Pesta Korupsi di DJKA: Sebagai Penanggung Jawab, Menhub Budi Karya Harus Diperiksa!

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 23 Mei 2023 11:12 WIB
Jakarta, MI - Dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada hari Rabu 12 April 2023 lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap 25 orang terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi suap dan gratifikasi dalam proyek pembangunan jalur kereta api di wilayah Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa-Sumatera, di Direktorat Jenderal Kereta Api (DJKA) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tahun anggaran 2018-2022. Dalam proyek ini, yang menjadi pertanyaan adalah apakah Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mantan Direktur Utama PT. Angkasa Pura II (Persero) sejak 23 Oktober 2019 mengetahui? Apakah Mantan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan era 27 Oktober 2014 hingga 27 Juli 2016 mantan Direktur Utama PT. Kereta Api Indonesia (Persero) tahun 2009 hingga 2014 terlibat? Terkait hal ini, KPK diminta memeriksa para saksi-saksi termasuk Menhub Budi Karya dan Ignasius Jonan itu. "Perlu ada pemeriksaan lanjut dari KPK pemeriksaan para saksi-saksi yang mengetahui melihat periode jabatan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Ignasius Jonan," kata pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Dr Kurnia Zakaria kepada Monitor Indonesia, Selasa (23/5). Diketahui bahwa dalam kasus ini, terduga pemberi suap Dion Renato Sugiarto selaku Direktur PT. Istana Putra Agung, Muchammad Hikmat, Direktur PT. Dwifarita Fajarkharisma, Yoseph Ibrahim, Direktur PT KA Manajemen Properti, Fahmi Arif Kurniawan selaku owner Nazma Tata Laksana, dan UP PT. KA MP Parjono. Kelima tersangka dianggap melanggar pasal 5 dan/atau pasal 13 UU No.31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara sebagai penerima suap adalah Harno Trimadi selaku Direktur Prasarana Perkeretapian, Benard Hasibuan, Penjabat Pembuat Komitmen Balai Teknis Perkeretaapian (PPK BTP) Jabagteng, Achmad Affandy PPK BPKA Sulsel, Fadliansyah, Pejabat Pembuat Komitemen atau PPK Perawatan Prasarana Perkeretaapian, Putu Sumarjaya, Kepala BTP Jawa Bagian tengah dan Syntho Pirjani Hutabarat PPK Balai Pengelola Kereta Api (BPKA) Jabagbar yang diduga melanggar pasal 12 atau pasal 11 UU No.31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Menurut Dr Kurnia, proyek ini diduga jadi bancakan/bareng-bareng/bersama-sama tindak pidana korupsi dari sejak awal perencanaan proyek, sampai proses penunjukan kepanitiaan tender hingga pemenang tender proyek, hingga pelaksanaan proyek berjalan dalam hal pembangunan proyek pembangunan jalur KA ganda Solo Balapan-Kadipiro-Kalioso, proyek poembangunan jalur kereta api di Makassar Sulawesi Selatan, (3) 4 proyek kontruksi jalur KA dan 2 proyek supervisi di Lampeyan Cianjur Jawa Barat dan proyek perbaikan perlintasan sebidang Jawa-Sumatera. "Dimana modus operasinya adalah memungut UPETI 5-10% dari nilai proyek dimana para penerima suap menerima suap sebesar Rp14,5 miliar," kata Dr Kurnia. Putu Sumarjaya dan Benard menerima suap dari Dion tanggal 10/4/2023 sesar 800 juta rupiah dalam proyek kereta api Slo Balapan-Kadipiro-Kalioso. Tanggal 11/4/2023 Dion memberi suap Affandy sebesar Rp 150 juta. Sytho menerima suap Rp 1,6 miliar dari Dion dan Fahmi dalam proyek di Makassar Sulsel. Harno dan Fadliasyah terima suap dari Yoseph sebesar Rp 1,1 miliar dalam proyek Jawa-Sumatera. Barang bukti dalam OTT di empat lokasi ditemukan Rp 2,07 miliar dalam bentuk tunai, 20 ribu dollar AS tunai, kartu debit bersalso Rp 346 juta , dan saldo di rekening bank sebesar Rp 150 juta untuk THR tahun 2023. Dr Kurnia mengikuti pendapat teori Sutherland, bahwa faktor penyebab terjadinya niat jahat pada kondisi patologi individual maupun sosial dapat dipengaruhi oleh pembelajaran proses tingkah laku kejahatan dipengaruhi lingkungan dan kesempatan. "Kejahatan korupsi tidak mungkin dilakukan oleh orang terbelakang baik secara pendidikan maupun penghidupan tetapi dilakukan oleh kalangan pengusaha dan penjabat, pendidikan tinggi tidak bodoh dan pintar tidak terbelakang baik secara ental maupun imtelektual. Tidak mengalami kekurangan tetapi berkecukupan dan gaji sudah tinggi, sehingga disebut White Collar Crime," bebernya. "Dan mereka melakukan berulang kali karena hanya mendapatkan hukuman/sanksi disiplin dan denda administratif. Peradilan secara kode etik pun tertutup dan tidak transparan". Jadi, tegas Kurnia, kejahatan korupsi ini bukan semata-mata pelanggaran tindak pidana, tetapi juga merugikan masyarakat banyak bukan hanya korban baik individu maupun kelompok tapi juga institusi, tapi masyarakat dan keuangan negara. Proyek Pemerintah yang berasal dari APBN atau APBD ataupun bantuan luar negeri baik yang bersifat government maupun foundation baik bersifat komersial/pinjaman luar Negeri maupun hibah. "Memang hitungan kerugian yang dialami masyarakat secara perorangan sedikit atau kecil sekali, atau korban tidak merasakan dirinya korban. Tetapi bila kerugian dihitung secara kumulasi/ditotal jumah kerugian (yang dikorupsi) jumlahnya tentu lebih besar, minimal uang yang hilang berkurang 5-20% dari nilai proyek secara keseluruhan tanpa perhitungan pajak dan restribusi yang sesuai aturan berlaku," jelas Kurnia. Walaupun dilakukan secara bersama-sama dan rahasia tetapi bukan organized crime. Tindak pidana korupsi (tipikor) dilakukan secara terorganisir tetapi tergantung situasi dan kesempatan dimana dipengaruhi lingkungan pekerjaan dan kebiasaan para pemangku kepentingan. Dilakukan secara berjamah (bersama-sama) dan rahasia. "Semua harus dapat dengan besaran perolehan tiap orangbersifat relatif dan kasusitis/situasi kondisi yang berbeda tetapi modus operandinya sama. Tanggung jawab Kementerian bila ada penyalahgunaan jabatan dan penyelewengan wewenang tetap harus dibawah komando Menteri walaupun jabatan Menteri dan Wakil Menteri bersifat politis. Tetapi Jabatan Irjen dan Dirjen adalah para penjabat Karir (ASN). Semakin tinggi jabatan semakin banyak godaan harta, tahta dan wanita," kata Dr Kurnia lebih lanjut. Dr Kurnia menduga, bahwa pola tipikor dalam DJKA Kemenhub sudah dirancang sejak awal perencanaan proyek dan rencana anggaran belanja proyek, setelah jadi usulan proyek dirancang siapa pelaku dari institusi dan siapa pelaksana proyek. "Komandan teratas bisa tahu bisa tidak tahu atau pura-pura kaget atau tidak tahu sama sekali," ujarnya. Proyek yang dituju bersifat multiyears/jamak sehingga pelaku tipikor mempunyai argo jalan sejak awal hingga akhir proyek. Maka tidak ada alasan lagi KPK untuk tidak memeriksa Menhub Budi Karya. "Jadi KPK harus memeriksa Menteri Perhubungan Budi Karya juga sebagai penanggung jawab koordinat vertikal Kementerian. Baik yang menjabat maupun periode sebelumnya. Terlibat atau tidak terlibat perlu libatkan PPATK dan OJK serta DPR. Selain auditor negara baik BPK maupun BPKP," tutup Dr Kurnia Zakaria. (LA) #Menhub Budi Karya