Pengamat Soal May Day: Ritual Tahunan yang Minim Realisasi Tuntutan

Dhanis Iswara
Dhanis Iswara
Diperbarui 1 Mei 2024 16:35 WIB
Aksi May Day oleh para Buruh di Jakarta (Foto: Repro)
Aksi May Day oleh para Buruh di Jakarta (Foto: Repro)

Jakarta, MI - Direktur Eksekutif Sentral Politika Subiran Paridamos, menyoroti aksi demonstrasi tahunan para Buruh Indonesia pada Hari Buruh Internasional yang jatuh setiap 1 Mei. 

Menurutnya ada beberapa permasalahan pokok yang tak pernah selesai di setiap pemerintahan dari masa ke masa, termasuk pemerintahan yang akan terbentuk dari hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

"Problem buruh sejak Republik ini berdiri, dan sudah 8 Presiden berganti masih sama yakni soal upah, durasi kerja, outsourcing, kesejahteraan, keselamatan kerja, hingga akses jaminan sosial," kata Biran sapaan akrabnya kepada Monitorindonesia.com Rabu (1/5/2024). 

Biran menilai, setiap peringatan Hari Buruh Internasional hanya sekadar seremoni yang tak pernah terealisasi dalam setiap tuntutan para Buruh. 

Selain itu, peringatan yang dikenal dengan "May Day" ini juga tak berdampak positif yang berarti bagi kemaslahatan para Buruh. 

"Artinya May Day semacam ritual tahunan yang minim realisasi tuntutan. Padahal Asosiasi buruh cukup memiliki kekuatan sebagai kelompok penekan kebijakan pemerintah," ujarnya. 

Padahal kata Biran, secara politik para Buruh Indonesia memiliki Partai Buruh yang semestinya hak-hak yang menyangkut kesejahteraan mereka dapat terjamin. 

"Tetapi sampai saat ini faktanya nasib buruh masih sama, yakni memperjuangkan hak-hak yang seharusnya diberikan oleh perusahaan dan wajib dilindungi oleh negara," tukas Biran. 

"Itu belum berbicara tentang kualitas tenaga kerja kita, Sumber Daya Manusia, kesetaraan gender, dan lain-lain, problem buruh masih terus menggunung dari tahun ketahun," sambungnya. 

Bahkan yang lebih mengenaskan kata Biran, demi menghindari hidup menganggur banyak dari para Buruh Indonesia yang rela bekerja meski harus dibayar dengan upah yang sangat rendah. 

"Yang paling krusial adalah buruh terpaksa bekerja demi upah yang tidak seberapa ketimbang hidup menganggur dan jadi beban sosial masyarakat dan negara," demikian penulis buku Negara Katanya itu.