Ambang Batas Parlemen: Kumpulkan 4% Suara Sangat Berat!

Tim Redaksi
Tim Redaksi
Diperbarui 3 Maret 2024 01:16 WIB
Rapat paripurna DPR untuk membuka masa persidangan III tahun 2023-2024 di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, pada Selasa (16/1)
Rapat paripurna DPR untuk membuka masa persidangan III tahun 2023-2024 di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, pada Selasa (16/1)

Jakarta, MI - Partai politik baru hampir mustahil mendapat kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada keikutsertaan pertama mereka di pemilu, menurut Amalinda Savirani, pengajar di Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Pasalnya, kata Amalinda, partai baru selalu terbebani untuk memenuhi syarat administratif yang diatur UU 7/2017 tentang Pemilu. Syarat yang disebutnya adalah kewajiban sebuah partai baru untuk memiliki kepengurusan di 75% jumlah kabupaten/kota dan di 50% dari total kecamatan.

Pada saat yang sama, partai baru juga harus mempengaruhi warga untuk memilih mereka—sebuah tahap yang disebut Amalinda tidak kalah berat ketimbang tahap verifikasi administrasi.

Banyak partai baru, kata Amalinda, kerap gagal pada tahap turun ke masyarakat ini. Akibatnya, mereka tidak dapat meraih jumlah minimal suara untuk menempatkan kader di DPR.

“Jadi ini tentang infrastruktur partai politik yang gila, yang membutuhkan sumber daya dan jaringan yang masif. Verifikasi bisa diakali, tapi representasi itu berat untuk partai baru. Seberapa besar kemampuan mereka mengedukasi dan mempengaruhi warga di akar rumput untuk memilih mereka?“ kata Amalinda dikutip pada Minggu (3/3).

Merujuk tren pada beberapa pemilu terakhir, Amalinda menyebut partai baru harus bersiasat dengan perspektif jangka panjang. Setelah pemilu pertama, partai baru bisa berfokus untuk menjalin relasi dengan warga demi melampaui ambang batas parlemen.

“Aturan ambang batas parlemen 4% hampir tidak mungkin dicapai oleh partai baru. Tapi kalau proyeksinya adalah target 10 sampai 20 tahun, sambil melakukan pengorganisasian yang mendalam, syarat itu mungkin dicapai,“ kata Amalinda.

Sedikit kembali kebelakang. Bahwa pada Pemilu tahun 1999 merupakan ajang elektoral pertama yang diikuti lebih dari tiga partai setelah pemilu pertama Indonesia tahun 1955. 

Terdapat 48 partai pada pemilu pertama pasca Orde Baru ini hanya tiga di antaranya yang pernah mengikuti ajang sebelumnya, yaitu Partai Demokrasi Indonesia, Golkar, dan Partai Persatuan Pembangunan.

Dari seluruh partai yang berkompetisi tahun 1999, 21 di antaranya mendapatkan kursi di DPR karena melampaui ambang batas parlemen—2% dari total suara nasional.

Pada pemilu 2004 terdapat 24 partai yang berkompetisi. Dari jumlah itu, 16 partai lolos ke DPR, 10 di antaranya adalah partai baru.

Dari seluruh partai baru, hanya Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera yang memenuhi ambang batas elektoral untuk mengikuti pemilu 2009. Keduanya meraup, masing-masing, 10,1% dan 8,1% suara sah nasional.

Sejak Pemilu 2009, jumlah partai baru yang lolos ke DPR semakin sedikit. Tahun itu, yang langsung menempatkan kader di DPR adalah Partai Gerindra dan Partai Hanura.

Pada Pemilu 2014, partai baru yang melaju ke DPR adalah Partai Nasdem. Suara partai besutan taipan Surya Paloh itu bahkan mengungguli Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Hanura. Pemilu 2014 adalah ajang terakhir yang bisa “dimenangkan” partai baru.

Syarat keikutsertaan partai dalam pemilu dan ambang batas parlemen diperberat pasca Orde Baru untuk mencegah fragmentasi politik akibat begitu banyaknya partai yang duduk di DPR.

Fragmentasi itu terjadi pada dekade 1950-an, termasuk ketika partai politik berbasis identitas etnis memicu gejolak bersenjata di beberapa daerah.

Analisis itu muncul dalam sebuah konferensi tentang reformasi elektoral di Jakarta, pada Juni 2019. Konferensi ini dihadiri berbagai pakar dan diadakan secara kolaboratif oleh lembaga riset Center for Strategic and International Studies dan Australian National University.

Konferensi itu mengutip analisis Benjamin Reilly, seorang profesor ilmu politik di Australia, yang menyebut syarat kepengurusan di banyak provinsi dan ambang batas parlemen penting untuk menciptakan stabilitas demokrasi.

Namun peningkatan ambang batas itu, seperti yang terjadi pada 2019 dan 2024, dipertanyakan saat Indonesia tidak menghadapi risiko ketidakstabilan demokrasi.

“Karena isu atomisasi dan lokalisasi partai tidak lagi relevan, masuk akal untuk berasumsi bahwa tujuan utama dari regulasi itu adalah menutup kompetisi dengan partai baru,” tulis Marcus Mietzner, pakar politik Asia Tenggara, yang menulis risalah konferensi tersebut.

“Hanya oligarki dengan sumber daya besar yang bisa mendanai pendirian dan operasional partai di seluruh pelosok negeri ini,” ujarnya.

Namun merujuk hasil Pemilu 2019, pendanaan besar pun terbukti tidak bisa membuat sebuah partai baru lebih kompetitif. Partai Berkarya yang digawangi putra mantan presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra, gagal masuk DPR tahun itu.

“Ini memberi bukti lanjutan bahwa ambang batas parlemen sudah bertransformasi dari alat rekayasa elektoral yang positif menjadi mekanisme pertahanan partai petahana melawan rival-rival baru,” tulis Mietzner.

Nasib Ambang Batas Parlemen

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan besaran ambang batas parlemen (parliamentary threshold) suara sah nasional diubah lewat sidang uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (29/2). 

Lewat putusan tersebut, MK mengabulkan sebagian gugatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) tentang penerapan ambang batas 4 persen. 

Dalam petitumnya, Perludem menganggap ketentuan ambang batas tersebut menghilangkan suara rakyat atau pemilih yang tidak terkonversi menjadi kursi di DPR. 

Sejalan dengan itu, MK menilai ketentuan ambang batas empat persen yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi. 

"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan norma Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan terhadap norma ambang batas parlemen serta besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan.

Harus diubah sebelum Pemilu 2029 

Mahkamah berpendapat, Pasal 414 Ayat (1) UU No 7/2017 dinilai bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 22E Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. 

Kendati begitu, ambang batas parlemen tersebut tetap konstitusional sepanjang tetap berlaku di Pemilu DPR 2024. Ambang batas parlemen menjadi konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya. 

Dengan kata lain, MK menyebut ambang batas empat persen harus diubah sebelum Pemilu serentak tahun 2029. “Menyatakan norma pasal 414 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan Pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan,” kata Suhartoyo. 

Dengan demikian, MK memerintahkan pembentuk Undang-Undang untuk mengubah ketentuan ambang batas parlemen melalui revisi UU Pemilu. Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam pertimbangannya menyatakan, ambang batas parlemen perlu diubah dengan memperhatikan beberapa hal. 

Setidaknya ada lima poin prasyarat yang ditetapkan MK, yakni: Didesain untuk digunakan secara berkelanjutan Perubahan norma ambang batas parlemen termasuk besaran angka atau persentase ambang batas parlemen tetap dalam bingkai menjaga proporsionalitas sistem Pemilu proporsional, terutama untuk mencegah besarnya jumlah suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR. 

Lalu, perubahan harus ditempatkan dalam rangka untuk mewujudkan penyederhanaan parpol Perubahan telah selesai sebelum dimulai tahapan penyelenggaran Pemilu 2029. 

Kemudian, perubahan melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelanggaraan Pemilihan Umum dengan menerapkan sistem partisipasi publik yang bermakna termasuk melibatkan parpol peserta Pemilu yang tidak memiliki perwakilan di DPR. 

Perolehan Suara Sementara

Penghitungan suara untuk calon anggota legislatif dari partai politik peserta Pemilu 2024 masih berlangsung. Tidak hanya penghitungan Pileg tingkat nasional tetapi juga tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Berdasarkan hasil penghitungan sementara, Sabtu (2/3/2024) pukul 08.00 WIB, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) masih berjuang keras untuk bisa meraih suara 4%.

PPP saat ini meraih 3.040.869 atau 3,97% sementara suara PSI yang dikomandani Kaesang Pangarep terus meningkat. Saat ini PSI meraih 2.390.480 atau 3,12%. 

Adapun Partai demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) masih memimpin dalam perolehan suara sementara berdasarkan hasil real count Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Perolehan suara PDIP terus dikejar Partai Golkar. Perolehan suara PDIP dengan selisih hanya 1 juta suara saja. PDIP tercacat meraih 12.581.497 juta suara atau 16,41% sementara Partai Golkar meraih 11.555.967 suara atau 15,07%. 

Disusul Partai Gerindra di posisi ketiga dengan raihan sebanyak 10.207.576 juta suara atau 13,31% dan posisi keempat diraih PKB dengan jumlah 8.863.992 juta suara atau 11,56% sementara Partai NasDem meriah 7.227.556 suara (9,43%).

Di papan tengah, Partai PKS bersaing ketat dengan raihan suara Partai Demokrat dan PAN. PKS meraih 5.758.302 suara (7,51%) sementara Demokrat meraih 5.689.045 (7,42%) disusul PAN dengan 5.335.100 suara (6,96%). 

Sekadar diketahui bahwa jumlah suara yang telah masuk dalam Pemilu Legislatif 2024  baru mencapai 65,73%. Jumlah suara itu dihimpun dari 541.108 tempat pemungutan suara (TPS) dari total mencapai 823.236 TPS.

Berikut perolehan suara sementara partai dalam Pileg 2024 dilansir dari laman resmi KPU Sabtu (2/3/2024) pukul 08.00 WIB: berdasarkan nomor urut partai dan persentase

1. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 11,56%
2. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 13,31%
3. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 16,41%
4. Partai Golkar 15,07%
5. Partai Nasdem 9,43%
6. Partai Buruh 0,59%
7. Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) 1,43%
8. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 7,51%
9. Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) 0,21%
10. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 0,73%
11. Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda) 0,29%
12. Partai Amanat Nasional (PAN) 6,96%
13. Partai Bulan Bintang (PBB) 0,33%
14. Partai Demokrat 7,42%
15. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) 3,12%
16. Partai Perindo (Perindo) 1,25%
17. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 3,97%
24. Partai Ummat 0,42%

(wan)