Agustinus Pohan Pertanyakan Kewenangan MK Perpanjang Masa Jabatan Pimpinan KPK 5 Tahun

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 26 Mei 2023 21:17 WIB
Jakarta, MI - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai perpanjangan jabatan pimpinan KPK menjadi 5 tahun terus menuai pro kontra dari berbagai pihak. Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan ketetapan dan keputusan pada Kamis (25/5) kemarin. Putusan tersebut dikeluarkan atas permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Sementara Permohonan itu diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang memohon untuk memperpanjang masa jabatan KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun. Pakar hukum pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan menduga putusan itu akan dijadikan alat politik Pilpres 2024. Lantas dia mempertanyakan alasan hukum MK memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK, Firli Bahuri dan kawan-kawan. Padahal aturan soal itu mutlak menjadi kewenangan DPR selaku perumus undang-undang. "Bagaimana mengukur masa jabatan pimpinan KPK selama 4 tahun bertentangan dgn UUD? Lalu, dimana kewenangan MK mengatur mengenai masa jabatan pimpinan KPK menjadi 5 tahun?," tanya Agustinus Pohan saat dihubungi Monitor Indonesia, Jum'at (26/5). Menurut dia, pimpinan KPK semestinya tetap berakhir sesuai dengaan masa jabatannya yakni 4 tahun. "Pada hemat saya, pimpinan KPK tetap berakhir sesuai dengan masa jabatan dalam pengangkatannya. Bila pemerintah ingin mengubah, silahkan dilakukan sesuai prosedur," tandasnya. Diketahui, MK mengabulkan permohonan uji materi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron terkait masa jabatan pimpinan KPK. Dengan putusan itu, masa jabatan pimpinan KPK diubah dari semula empat menjadi lima tahun. Hakim MK dalam pertimbangannya menyatakan pengaturan masa jabatan pimpinan KPK yang berbeda dengan masa jabatan pimpinan atau anggota lembaga independen lainnya telah melanggar prinsip keadilan, rasionalitas, dan diskriminatif. Hakim menilai hal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat 1 UUD I945. "Mengabulkan permohonan untuk seluruhnya," kata hakim konstitusi Anwar Usman dalam sidang terbuka yang disiarkan secara daring, Kamis (25/5). (LA)

Topik:

KPK MK