Risiko Keamanan Nasional Starlink

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 26 Mei 2024 19:23 WIB
Ilustrasi Starlink, layanan internet berbasis satelit milik konglomerat Elon Musk (Foto: Getty Images)
Ilustrasi Starlink, layanan internet berbasis satelit milik konglomerat Elon Musk (Foto: Getty Images)

Jakarta, MI - Penyedia layanan internet via satelit milik Elon Musk, Starlink, sudah memiliki nama perusahaan di Indonesia, yaitu PT Starlink Services Indonesia.

Hargyo Tri Nugroho, dosen teknik komputer Universitas Multimedia Nusantara (UMN), mengatakan Starlink memang bisa membantu menyediakan akses internet cepat, termasuk di daerah-daerah pedalaman atau terpencil di Indonesia.

Masalahnya, kata dia, adalah bila layanan internet Starlink digunakan oleh kelompok teroris atau separatis untuk berkoordinasi atau merencanakan sesuatu yang mengancam keamanan nasional.

Karena itu, penting bagi pemerintah untuk mendapat akses untuk mengawasi lalu lintas data Starlink. "Kalau pakai base transceiver station (BTS)-kan ketahuan, posisinya di sini orang ini, misalnya di gunung. Tapi kalau pakai satelit kan susah dideteksinya. Intinya di keterbukaan, bagaimana Starlink memberikan akses ke pemerintah untuk melakukan pengawasan," kata Hargyo kepada wartawan, Minggu (26/5/2024).

Sementara itu, Heru Sutadi, direktur eksekutif Indonesia ICT Institute, mengatakan masalah itu bisa diatasi bila Starlink membangun pusat operasi jaringan (NOC) di Indonesia. Mudahnya, NOC adalah infrastruktur untuk mengawasi, memantau, dan mengamankan jaringan komunikasi.

"Banyak kasus itu kan kelihatan jejak digitalnya. Tapi misalnya enggak ada NOC, kemudian komunikasinya langsung ke AS, ya kita susah mencari jejaknya. Karena nanti AS itu bisa mengatakan bahwa ini bukan yurisdiksi Indonesia segala macam. Itu kan yang banyak terjadi seperti itu," jelasnya.

Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi menegaskan ia telah meminta Starlink membangun NOC di Indonesia, dan menurutnya Starlink telah "berkomitmen" untuk itu.

Dengan NOC, kata Budi, pemerintah dapat melakukan kontrol atas akses internet di Indonesia, sehingga bisa memblokir layanan internet bila disalahgunakan misalnya oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB).

"Nanti ini bisa dipakai buat [menangani] judi online, pornografi, separatis, hal-hal yang tidak sesuai atau dilarang dalam hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. NOC di Indonesia. Itu harga mati. Paham, enggak?"

Nggak bahaya tah?
Apakah bisa berbahaya jika pola seperti Starlink itu dibiarkan masuk dan merusak ekosistem bisnis telekomunikasi dan internet Indonesia?

"Ya memang bahaya kalau rezim ini tampak sekarang hanya senang menjadi kernet dari para Investor asing yg hanya mau menjalankan bisnisnya disini tanpa mau menggerakkan ekonomi lokal, minimal tenaga kerja bangsa sendiri," kata pakar telematika Roy Suryo dalam opini terbukanya yang masuk ke dapur redaksi Monitorindonesia.com.

Lihat saja pabrik-pabrik yang beroperasi dengan merusak alam dimana-mana, para pekerja kasarnya pun harus 'diimpor' misalnya dari China. Padahal, kata Roy, sudah banyak video-video fakta hal ini diungkap, tetapi masih saja dikatakan hoaks oleh rezim ini yang terkesan melindungi dan malah jadi centeng mereka.

"Kalau yang datang itu pekerja yang berkemampuan tertentu masih bisa dimaklumi, tetapi sudah banyak terbukti bahwa mereka adalah unskill labor alias pekerja kasar yang malahan lebih tidak terampil dibandingkan kinerja TKI kita, bahkan sampai B*B-pun mereka banyak yang tidak terlatih, alias sembarangan dimana-mana," bebernya.

Inilah yang menurut Roy menimbulkan kericuhan bahkan sampai kerusuhan di beberapa pabrik tempat mereka didatangkan, karena terjadi ketimpangan sosial dan ekonomi antara TKA dan TKI.  "Ironisnya RUU Cilaka, kini jadi UU Ciptaker tampak tidak berdaya dan malah lebih menguntungkan bagi mereka," tandas Roy.

Sekadar tahu, Starlink merupakan layanan internet satelit yang dikembangkan oleh perusahaan milik Elon Musk bernama SpaceX. Starlink digadang-gadang jadi teknologi revolusioner karena memiliki kecepatan internet yang sangat tinggi.

Satelit Starlink berada di ketinggian jauh lebih rendah dibandingkan dengan satelit lainnya. Umumnya, internet satelit berada di orbit geostasioner dengan jarak sekitar 35.400 kilometer (km). Sedangkan ketinggian satelit Starlink hanya 550 KM.

Rendahnya ketinggian satelit Starlink otomatis membuat nilai latensinya pun lebih rendah dari satelit biasa. Latensi itu sendiri merupakan lama waktu yang dibutuhkan untuk data terkirim, lalu kembali lagi ke pengguna.

Internet satelit rata-rata latensinya masih di sekitar 600-1.000 milisekon. Kalau satelit Starlink mencapai latensi 20 milisekon. Karena latensi rendah, dipakai internet pun jadi lebih cepat.

Rendahnya lokasi satelit Starlink membuat orbit yang dijangkau satu satelit cukup kecil. Sehingga, sistem Starlink butuh ribuan satelit yang bekerja sama mengorbit bumi untuk dapat bekerja dengan baik.

Sejauh ini, SpaceX sudah mengirim satelit Starlink sebanyak sekitar 6.000. Satelit yang aktib sekitar 5.000. Dalam masing-masing satelit Starlink dilengkapi dengan tiga buah optical space lasers. Laser optik ini bisa digunakan untuk membawa informasi sampai 200 Gbps. 

Masing-masing satelit kemudian berkomunikasi bersama menjadi satu. Kombinasi ini yang memungkinkan internet Starlink bisa mencapai ratusan Mbps ketika digunakan di Bumi.