Kabinet Gemuk Buka Lebar Peluang Korupsi!

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 12 Mei 2024 20:03 WIB
Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka berfoto di depan potret Presiden Joko Widodo usai penetapan pemenang pemilihan presiden 2024 oleh KPU, di Jakarta, 24 April 2024 (Foto: Dok MI/AFP)
Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka berfoto di depan potret Presiden Joko Widodo usai penetapan pemenang pemilihan presiden 2024 oleh KPU, di Jakarta, 24 April 2024 (Foto: Dok MI/AFP)

Jakarta, MI - Presiden terpilih 2024 Prabowo Subianto disebut berencana menambah jumlah kementerian di kabinetnya menjadi 40. Jumlah ini melebihi jumlah kementerian yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Kementerian Negara, yakni maksimal 34 kementerian.

Wacana menambah jumlah kementerian untuk pemerintahan Prabowo kelak sudah mendapatkan dukungan dari elite Partai Gerindra.

Disebutkan bahwa alasan dari penambahan nomenklatur kementerian adalah untuk mengakomodir beban kerja negara yang cukup besar mengingat luasnya wilayah Indonesia dan padatnya jumlah penduduk.

Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah menilai penambahan tersebut melanggar Undang-Undang Kementerian Negara. 

Dia menduga rencana penambahan jumlah kementerian tersebut akan dilakukan melalui perubahan undang-undang. Oleh karena itu, kata Herdiansyah, aksi merangkul kelompok oposisi kencang dilakukan biar aman prosesnya. Selain mengubah undang-undang, kata Herdiansyah, penambahan jumlah kementerian itu bisa juga melalui Mahkamah Konstitusi (MK).

Herdiansyah pun menekankan jumlah kementerian yang terlalu banyak tidak akan efektif dan boros karena pekerjan yang harusnya bisa digarap oleh satu kementerian malah dikerjakan ramai-ramai.

Selain itu, kata Herdiansyah, semakin banyak kementerian maka ancaman korupsinya juga akan besar. Oleh karena itu, dia menilai penambahan kementerian bukanlah sebuah pilihan yang tepat. Penambahan itu, ungkapnya, hanya untuk bagi-bagi jatah kekuasaan.

“Saya memandang alasan-alasan itu lebih kepada soal politik. Bagi-bagi kekuasaan karena koalisi Prabowo gemuk, maka otomatis supaya jatah-jatah kue kekuasaan ini juga merata ya, mesti ditambah jumlah kementerian supaya semua bisa dapat,” kata Herdiansyah kepada wartawan, Minggu (12/5/2024).

Untuk mencegah itu, tambahnya, presiden terpilih harus memilih banyak orang-orang profesional yang kompeten sebagai menterinya dan mengurangi jumlah orang-orang partai politik.

Menurutnya alasan rasional perlu lebih dikedepankan karena menjalankan negara tidak cukup dengan hanya “bagi-bagi kekuasaan”.

“Kalau secara psikologi politik, satu yang diberikan pasti yang lain minta jatah. Jadi lebih baik pasang saja orang profesional, kurangi jumlah orang-orang partai politik. Kita paham jatah partai politik pasti ada tapi menurut saya jauh lebih penting memikirkan bagaimana menjalankan negara dengan berdasarkan kompetensi masing-masing,” bebernya.

Membuka lebar peluang korupsi
Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko menjelaskan penambahan sejumlah kementerian merupakan hal yang kontradiktif terkait tata kelola pemerintahan yang efektif, yakni makin sedikit atau ramping jumlah kementerian, maka pemerintahan makin efektif.

Wawan menilai secara politis, penambahan jumlah kementerian lagi-lagi menunjukkan bagi-bagi kue kekuasaan. Dia mengatakan konsolidasi demokrasi bukan dimaknai dengan bagi-bagi kekuasaan, tetapi bagaimana menjamin para oposisi bisa bersuara secara setara dan benar.

"Menjadi oposisi pun dalam demokrasi itu penting. Justru kalau tidak ada oposisi, demokrasi itu nggak akan hidup. Oposisi yang ditekan, oposisi yang direpresif, oposisi yang dikriminalisasi itu malah yang nggak sehat," katanya.

Wawan mengatakan konsekuensi dari penambahan jumlah kementerian akan memperbesar anggaran untuk membiayai kementerian tersebut, baik pembiayaan yang bersifat belanja langsung dan tidak langsung. Kemudian, bertambahnya jumlah kementerian juga akan sangat membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Menurutnya, membentuk kabinet gemuk akan membuka lebar peluang terjadinya korupsi dalam konteks kewenangan yang dimiliki kementerian bersangkutan. 

Dia mencontohkan jika sejumlah lembaga sama-sama memiliki kewenangan untuk mengeluarkan izin pertambangan, akan tumpang tindih dan terjadi silang sengketa.

Hal yang wajar
Wakil ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman menganggap penambahan kementerian sebagai hal wajar karena Indonesia merupakan negara yang besar sehingga butuh bantuan dari banyak pihak.

Menurut Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia, revisi Undang-Undang Kementerian Negara diperlukan agar bangsa Indonesia mengikuti perkembangan zaman. Dia mengatakan revisi UU tersebut bisa membuah jumlah kementerian bertambah menjadi 40 lebih, bahkan juga bisa berkurang menjadi di bawah 34.

Dia menjelaskan revisi UU Kementerian Negara tidak otomatis berbicara soal jumlah kementerian semata, melainkan juga perubahan nomenklatur untuk menyesuaikan kebutuhan oembangunan Indonesia seiring dengan perkembangan.

“Undang-undang Kementerian Negara terakhir tahun 2008, UU Nomor 9 Tahun 2008. Jadi sudah 16 tahun. Tentu saya kira 16 tahun ini sudah banyak perubahan kemajuan, situasi baik domestik Indonesia maupun dunia global. Saya kira sudah cukup pantas untuk kita mengkaji ulang apakah struktur pemerintahan/ kementerian ini masih up-to-date atau tidak dengan situasi sekarang,” kata Doli.

Sementara itu, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra mengatakan wacana itu, tidak perlu dikaitkan dengan pemborosan uang negara. Menurut Yusril, seharusnya yang dilihat dari wacana itu ialah bagaimana pemerintah mengatasi permasalahan ke depan. 

"Wacana yang berkembang Pak Prabowo ingin menambah jumlah kementerian menjadi 40, itu sah saja. Jumlah kementerian memang harus disesuaikan dengan program yang dibuat Pak Prabowo ketika kampanye," ujar Yusril, Jumat (10/5/2024). 

"Penambahan jumlah kementerian tidak perlu dikaitkan dengan pemborosan, tetapi harus dilihat dari sudut efektivitas menjalankan roda pemerintahan dan rumitnya masalah yang kita hadapi. Indonesia negara besar dan jumlah penduduk yang besar pula," sambungnya.

Yusril lantas mengungkit Malaysia yang memiliki 19 menteri, di mana penduduknya kurang dari 10 persen penduduk Indonesia. Lalu, Thailand punya 36 kementerian, sedangkan Jepang punya sekitar 40 menteri dan menteri negara. 

"Jadi tergantung saja pada kebutuhan dan rumitnya masalah yang dihadapi, bukan harus dilihat dari faktor bagi-bagi kekuasaan," jelas Yusril. 

Yusril menekankan, jumlah kementerian bisa saja ditambah, tetapi dengan amandemen UU Kementerian Negara. Dia menyebut upaya tersebut bisa dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR sekarang, atau setelah Prabowo dilantik dengan menerbitkan Perppu. 

"Apa bisa Prabowo terbitkan Perppu sehari setelah dilantik? Bisa. Jangankan sehari, satu menit sesudah dilantik saja sudah berwenang. Karena satu detik saja sesudah mengucapkan sumpah sebagai Presiden di sidang MPR, kewenangan Prabowo sebagai Presiden sudah 100 persen".

"Dia berwenang melakukan apa saja yang menjadi kewenangan seorang Presiden," tukasnya menambahkan.

Jangan sampai makin banyak, malah koordinasinya berantakan
Anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera agak menolak tentang pembengkakan (nomenklatur) kementerian ini. Seharusnya, reformasi birokrasi itu rumusnya sederhana, yaitu miskin struktur, kaya fungsi. 

“Jangan sampai justru makin banyak struktur, malah koordinasinya jadi berantakan," kata Mardani saat menjadi narasumber di salah satu wawancara virtual, di Jakarta, Jumat (10/5/2024).

Politisi Fraksi PKS itu mengingatkan bahwa penambahan nomenklatur kementerian termasuk yang berkaitan dengan sektor kependidikan belum tentu menjadi solusi yang cespleng. 

Tidak hanya itu saja, jika ego sektoral kerap terjadi, maka berpotensi akan semakin memperumit akibat gemuknya birokrasi. Di mana, potensi ini, jelasnya, menimbulkan deretan permasalahan. 

Di antaranya muncul peraturan perundang-undangan yang tidak harmonis, kewenangan yang saling tumpang tindih (overlapping), dan kecenderungan penyalahgunaan kewenangan.

"Jangan sampai jadi terikat dengan birokrasi, lalu menciptakan berbagai regulasi yang saling bertentangan. Kita perlu ‘start from zero’. Coba lihat lagi penataan pendidikan Indonesia. Pemerintah harus paham dulu dasar dari masalah (pendidikan) ini,” pungkasnya.