Perpanjangan Masa Jabatan 5 Tahun: MK Salah Ruang, Komisioner KPK Tak Sadar Diri!

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 27 Mei 2023 15:59 WIB
Jakarta, MI - Beberapa pakar hukum mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari semula 4 tahun menjadi 5 tahun. Putusan tersebut dikeluarkan atas permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Sementara Permohonan itu diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Salah satu yang mengkritik putusan ini adalah Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Prof. Mudzakir yang menegaskan bahwa jika itu yang mengajukan itu adalah oknum Komisioner KPK kesannya bahwa ini hanya perpanjangan masa jabatan, karena "nikmatlah" istilah bahasanya. Menikmati jabatan itu sebenarnya memohon perpanjangan, mungkin itu alasan yang paling umum mudah diterima atau mungkin alasan yang lain yang akademik agak sulit. Pasalnya kata Mudzakir, masalah lama singkatnya jabatan KPK itu ruang yang tidak bisa diuji oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi tidak boleh mencampuri urusan kebijakan legislatif, karena norma itu dalam hukum itu bersifat open. "Kalau norma hukum itu bersifat open itu diserahkan sepenuhnya kebijakannya kepada legislatif. Ketika legislatif sudah memutuskan 4 tahun ini, maka itu enggak bisa diuji. Kalau nggak bisa di MK ya, MK enggak bisa membuat, meminta, merekomendasikan agar supaya diubah menjadi 5 tahun. Kenapa gak 7, 10 tahun sekalian?," ujar Mudzakir saat dihubungi Monitor Indonesia, Sabtu (27/5). "Jadi ini tidak relevan dalam konteks ini, maka implikasinya apa dari putusan Mahkamah Konstitusi ini terlepas nanti perspektif politiknya dari Mahkamah Konstitusi atau sebut saja oknum-oknum dalam mengambil keputusan itu. Putusan yang terhadap undang-undang yang bersifat open terbuka dan itu masuk ruang kebijakan-kebijakan pada legislatif, itu tidak bisa diintervensi oleh putusan Mahkamah Konstitusi," sambungnya. Kemudian, lanjut Mudzakir, jika ada putusan mahkamah yang mengubah dari masa jabatan 4 tahun menjadi 5 tahun karena itu tidak bisa diuji, maka legislatif boleh menolak terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi atau rekomendasi MK tersebut. "Karena ruangnya adalah ruang kebijakan dari atau istilahnya pilihan atau kebijakan dari legislatif. Baik itu legislatif yang masuk ranah eksekutif maupun legislatif yang masuk ranah DPR," jelasnya. Selain itu, lanjut Mudzakir, jika itu harus diperpanjang 5 tahun selagi Undang-Undang (UU) karena kewenangannya itu pada legislatif, selagi masih normanya dan berlaku itu adalah selama 4 tahun, maka pemerintah dalam hal ini negara tidak boleh menerbitkan perpanjangan selama 1 tahun. Karena, tegas dia, itu bukan ruangan Mahkamah Konstitusi, tapi ruangannya adalah ruang legislatif. "Kalau legislatif masih belum mengubah Undang-Undang KPK selama 4 tahun itu, lebih ubah oleh legislatif, maka tidak ada kewenangan lembaga lain dalam hal ini adalah lembaga pemerintah dalam rangka untuk memperpanjang lama jabatannya menjadi 5 tahun. Atau menambah satu tahun, kalau itu hanya merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi," beber Mudzakir. Argumen hukum konstitusinya, lanjut dia, adalah karena itu ruang kebijakan dari legislatif bukan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi. Oleh sebab itu, ini tidak terikat, tidak mengikat dan tidak final dan tidak pending. "Oleh sebab itu, kalau selagi undang-undangnya masih berlaku sekarang masih 4 tahun, maka pemerintah yang wajib menghentikan dia, kalau sudah sampai batas usianya dan 4 tahun. Dan kalau dia memperpanjangnya, terus dia kemudian mendasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi, saya berpendapat bahwa perpanjangan masa 1 tahun merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi itu tidak sah. Karena bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi," ungkap Mudzakir. "Oleh sikap itu, nanti produk-produk komisioner KPK selama masa perpanjangan itu, harus dinyatakan tidak sah." Atas dasar pertimbangan tersebut inilah, tegas dia, dalam rangka untuk menjaga netralitas yang disebut sebagai Mahkamah Konstitusi yang tugasnya dia menjaga konstitusi, maka didalam memutus suatu putusan harus mendasarkan pada konstitusi dan sekaligus tidak ada harus konstitusional. "Kalau dia punya kewenangan, ya seharusnya cukup saja, bahwa dia itu cukup kewenangan pada legislatif bukan pada kewenangan KPK. Kalau KPK mau bersistem pada putusan putusan sebelumnya, seharusnya dia menolaknya dan menyatakan bahwa itu kewenangan legislatif dan ruang kebijakan legislatif," cetusnya. Jadi kalau itu nanti dilaksanakan, produk hukumnya bisa cacat dan nanti MK itu memberi contoh yang tidak bagus yang menyebabkan lahirnya penggunaan kewenangan yang tidak bagus juga. Terakhir, Mudzakir menegaskan bahwa yang perlu diperhatikan juga adalah, dia yang komisioner-komisioner KPK sebaiknya sadar diri, taat pada hukum yang selama ini mengkritik banyak orang terkait dengan masalah pendekatan hukum, sekarang dia sebagai penegakan hukum yang bijaksana. [caption id="attachment_544648" align="alignnone" width="1280"] Lima Pimpinan Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) saat ini (Foto: MI/Net)[/caption] Dia kalau sudah habis masa jabatannya periode 4 tahun, dia harus menyatakan berhenti pada saat itu sesuai dengan tanggal waktu pengangkatan dan tidak meminta perpanjangan dengan alasan apapun. "Karena perpanjangan masa jabatan wilayah legislatif bukan wilayah MK dan tidak merujuk lagi pada putusan MK. Dan putusan MK itu berlaku, kalau mau berlaku ya harus dengan mengubah undang-undang KPK," pungkasnya. (LA)