Rekrutment Penyidik KPK Mesti dapat Rekomendasi Polri, YLBHI Singgung Kasus Cicak vs Buaya

Firmansyah Nugroho
Firmansyah Nugroho
Diperbarui 2 Juni 2024 17:47 WIB
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI (Foto: Dok MI/Aswan)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Berbagai Revisi Undang-Undang (RUU) di DPR menuai sorotan kalangan masyarakat sipil. Salah satu yang jadi polemik yakni RUU Perubahan UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

Secara umum draft RUU Polri tidak menjawab masalah yang selama ini ada di institusi Polri. Justru banyak ketentuan dalam RUU yang berpotensi menambah masalah baru.

Salah satunya adalah wewenang polisi yang diperluas hingga dapat menjadi penyeleksi saat lembaga-lembaga penyidikan hendak melakukan rekrutmen penyidik baru. 

Hal ini sebagaimana dalam Draf RUU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 16 ayat 1, dinyatakan bahwa dalam menyelenggarakan rekrutmen penyidik, kementerian hingga lembaga seperti KPK dan Jaksa Agung mesti mendapatkan rekomendasi dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai hal itu ada upaya 'intervensi'. "Kalau kita berkaca, ini akan menjadi catatan yang sangat tidak baik. Berarti ada upaya intervensi." kata Isnur kepada wartawan, Minggu (2/6/2024).

Isnur pun menyinggung kasus cicak vs buaya yang berjilid-jilid, bahwa saat itu terjadi perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Markas Besar Kepolisian RI.

Hal itu mestinya menjadi catatan penting terhadap aturan dalam pasal yang berpolemik ini. "Bagaimana dinamika ini terjadi, bagaimana pengembalian, misalnya deputi direktur penindakan, direktur penyidikan di kpk, ini menjadi catatan yang luar biasa besar".

"Jadi potensial seperti kasus yang terakhir," imbuh Isnur.

Adapun kasus cicak vs buaya pertama terjadi pada Juli 2009. Perseteruan tersebut berawal dari isu yang beredar adanya penyadapan oleh KPK terhadap Kabareskrim Mabes Polri saat itu, Komjen Susno Duadji. 

Susno dituduh terlibat pencairan dana dari nasabah Bank Century, Boedi Sampoerna. Susnolah orang yang pertama kali menyodorkan analogi cicak vs buaya. KPK diibaratkan cicak yang kecil, sedangkan Polri ialah buaya karena besar.

Puncak kasus cicak vs buaya jilid I terjadi ketika Bareskrim Mabes Polri menahan dua Wakil Ketua KPK; Bibit Samad Riyanto dan Chandra Martha Hamzah. Penahanan dua komisioner KPK ini memantik reaksi keras dari aktivis antikorupsi.

Dua pekan setelah Bibit dan Chandra ditahan polisi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun angkat bicara. Menurut SBY, ada sejumlah permasalahan di ketiga lembaga penegak hukum saat itu, yakni Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK.

"Oleh karena itu, solusi dan opsi lain yang lebih baik, yang dapat ditempuh adalah pihak kepolisian dan kejaksaan tidak membawa kasus ini ke pengadilan dengan tetap mempertimbangkan azas keadilan, namun perlu segera dilakukan tindakan-tindakan korektif dan perbaikan terhadap ketiga lembaga penting itu, yaitu Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK," kata SBY saat memberikan pidato terkait kasus cicak vs buaya pada 23 November 2009 di Istana Negara.

Tiga tahun kemudian kasus cicak vs buaya kembali terjadi pada awal Oktober 2012. Kasus ini dipicu oleh langkah KPK mengusut kasus dugaan korupsi simulator SIM yang menjerat mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo.

Pada Jumat malam 5 Oktober 2012, puluhan anggota Brigade Mobile mengepung gedung KPK. Mereka berniat menangkap salah satu penyidik KPK, Komisaris Novel Baswedan yang dituduh terlibat aksi penganiayaan berat saat masih bertugas di Kepolisian Daerah Riau. 

Aktivis antikorupsi kembali beraksi atas aksi kepolisian yang mengepung gedung KPK tersebut. Mereka membuat pagar betis di gedung KPK dan mendesak agar Presiden SBY turun tangan. Tiga hari kemudian, Presiden SBY angkat bicara.

"Solusi penegakan hukum Polri Kombes Novel yang sekarang menjadi penyidik KPK. Insiden itu terjadi pada tanggal 5 Oktober 2012 dan hal itu sangat saya sesalkan".

"Saya juga menyesalkan berkembangnya berita yang simpang siur demikian sehingga muncul masalah politik yang baru," kata SBY saat memberikan pidato di Istana Negara pada Senin, 8 Oktober 2012.

Menurut SBY, apabila KPK dan Polri bisa memberikan penjelasan yang jujur dan jelas, kasus cicak vs buaya jilid II tidak akan terjadi.

Cicak vs buaya kembali muncul di era Presiden Joko Widodo pada 2015. Sebelas hari setelah KPK menetapkan Komjen Budi sebagai tersangka, kepolisian menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjajanto pada Jumat (23/1/2015).

Lima jam setelah penangkapan Bambang Widjajanto, Presiden Joko Widodo memanggil Ketua KPK dan Wakapolri. Tiga jam kemudian, Jokowi memberikan pernyataan singkat.

"Saya meminta kepada institusi Polri dan KPK memastikan bahwa proses hukum yang ada harus objektif dan sesuai dengan aturan Undang-undang," kata Jokowi di Istana Bogor, Jumat (23/1/2015).

KPK yang didukung ratusan aktivis pro pemberantasan korupsi pun dengan lantang memprotes tindakan Polri tersebut. Konflik ini pun disebut sebagai cicak vs buaya jilid 3.