DPR ke PPATK: Ditjen Pajak Tidak Beres Atau Ada Tikus-tikus?
![Adelio Pratama](https://monitorindonesia.com/storage/media/user/avatar/SL4jHdN9D0g7bLGXDlWMtJHvcfiIRRXOMdxoLPXe.jpg )
Adelio Pratama
Diperbarui
21 Maret 2023 21:52 WIB
![](https://monitorindonesia.com/images/no-image.png)
Jakarta, MI - Wakil Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Desmond J Mahesa mempertanyakan kepada Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana soal asal temuan transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang awalnya senilai Rp 300 triliun kini jadi Rp 349 triliun yang diduga bagian daripada tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Apakah itu berkaitan dengan sejumlah orang misalnya siapa Alun Alun itu? Atau ada Alun Alun Alun yang lain jumlahnya 300? Apakah itu? Atau memang ini kelembagaan, apakah ini kelembagaan?" tanya Desmond di Ruang Rapat Komisi III DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (21/3).
"Kalau kelembagaan berarti kan institusi pajaknya yang tidak beres atau tikus-tikus di kelembagaan itu. Nah dalam konteks kebocoran ini saya ingin ada jawaban dari Pak Ivan, memang tidak beres kelembagaan Ditjen Pajak atau memang ada tikus-tikus seperti Alun Alun," sambungnya.
Ivan lantas menjawab, bahwa dalam temuan transaksi mencurigakan di Kemenkeu senilai Rp 349 triliun ada indikasi tindak pidana pencucian uang (TPPU). "Ada pencucian uang, kami tidak pernah satu kalipun menyatakan tidak ada pencucian uang," tegas Ivan.
Namun, temuan tersebut bukan berarti bahwa tindak pidana tersebut sepenuhnya dilakukan oleh Kemenkeu. Penyerahan laporan kepada PPATK adalah bagian tugas pokok dan fungsi Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal.
"Itu kebanyakan terkait dengan kasus impor-ekspor, kasus perpajakan, di dalam satu kasus saja kalau kita bicara ekspor-impor itu bisa lebih dari 100 triliun, lebih dari 40 triliun, itu bisa melibatkan," ujar Ivan.
Ada tiga kategori dalam penyerahan laporan hasil analisis (LHA) dari PPATK. Kata Ivan, pertama adalah LHA yang diserahkan terkait dengan oknum. Kedua, LHA yang menemukan indikasi tindak pidana dan oknumnya sekaligus dan yang ketiga adalah penyampaian LHA yang menemukan tindak pidana asalnya, tapi tidak menemukan oknumnya.
Artinya, temuan sebesar Rp 349 triliun tak bisa dikatakan berasal dari kementerian yang dipimpin Sri Mulyani itu. "Jadi sama sekali tidak bisa diterjemahkan kejadian tindak pidananya itu ke Kementerian Keuangan, ini jauh berbeda," katanya.
"Jadi kalimat di Kementerian Keuangan itu juga kalimat yang salah, itu yang menjadi tugas pokok dan fungsi Kementerian Keuangan," imbuh Ivan.
#Ditjen Pajak Tidak Beres Atau Ada Tikus-tikus?
Berita Sebelumnya
Berita Terkait
Hukum
![Komisi I DPR Minta TNI Usut Tuntas Dugaan Anggotanya Aniaya Pelajar di Deli Serdang Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid](https://monitorindonesia.com/storage/news/image/meutya-hafid.jpg)
Komisi I DPR Minta TNI Usut Tuntas Dugaan Anggotanya Aniaya Pelajar di Deli Serdang
18 jam yang lalu
Politik
![DPR Khawatir Tewasnya Ismail Haniyeh Buat Situasi Timur Tengah Semakin Memanas Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid (Foto: MI/Dhanis)](https://monitorindonesia.com/storage/news/image/meutya-hafid.jpg)
DPR Khawatir Tewasnya Ismail Haniyeh Buat Situasi Timur Tengah Semakin Memanas
19 jam yang lalu
Politik
![Anggota Pansus Haji: Tak Perlu Layani Pernyataan Ketum PBNU, Karena Tak Punya Landasan Anggota Pansus Haji DPR, John Kennedy Azis (Foto: MI/Dhanis)](https://monitorindonesia.com/storage/news/image/jhon-kenedy-aziz.webp)
Anggota Pansus Haji: Tak Perlu Layani Pernyataan Ketum PBNU, Karena Tak Punya Landasan
21 jam yang lalu
Politik
![Ormas Keagamaan Mulai Berebut Jatah Kelola Tambang, DPR Minta Pemerintah Cabut PP Nomor 25 Tahun 2024 Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto (Foto: Ist)](https://monitorindonesia.com/storage/news/image/anggota-komisi-vii-dpr-ri-mulyanto.webp)
Ormas Keagamaan Mulai Berebut Jatah Kelola Tambang, DPR Minta Pemerintah Cabut PP Nomor 25 Tahun 2024
30 Juli 2024 21:00 WIB