Menatap Pilkada 2024: Siapa Pantas Nahkodai Muna Barat?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 30 Maret 2024 04:29 WIB
Ketua DPC GMNI Kota Kendari (Foto: Dok MI)
Ketua DPC GMNI Kota Kendari (Foto: Dok MI)

PEMILIHAN kepala daerah (Pilkada) menjadi kesempatan berharga untuk terus-menerus memperbaiki dan mengoreksi arah gerak pembangunan dan pertumbuhan daerah agar semakin lebih baik lagi. 

Sehingga transformasi kepemimpinan bisa menciptakan mekanisme perbaikan dari pemimpin yang satu kepemimpin yang lain. 

Dalam menghadapi pilkada yang tinggal beberapa bulan lagi,  masyarakat harus betul-betul memastikan calon pemimpin yang bisa menjejaki, menyeleksi bahkan memilih yang mampu membawa peradaban baru tentang perubahan yang signifikan di berbagai aspek yang menyentuh seluruh komponen masyarakat.

Meskipun perhelatannya masih lama, tetapi hiruk-pikuk dan euforia sudah banyak menghiasi jagat maya.

Tentu dengan keriuhan demokrasi, politik dan pemilu seakan sudah cukup membebani hati, menguras akal akibat beberapa bulan terakhir ini di habiskan dengan pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (DPR, DPD dan DPRD).

https://monitorindonesia.com/storage/news/image/152dedf2-e990-4b93-a8f1-0fe92e594162.jpg
Surat suara pemilu presiden dan wakil presiden 2024 (Foto: MI/Repro Getty Images)

Di sisi lain, gaya pemimpin dan pejabat kita hanya memikirkan pergantian dan siklus kepemimpinan mereka selanjutnya.

Mendekati proses pergantian kepemimpinan dan kekuasaan ini, calon pemimpin kepala daerah berlomba-lomba berebut citra publik untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas dengan berbagai instrumen.

Mulai dari baliho, freming media dan lainnya yang dibumbuhi dengan visi, misi dan program politik yang di bangun untuk mengepul suara masyarakat. Seakan masyarakat hanya dijadikan objek politik dan sarana untuk memilih tetapi setelah terpilih lupa dan tak pernah menjadikan masyarakat lagi sebagai orientasi utama. 

Namun waktu seakan tak peduli dengan pilkada, politik pragmatis terus berkembang dengan kepentingan sesaat dan jangka pendek. 

Jalan rusak, pertumbuhan ekonomi merosot, kebijakan yang tidak pro rakyat, gubuk, dapur rakyat yang tak lagi mengepul asapnya dan sederet kasus pejabat menghiasi dunia maya membuat masyarakat sulit percaya lagi kepada pemimpinnya.

https://monitorindonesia.com/2023/04/Jalan-dua-jalur-Guali-Muna-Barat.jpg
Kondisi jalan di Guali, Kecamatan Kusambi, Muna Barat (Foto diambil pada April 2023 lalu) (Foto: MI/Aswan)

 

Dalam hal ini terjadi krisis legitimasi kepemimpinan. Namun hidup bukan hanya tentang pemilu dan politik saja, tetapi pemilu menjadi penting sebagai kedaulatan rakyat satu-satunya dan instrumen untuk memilih pemimpin yang ideal, yang terpenting memberikan jaminan masa depan untuk kesejahteraan dan pembangunan daerah yang lebih baik.

Disisi lain pemilu sebagai ruang dan celah karpet merah untuk memuluskan kepentingan segelintir orang dan mempertahankan status quo para elit komprador. 

Seolah-olah kekayaan mereka bertumpuk diatas penderitaan dan jeritan rakyat kecil, mereka bermesraan dibalik mata rakyat tetapi didepan rakyat seolah berdebat atas nama oposisi dengan alasan kesehatan demokrasi dan pemilu.

Pemilu hanya bagian terkecil dari demokrasi, namun setelah momentum pesta rakyat itu, para petani, rakyat kecil dan buruh harus kembali mencangkul, nelayan melaut, dan buruh kembali kepabrik setelah dijadikan sebagai pengepul suara untuk memuluskan kepentingan para calon pemimpin. 

Sementara, elite politik mulai sibuk melakukan pembagian kue kekuasaan dan posisi hingga oposisi yang akan bergulat dalam sistem pemerintahan. 

Rakyat sendiri kembali pada kesengsaraan dan kemelaratan dengan menyaksikan gaya elit politik dengan penuh sandiwara yang senyum dibeberapa baleho yang tersebar diruas-ruas jalan, tetapi pikiran dan gagasan mereka untuk membangun tak jelas dimana arahnya. 

Mereka seolah hanya menjadikan jalan kekuasaan untuk menjelajahi dan mengumpulkan kekayaan.

Siapapun pemenangnya rakyat tetap kalah, legislatif pun hanya segelintir orang yang hanya bertukar dan bertawar jabatan akibat kerja siluman yang tersembunyi. 

Pemilu hanya pergantian orang-orang berkuasa namun tak menjadikan rakyat sebagai sasaran utama untuk memberikan kepastian hidup.

Kekuatan rakyat adalah menjadikan ia sadar bahwa perubahan tak semestinya selalu berpangku tangan pada kekuasaan dan pemerintah.

Meskipun masyarakat tak pernah tersentuh oleh pendidikan dan edukasi politik tetapi dengan deretan kebijakan dan fenomena politik diatas menjadikan kita akan lebih kritis dalam menelah setiap pemimpin yang datang untuk mencari suara dan simpati rakyat.

Sudah saatnya masyarakat bisa lebih vokal lagi, tidak bisa hanya mengandalkan legislatif saja, apalagi membiarkan pemerintah bekerja tanpa kontrol sosial. Pemikiran maju menjadi sarana utama dalam memberikan saluran politik, pemilu dan demokrasi agar semakin baik. 

Sehingga dalam prosesnya kita generasi muda harus pro aktif berkontribusi dan memberi yang terbaik baik melalui ide dan gagasan demi kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah. 

Peluang dan kesempatan generasi muda harus kita manfaatkan sebagai cikal bakal melahirkan kepemimpinan yang ideal seperti yang kita harapkan bersama.

Diskusi dan dialog tentang kepemimpinan harus terus berkelanjutan menuju pemilihan kepala daerah khususnya Muna Barat. 

Karena dalam masalah daerah yang semakin kompleks sangat di butuhkan kepeloporan pemimpin yang ideal, visioner, kaya akan ide, gagasan dan bisa berkerja nyata di tengah-tengah masyarakat, menjawab segala kemerosotan yang ada. 

Kriteria pemimpin yang ideal harus mampu memberikan keyakinan perubahan yang fundamental, kewenangan strategis dalam menjawab dan mengakselerasi kepentingan masyarakat karena sejatinya politik adalah panggilan nurani untuk mengabdi pada masyarakat.

Ke depan sebagai generasi muda harus selektif dalam memilih pemimpin, harus menjadi cermin dan pionir untuk masyarakat yang di pimpinannya. 

Meskipun di sisi lain potret kepemimpinan kita di Muna Barat masih di pengaruhi dan didominasi oleh birokrat, sehingga peluang generasi muda sangat kecil dalam kontestasi politik 2024, generasi muda harusnya bisa menerobos dinding-dinding penghalang untuk menembus masalah tersebut,

Namun dalam Pilkada 2024 ini, ruang politik masih akan diisi oleh para pemodal atau yang memiliki kekuatan politik sebagai instrumen konsolidasi dan mobilisasi massa. Dinasti politik (oligarki) akan selalu mempengaruhi konstalasi pemilu dan pilkada.

Jika kelompok pemuda khususnya mahasiswa tidak mampu melawan dan menjadi kritis terhadap berbagai dinamika politik, maka pilkada ini akan berjalan tanpa arti dan hakikat yang jelas. 

https://monitorindonesia.com/storage/news/image/ee99e770-413a-45b3-a783-e0a4c53446c8.jpg
Para mahasiswa yang tergabung dalam GMNI Kota Kendari di Universitas Haluoleo (Foto: Dok MI)

Kekuatan pemuda yang masih menjaga sikap kritis dan idealisme nya harus menjadi penyangga dan penyeimbang untuk sehatnya demokrasi dalam ruang kepemimpinan eksekutif.

Di tengah krisis kepemimpinan dan degradasi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, upaya pemuda harus terus mendorong terobosan dan nuansa politik yang mengedukasi tanpa pandang bulu. 

Kita harus terus memastikan masyarakat melalui kegiatan dialog dan diskusi yang produktif Kesalahan memilih pemimpin kedepannya akan berdampak buruk tidak saja bagi rakyat melainkan masa depan daerah yang dipertaruhkan.

Oleh karena itu, kecerdasan memilih pemimpin dan partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan, tentu itu juga meningkatkan kualitas demokrasi agar semakin baik. 

Pada dasarnya, kita harus mengenali para figur pemimpin yang akan dipilih nanti, sehingga mampu memperjuangkan aspirasi secara maksimal dan bijaksana dalam mengambil keputusan secara tepat.

Tidak seperti membeli kucing dalam karung. Disinilah pendidikan politik menjadi demikian penting apa lagi pertarungan ide dan gagasan sangat dibutuhkan untuk memberikan gairah dan sensasi masyarakat agar antusias dalam menyalurkan aspirasi politiknya.

[Rasmin Jaya- Pemuda Muna Barat/Ketua DPC GMNI Kendari]