Korupsi APD Diusut, Bansos DKI Rp 3,65 Triliun Terlupakan?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 27 November 2023 01:50 WIB
Paket Bansos Covid-19 DKI Jakarta (Foto: Dok MI)
Paket Bansos Covid-19 DKI Jakarta (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengusut kasus dugaan korupsi APD saat pandemi Covid-19 di Kemenkes pada periode 2020-2022. Kabar terkini menyebutkan KPK telah melakukan penggeledahan beberapa lokasi yang berhubungan dengan kasus ini. KPK juga mengaku telah mengantongi lima tersangka.

Sementara itu kasus dugaan korupsi bansos DKI Jakarta Rp 3,65 triliun yang terkuak sejak Januari lalu seolah terlupakan. Dinas Sosial DKI Jakarta dalam program bantuan sosial ini menggandeng tiga rekanan. Adalah Perumda Pasar Jaya, PT Food Station, dan PT Trimedia Imaji Rekso Abadi.

Jumlah paket untuk Perumda Pasar Jaya sebanyak 10.103.259 dengan anggaran Rp 2. 855. 889. 160. 500. Paket PT Food Station sebanyak 1.236. 125 dengan anggaran Rp 370.837.500.000. Sementara untuk PT Trimedia Imaji Rekso Abadi sebanyak 1.418.096 dengan anggaran Rp 425.428.800.000.

Pada 9 Januari, Rudi Valinka, melalui utas di akunnya @kurawa menyebut, pada 2020 Pemprov DKI Jakarta sedang menanggulangi pandemi Covid-19.

Pemprov DKI Jakarta kemudian mengucurkan bantuan Rp 3,65 triliun dalam bentuk sembako. Melalui program itu, Dinas Sosial DKI Jakarta menunjuk tiga rekanan sebagai penyalur paket sembako. Mereka adalah Perumda Pasar Jaya, PT Food Station, dan PT Trimedia Imaji Rekso Abadi. "Di mana porsi terbesar diberikan kepada Perumda Pasar Jaya senilai Rp 2,85 triliun, mengapa?" tulis akun @kurawa. 

Hingga saat ini KPK tak kunjung meng-update dugaan korupsi ini. Sejumlah pihak pun mempertanyakan nyali lembaga antirasuh itu. "Jika KPK tak mampu usut kasus ini, sebaiknya melimpahkan penyelidikannya lebih lanjut ke Kejaksaan Agung," tegas praktisi hukum, Fernando Emas, Senin (27/11).

"Seharusnya KPK memperbaiki tingkat kepercayaan publik dengan menuntaskan kasus yang saat ini masih belum tuntas di KPK," tambah Fernando. 

Untuk diketahui bahwa perkara korupsi yang terjadi di masa pandemi Covid-19 bukan kali ini saja terjadi. Kita tentu masih ingat ketika KPK membongkar perkara korupsi dana bantuan sosial (bansos) pandemi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek) yang terungkap pada 2020.

Juliari Peter Batubara, yang saat pandemi Covid-19 menjabat sebagai Menteri Sosial, menerima suap lebih dari Rp32 miliar dari rekanan penyedia bansos di Kemensos. Jatah bansos yang mestinya utuh diterima warga ditilap tiap paketnya.

Akhirnya, mantan politikus PDIP ini dihukum 12 tahun penjara dan denda 500 juta subsidair enam bulan kurungan. Hakim juga menghukum Juliari membayar uang pengganti sebesar Rp14,5 miliar subsidair 2 tahun penjara dan pencabutan hak politik berupa dipilih dalam jabatan publik selama empat tahun usai terdakwa menjalani pidana pokok.

Hukuman yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak serta merta memuaskan publik. Perasaan geram karena ada sosok yang tega nilep dana bansos di tengah kesulitan warga membuat publik bertanya-tanya, mengapa Juliari tak diganjar hukuman mati padahal ia dinilai ‘memenuhi syarat’ untuk itu.

Ini merujuk pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) menegaskan bahwa tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Keadaan yang dapat dijadikan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana itu dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.