Apa Iya Dana Hibah dari APBD untuk Pembangunan Gedung Kejati DKI Jakarta Atas Persetujuan DPRD?

Aswan LA
Aswan LA
Diperbarui 1 April 2023 22:16 WIB
Jakarta, MI - Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tahun anggaran APBD meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.Penetapan APBD harus dilaksanakan tepat waktu seperti yang tertuang dalam Pasal 312 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah bahwa Kepala Daerah dan DPRD wajib menyetujui bersama rancangan Perda tentang APBD paling lambat 1 (satu) bulan sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun. Sehingga paling lambat tanggal 30 November harus sudah ada kesepakatan antara Kepala Daerah dan DPRD.APBD ini sangat berperan penting untuk mencapai tujuan pemerintah dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi di saat pandemi. APBD terdiri dari pendapatan, belanja, dan pembiayaan.Pemerintah Daerah pun sebelumnya telah mendorong Organisasi Perangkat Daerah untuk mempercepat penyerapan anggaran guna memanfaatkan APBD dalam membantu masyarakat, Usaha Kecil Menengah (UKM), dan penanganan Covid-19.Soal penggunaan APBD ini seharusnya dimasa pandemi covid-19 saat itu lebih diprioritasikan kepada masyarakat. Pada pada kenyataannya, kini terungkap APBD di Pemprov DKI Jakarta dihibahkan untuk pembangunan Gedung Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta.Berdasarkan penelusuran Monitor Indonesia, Sabtu (1/4), pada tender pertama yang dibuat pada tanggal 12 Januari 2021 dengan nama tender Jasa Konsultasi Manajemen Konstruksi Pembangunan Gedung Kantor Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, dananya dari APBD. Dengan satuan kerja Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Pemerintahan. Nilai pagu paketnya Rp 4. 279.953.524,00. Sementara nilai HPS Paket Rp 4. 229.940.000,00. Adapun jenis kontraknya waktu penugasan. Pada tender kedua, Pekerjaan Konstruksi Pembangunan Gedung Kantor Gedung Kejati DKI Jakarta yang anggarannya berasal dari APBD yang dibuat pada tangal 7 Juni 2021 lalu dengan satuan kerja Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Pemerintahan. Dan jenis kontraknya Gabungan Lumsum dan Hara Satuan. Nilai pagu paketnya Rp 255. 653.411.463,00. Sementara nilai HPS Paket Rp 254.931.435.000,00. Adapun nama perserta/perusahaan dalam tender tersebut adalah sebagai berikut; 1. PT Amarta Karya (Persero)2. PT Brantas Abipraya (Persero)3. PT Totalindo Eka Persada, Tbk.4. PT Hutama Karya (Persero)5. PT Jaya Konstruksi Manggala Pratama, Tbk.6. PT Waskita Karya 7. PT Wijaya Karya Bangunan Gedung8. PT PP (Persero) Tbk.9. PT MAM Energindo10. PT Nindya Karya (Persero)11. PT Krakatau Engineering12. PT Tetra Konstruksindo13. CV Bakti Putra Mandiri14. PT Roveito Dharma Persada15. PT Alzia Dinar Abadi16. PT Rumame Bina Raya17. PT Uola PrimaSebagai pemenang dari tender tersebut adalah PT Amarta Karya (Persero) senilai Rp 208.788.827.912,21 dari Pagu Rp 255.653.411.643. Dengan jangka waktu pelaksanaan 394 hari kalender. Kontraktor BUMN ini didampingi konsultan pengawas dengan anggaran Rp 4 miliaran. Sehingga anggarannya menyedot APBD DKI Rp 212 miliar lebih. Sementara untuk pemenang Lelang Pengadaan Paket Pekerjaan Hibah Penyedia Dana Hibah Penyediaan Sarana Pendukung Kantor Gedung Kejati DKI Jakarta (Meubelair) tahun anggaran 2023 adalah PT Binacitra Teknologi Indonesia senilai Rp 56. 964. 329. 372,00. Selanjutnya panitia menetapkan PT Binacitra Teknologi Indonesia sebagai pemenang dengan penawaran 99,59% mengalahkan kompetitornya dengan penawaran lebih rendah sekitar Rp 4 miliar.Atas dana hibah dari APBD Pemprov DKI Jakarta ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta itu, menimbulkan perbedaan pendapat antara DPRD DKI Jakarta dan Kejaksaan Agung (Kejagung) hingga pada pengamat kebijakan publik.Anggota komisi A DPRD DKI Jakarta Inggard Joshua menilai seharusnya Kejati DKI Jakarta itu salurannya vertikal atau APBN, bukan horisontal atau APBD. "Semoga anggaran tersebut tidak terjadi duplikasi,” kata Wakil Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta, Inggard Joshua kepada Monitor Indonesia, Senin (27/3).Pemprov DKI Jakarta, tambah dia, seharusnya lebih memprioritaskan kebutuhan warga Jakarta dan tidak hanya sekedar mengambil hati pejabat lintas sektoral yang jelas-jelas bukan tanggungjawabnya.“Kecuali asa kepentingan mendesak, Itupun harus dibahas Rincian Anggaran Biaya (RAB) nya di DPRD. Masih banyak sarana dan prasarana pembangunan di kelurahan-kelurahan yang banyak sekali belum di biayai,” pungkasnya.Sementara itu, pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut dana hibah dari APBD itu sudah hal biasa dan dengan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Ketut Sumedana tidak ada salahnya jika dana tersebut digunakan untuk kepentingan Gedung Kejati DKI Jakarta, dalam hal untuk peningkatan pelayanan terhadap masyarakat khususnya warga DKI Jakarta."Hibah di daerah itu biasa, asal ada ketersediaan dana hibah itu dan mendapatkan persetujuan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (DKI Jakarta)," kata Ketut kepada Monitor Indonesia, Sabtu (1/4)."Itu juga untuk kepentingan masyarakat setempat terutama penegakan hukum dan pelayanan publiknya," sambungnya.Tak sampai disitu saja, kucuran dana miliaran oleh Pemprov DKI Jakarta ke Kejati ini turut disoroti oleh pengamat kebijakan publik hingga pakar hukum tata negara.Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahardiansyah yang menilai bahwa pemberian hibah ke Kejati DKI Jakarta itu untuk membangun gedung dan pengadaan meubelairnya hingga Rp270 miliar merupakan kebijakan konspirasi Pemprov DKI yang sarat potensi korupsi."Hibah-hibah seperti itu tidak tepat. Kalau Kejati itu tanggungjawab Kejaksaan Agung (Kejagung) dengan APBN bukan urusan Pemprov DKI Jakarta. Saya khawatir hibah tersebut jadi ladang korupsi,” katanya kepada Monitor Indonesia belum lama ini.Sementara itu, Pakar hukum tata negara John Pieris menegaskan bahwa sebenarnya kalau instansi vertikal itu biayanya harus APBN, tidak boleh dari APBD. "Gak boleh dalam hibah sekalipun sebetulnya gak boleh. Tapi tergantung dari Kajati DKI kan begitu mau terima hibah itu gitulah," ujarnya.Tidak ada salahnya, lanjut dia, jika Pemprov DKI Jakarta merasa Kejati berada di wilayah DKI Jakarta mau menghibahkan anggaran itu, sepanjang uang itu dimanfaatkan untuk pembangunan itu, tentunya lebih besar dari rancangan semula yang dibiayai oleh APBN. Akan tetapi, tegas dia, seharusnya publik mengetahui khususnya warga DKI Jakarta, agar tidak menimbulkan opini-opini liar yang tentunya juga berdampak pada Pemprov DKI Jakarta dan Kejati DKI Jakarta itu sendiri."Tetapi kalau ada dugaan bahwa itu harus dibiayai pusat/Kejagung, tetapi ada hibah dari Pemprov DKI, itu harus dibuka di publik, harus dibuka. Berarti ada double anggaran, sehingga anggaran dua kali lipat. Nah yang dua kali lipat itu larinya kemana harus dibuka. Atau kah bantuan dari pusat itu pemanfaatannya harus dibuka ke publik," kata John Pieris kepada Monitor Indonesia, Senin (27/3) malam."Karena publik berhak untuk mengetahui mengenai good governance. Sehingga DPRD DKI minta semacam pertanggungjawaban keuangan secara publik untuk mengatasi masalah ini," sambungnya.John Pieris pun menduga ada implikasi dari pemberian hibah ini jor-joran kepenegak hukum ini. "Ewuh pakewuh itu pasti muncullah. Bisa saja pihak Kejaksaan sebagai penyidik terhadap masalah korupsi yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta, dia bisa bermain mata dengan Pemda untuk menutupi kecurangan-kecurangan atau ketidak terbukaan anggaran yang harus dipertanggungjawabkan secara institusional kepada publik," bebernya."Nah udah, kalau sudah seperti ini ada maksud tertentu. Pasti ada sesuatu udang dibalik batu. Mudah-mudahan saya salah ya. Misalnya ya, saya tidak menuduh," sambungnya.Misalnya, jelas dia, ada dugaan korupsi, bisa jadi Kejati DKI Jakarta merasa berutang budi kepada Pemprov DKI Jakarta. Lantas ini tidak masuk keranah pidana, lanjut dia, misalnya yang menjadi tanggungjawab kejaksaan sebagai penyidik."Ada beban moral yang tinggi dari pihak Kejati DKI Jakarta, karena dia sudah mendapatkan dana atau hibah dari Pemprov DKI begitu. Jadi dia harus ditertibkan sebetulnya," ungkapnya.John Pieris milihat dari sisi penawaran kontraktor yang dimenangkan 99,59% tersebut kuat dugaan sarat KKN. "Indikator tersebut bukti kuat dugaan KKN diproyek hibah ini dari fakta penawaran yang 99,59% dari HPS. Jadi indikator ini sudah sangat jelas ya. Saya kira orang orang gak usahlah, orang orang yang elit ini berkelit. Semua juga bisa memaknai fakta itu," tutup Guru Besar hukum tata negara UKI ini. Tidak Salah Jika Disetujui DPRDPengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menyatakan hibah itu tidak menyalahi aturan jika sudah disetujui DPRD saat pembahasan anggaran."Memang banyak organisasi dapat bantuan/anggaran dari Pemprov sesuai dengan pagu yg disetujui DPRD. Kalau sudah disetujui ya sah. Terlepas ada calo atau tidak itu cerita lain. Dari sisi kebijakan gak ada masalah," katanya kepada Monitor Indonesia.Lalu proses tendernya, kata dia, ada perangkat Pemprov DKI Jakarta yang mengawasi. Misalnya satuan pengawas internal atau Inspektorat. "Perkara vendornya diteliti saja siapa pemiliknya, apa izinnya satker tanggung jawab dan Inspektorat mengawasi. Kalau ada keanehan ya laporkan APH (Aparat Penegak Hukum) dan minta BPKP mengawasi juga," ungkapnya.“Masalahnya kebiasaan di republik ini semua perangkat itu kong kalingkong. Yang paling pas ialah disadap dan OTT. Kalau gak boleh ada hibah harus ada aturannya. Setahu saya aturan melarang hibah tidak ada. Hibah bisa kepada siapa saja. Bisa aparat pemerintah yang mendukung kerja pemda, LSM, lembaga penelitian dan sebagainya. Itu pandangan saya dari sisi kebijakan,” pungkasnya. #Kejati DKI Jakarta