PDIP: Cita-cita dan Gagasan Bung Karno Tak Pernah Mati

Dhanis Iswara
Dhanis Iswara
Diperbarui 6 Juni 2024 20:51 WIB
Bung Karno (Foto: Dok. Arsip Nasional)
Bung Karno (Foto: Dok. Arsip Nasional)

Jakarta, MI - Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, mengucapkan syukur karena 123 tahun yang lalu, tepatnya 6 Juni 1901, lahir putra sang fajar yang menjadi tokoh pembebasan dan menginspirasi rakyat Indonesia hingga dunia.

Hal itu disampaikan Hasto dalam peringatan Hari Lahir Bung Karno di Sekolah Partai PDI Perjuangan, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Kamis (6/6/2024). 

Menurutnya, sosok Presiden RI pertama Soekarno atau Bung Karno telah membawa suatu konsepsi tentang tata kelola dunia terutama dalam menghadapi kolonial dan imperialis. Pernyataan ini juga bentuk kritikan terhadap sejarawan Yuval Noah Harari yang dalam bukunya menyebut Indonesia tak membawa sumbangsih terhadap kemanusiaan dunia.

“Padahal Bung Karno dalam seluruh gagasannya berbicara tentang kemerdekaan Indonesia itu bukan untuk semata-mata rakyat Indonesia, tetapi untuk membangun suatu persaudaraan dunia. Indonesia sebagai taman sarinya dunia,” kata Hasto. 

Menurut politikus Yogyakarta ini, Bung Karno melalui ajudan terakhirnya Sidarto Danusubroto, menyampaikan ide, gagasan, serta cita-cita tak bisa dibunuh. Dan itu terbukti bagaimana seluruh pemikiran Bung Karno hari ini masih relevan dan menjadi legasinya.

“Dan kita pun sebagai kader-kader partai harus membuat suatu legasi dengan ide gagasan cita-cita, dan perjuangan apa yang bisa kita lakukan dengan inspirasi pemikiran Bung Karno tadi untuk kepentingan rakyat Indonesia dan juga dunia,” ujarnya.

“Karena kalau kita lihat perjalanan dan sejarah pemikiran Bung Karno, benang merahnya itu luar biasa. Saya sangat beruntung mendampingi Ibu Mega karena mengetahui hal-hal yang sifatnya untold story,” sambung Hasto.

Dia pun menceritakan bagaimana Bung Karno sejak 1930 diasingkan dan dipenjara sampai akhirnya Jepang datang ke Indonesia. Bukan hanya pra kemerdekaan saja, Bung Karno juga pernah menjadi tahanan rumah setelah Indonesia merdeka akibat pertarungan geopolitik dunia.

Bahkan, cerita Hasto, dengan adanya proyek de-Soekarnoisasi di orde baru, cita-cita serta gagasan Bung Karno tak pernah mati. Justru menjadi inspirasi bahkan bagi dunia yang masih diwarnai dengan berbagai pertarungan geopolitik.

Hasto menilai Bung Karno telah memberikan sumbangsih bagi nilai-nilai kemanusiaan di mana mencakup aspek-aspek politik, budaya, sosiologi, antropologi, juga sistem ekonomi, serta hukum yang berkeadilan bagi semua pihak, bahkan aspek psikologi.

Dia pun mencontohkan pemikiran Bung Karno tentang perlawanan kolonial Belanda bisa dengan mudah digambarkan dan justru membangkitkan spirit rakyat Indonesia.

“Bagaimana pemikiran Bung Karno membangkitkan spirit rakyat Indonesia dengan mengumpamakan cacing yang terinjak. ‘Jangankan sebuah bangsa, cacing yang terinjak-injak pun akan keruget-keruget melakukan perlawanan, apalagi kita bangsa dengan sejarah yang luar biasa’,” cerita Hasto.

Oleh karena itu, sambung dia, budaya dan tradisi intelektual yang disampaikan Bung Karno harus bisa diresapi bukan hanya kader PDIP tetapi para anak-anak muda Indonesia.

Adapun dalam tradisi pemikirannya yang paling dasar adalah memahami sejarah serta kultur dan karakter dari bangsa itu sendiri. Bahkan, Bung Karno juga sering berpesan untuk selalu membaca buku, sebagai jendela dunia.

Hasto menjelaskan bagaimana relevansinya pemikiran Bung Karno sampai hari ini saat mengkritisi sistem kapitalis yang hanya memenuhi hasrat nafsu akan modal dan kekuasaan semata.

Bahkan, saat dunia mengalami pertentangan akan berbagai paham dan pemikiran dari lenisme sampai liberalisme, Bung Karno menghadirkan Pancasila untuk kemanusiaan.

“Kenapa Pancasila harus progresif? Karena ada kemanusiaan, ada keadilan sosial di situ. Ketika kita berbicara ketuhanan pun maknanya adalah ketuhanan dalam sebutannya yang gotong royong, saling menghormati tidak ada egoisme agama, ketuhanan yang berkebudayaan,” jelasnya.

Selain itu, cara pandang Bung Karno selalu melihat akar masalah dari bawah atau society view kemudian naik menjadi national view, yang kemudian menjadi worldwide view. Tapi juga pernah sebaliknya, seperti mengkritisi kapitalisme dan imperialisme modern.

“Dari worldwide view adanya kapitalisme imperialisme modern masuk kemudian, Indonesia hanya menjadi daerah jajahan, hanya menjadi sumber bahan mentah, hanya menjadi suatu pasar bagi produk-produk luar. Itu melihatnya dari luar ke dalam. Jadi kalau tambang sekarang dibagi-bagi ini cara pandangnya masih cara pandang kolonialisme Belanda itu bukan cara pandang pembebasan ala Bung Karno,” tambah Hasto.

“Jadi Pancasila itu bukan hanya pemersatu satu bangsa, bukan hanya falsafah bangsa, bukan the way of life-nya bangsa, tetapi Pancasila cara pandang kita, ideologi geopolitik Indonesia untuk membangun tata dunia baru, to build the world again,” pungkasnya.