufron hanya menjawab singkat. “Calon, ada". (wan)