Salah Kaprah Klaim Sejuta Rumah

M Jehansyah Siregar, Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SKPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB)

M Jehansyah Siregar, Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SKPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB)

Diperbarui 10 November 2023 03:20 WIB
M Jehansyah Siregar (Foto: Ist)
M Jehansyah Siregar (Foto: Ist)

KEMENTERIAN Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dalam rilis terbarunya mengklaim, sepanjang Januari-September 2023 realisasi program sejuta rumah (PSR) sudah mencapai 896.121 unit. Terdiri dari rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebanyak 771.753 unit. 

Dari jumlah itu, sebanyak 351.057 unit pembangunannya dilaksanakan oleh Kementerian PUPR, suplai dari pengembang non KPR subsidi FLPP 323.714 unit, rumah MBR yang dibangun oleh kementerian dan lembaga lain 19.289 unit, pemerintah daerah 37.567 unit, program CSR perumahan 1.285 unit, dan masyarakat umum 38.839 unit. 

Sedangkan 124.368 unit hunian non MBR yang terbangun dalam PSR, berasal dari pembangunan oleh pengembang perumahan non MBR sebanyak 46.238 unit dan masyarakat umum 78.130 unit. Pemerintah terus mendorong hingga Desember untuk bisa mencapai sejuta unit rumah atau lebih.

Dengan cara seperti ini, pemerintah menghitung pembangunan perumahan yang dilakukan oleh semua kalangan rakyat. Termasuk yang dilakukan oleh pemerintah daerah, kementerian lain, hingga tanggung jawab sosial perusahaan, semuanya dihitung. Bahkan hingga yang dilakukan oleh pengembang swasta sebagai investasi propertipun masuk hitungan. 

Cara menilai kinerja pembangunan perumahan rakyat seperti ini tidak berubah sejak tahun 2015. Tujuannya untuk mencapai target sejuta rumah setiap tahunnya.

Tentunya cara-cara seperti ini salah kaprah dan tidak akan menyelesaikan masalah perumahan rakyat di tanah air. Terbukti dari data BPS tahun 2020 angka housing backlog dan permukiman kumuh bertambah luas dimana di dalamnya terdapat rumah-rumah tidak layak huni. 

Mengapa Salah Kaprah?

Pertama, tidak mengurangi housing backlog. Dari klaim capaian 351.057 unit yang dilakukan PUPR itu, tentu saja tidak mengurangi angka housing backlog yang mencapai sekitar 15 juta unit. Program bedah rumah yang hanya memperbaiki sebagian dinding dan atap rumah tidak bisa dihitung sebagai pembangunan satu unit rumah. 

Juga dimasukkan pembangunan prasarana dan sarana umum (PSU) yaitu jalan dan saluran drainase. Penyediaan PSU itu berarti dua kali penghitungan dari rumah KPR Bersubsidi yang dibangun oleh pengembang swasta (323.714 unit). Begitu juga angka yang didapat dari rumah susun yang dibangun untuk pondok santri, asrama tentara, polisi dan mahasiswa. 

Tentu saja tidak bisa mengurangi housing backlog yang muncul dari keluarga-keluarga MBR di kota-kota besar sperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan lain-lain.

Kedua, salah sasaran. Dari klaim capaian 351.057 unit itu juga terdapat suplai dari para pengembang KPR Bersubsidi FLPP. Meskipun menghasilkan cicilan KPR yang lebih terjangkau, namun perumahan subsidi ini tidak membidik kebutuhan MBR di pusat kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Medan dan Surabaya. 

Kompleks rumah tapak bersubsidi ini hanya bisa dibangun di pinggiran kota-kota besar yang lokasinya sangat jauh dari tempat bekerja keluarga MBR mengingat harga tanahnya yang maksimum sekitar 250 ribu rupiah per meter persegi.

Belum lagi banyaknya penerima manfaat yag salah sasaran dengan pendapatan jauh di atas UMP dan kualitas bangunan yang buruk. 

Selain itu, program KPR bersubsidi ini pada dasarnya adalah program bantuan pembiayaan APBN dari Kementerian Keuangan. Program seperti ini tidak bisa menunjukkan kinerja pemerintah di sektor produksi perumahan rakyat, karena hanya menyentuh sisi konsumen kredit. 

Demikian pula klaim suplai dari pengembang non KPR subsidi sebanyak 323.714 unit, sama sekali tidak bisa dihitung sebagai kinerja perumahan rakyat.

Karena berada di ranah bisnis properti yang di dalamnya banyak sekali praktek investasi hingga spekulasi properti untuk akumulasi kekayaan warga masyarakat. Kinerja investasi properti ini tentu tidak mengurangi angka housing backlog. 

Ketiga, klaim di domain masyarakat. Capaian pembangunan sejuta rumah yang dihitung dari seluruh kalangan rakyat itu tidak tepat sama sekali. Bahwa seluruh kalangan masyarakat membangun perumahan dan permukimannya sendiri, itu sudah menjadi praktek sejak zaman dahulu kala. Semuanya itu ada di domain masyarakat, ada di ranah privat, baik secara individu maupun organisasi. 

Yang terorganisasi itu baik oleh instansi pemerintah di daerah, perusahaan swasta, ormas, koperasi, dan lain-lain. Semua capaian masyarakat itu tidak boleh diklaim sebagai capaian pemerintah.

Klaim yang dihitung dari capaian seluruh kalangan rakyat itu telah mengaburkan apa peran pemerintah sebenarnya di sektor perumahan. Dengan pola pembangunan dan penghitungan kinerja seperti itu, pemerintah hanya menjalankan program-program perumahan rakyat yang tidak efektif.

Masalah perumahan rakyat itu utamanya di perkotaan. Backlog timbul karena perkembangan perkotaan yang huniannya tidak terjangkau oleh kebanyakan warga, sehingga makin meluaskan kawasan kumuh.

Untuk itu kementerian pemerintah (PUPR) harusnya fokus pada program-program di sisi produksi perumahan rakyat dengan prioritas di perkotaan. Caranya dengan menyiapkan instrumen pengembang publik dalam bentuk BUMN atau BUMD.

Bukan dengan cara memperbanyak satuan-satuan kerja proyek APBN. Kegemaran mengerjakan proyek ini menghilangkan peran kementerian sebagai regulator dan berganti menjadi operator.

Belajar dari negara-negara yang sudah sukses mengatasi housing backlog dan kumuh seperti Jepang, Singapura dan kini Korea Selatan dan Tiongkok, maka pemerintah harus segera mengevaluasi total program-programnya. Pemerintah perlu mengembangkan program public rental housing yang dijalankan BUMN. 

Atau juga dengan membina program yang dijalankan oleh BUMD di daerah. Untuk itu, Kementerian PUPR perlu menyempurnakan program Rusunawa dan menghapus Rusunami yang kini justru menjadi sarang masalah sosial selain bangunan yang buruk. 

Begitu pula program bedah rumah yang perlu segera dikembalikan ke program Pembangunan Perumahan Bertumpu Pada Kelompok atau P2BPK yang pernah dijalankan pada tahun 1990-an.

P2BPK inilah program rumah swadaya yang sebenarnya dan bukan skema bedah rumah. Mengapa? Karena berbasis pada peran pemerintah untuk memberdayaan kelompok masyarakat (Self-help Housing). 

Sedangkan program bedah rumah itu pada dasarnya adalah pelepasan aset negara dalam jumlah yang sangat besar kepada individu masyarakat.

Pelepasan ini seharusnya sedikit saja dan hanya bisa dibenarkan jika menyangkut kedaruratan atau masalah sosial/kemiskinan. Oleh karena itu skema bedah rumah itu seharusnya menjadi program social housing oleh jajaran Kementerian Sosial.

Disclaimer: Monitorindonesia.com tidak bertanggung-jawab atas kiriman artikel langsung dari pembaca dalam rubrikasi forum atau opini.