Lukas Enembe Kelabui Kemendagri, KPK Bidik Siapa?

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 30 Juni 2023 20:46 WIB
Jakarta, MI - Modus dan operandi kejahatan korupsi selalu berganti secara cepat. Jika berkaca kepada kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adanya pidana korupsi dalam pembahasan dan penganggaran dana otonomi khusus (otsus) di Provinsi Papua yang menyeret Lukas Enembe, sangat ironi. Disebutkan bahwa biaya operasional yang dihabiskan Lukas Enembe, sejak 2019 sampai 2022 benar-benar fantastis. Enembe menghabiskan Rp1 triliun untuk dana operasional setiap tahun atau rata-rata Rp1 miliar setiap hari. Kondisi ini tentu memprihatinkan ditengah kemiskinan rakyat Papua. Bayangkan saja, dana sebesar itu yang semestinya disalurkan untuk pembangunan lenyap begitu saja. Jika saja dana itu tidak dikorupsi dan benar-benar disalurkan bagi program kesejahteraan rakyat, tentu masalah kemiskinan di Papua berangsur bisa tertangani. Setidaknya infrastruktur ekonomi sudah berkembang lebih baik. Pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga Lukas Enembe mengalokasikan dana operasional gubernur senilai Rp 400 miliar per tahun untuk belanja makan dan minum. Jika dirinci dalam setahun ada 365 hari, maka rata-rata biaya makan dan minum yang dialokasikan Enembe mencapai Rp 1 miliar per hari. Mayoritas dana itu dipakai untuk makan dan minum senilai Rp1 miliar per harinya. Pelaksana tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur menyebut Lukas Enembe membuat aturan sendiri terkait pemberian dana operasional tersebut. Hal ini diduga dilakukan untuk menyembunyikan transaksi. "Dibuatlah Peraturan Gubernur, sehingga itu tidak kelihatan, jadi dia disembunyikan," ujar Asep di KPK, Selasa (27/6). Ini tentunya membuat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkelabui oleh mantan orang nomor satu di Papua itu. Pasalnya peraturan itu membuat penggunaan dana operasional Lukas Enembe menjadi legal. "Memang ketika dicek itu Kementerian Dalam Negeri itu menjadi tidak kelihatan tersamarkan dengan adanya begitu," jelas Asep. Selain itu, KPK bahkan menyebut Lukas Enembe diduga menyalahgunakan APBD untuk bermain judi. "Tiap tahun dana operasional yang bersangkutan itu Rp1 triliun lebih. Itu jauh lebih tinggi dari ketentuan yang ditetapkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. KPK Diminta Periksa DPRD Papua dan Kemendagri Dalam PP No. 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah tercantum bahwa anggaran Kepala Daerah berkisar Rp 1.25 miliar hingga maksimal 0,17% dari APBD. Ghufron menuturkan, tidak semestinya anggaran Kepala Daerah untuk dana operasional melebihi Rp. 500 Miliar per tahun. Menurut Ghufron, aksi ini luput dari Kemendagri dan seolah legal sebab Lukas Enembe telah merubah Peraturan Gubernur dan memanipulasi anggaran Sekretaris Daerah yang mencapai Rp600-700 Miliar per tahun dan dilegalisasi menggunakan Surat Keputusan (SK) Gubernur. "Untuk mengelabuinya mereka menggunakan SK Gubernur yang ditempatkan dalam dana operasional Sekretaris Daerah (Sekda) tapi peruntukannya untuk Kepala Daerah," jelas Ghufron kemarin. Berangkat dari hal ini, maka untuk menelusuri kasus ini lebih dalam lagi, KPK diminta memeriksa pihak-pikah terkait termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Papua. "Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan penegak hukum lain harus memeriksa dan membawanya ke pengadilan bagi siapa pun yang menyalahgunakan keuangan negara sekalipun sudah disahkan juga oleh DPRD," kata pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Jum'at (30/6). Menurut Abdul Fickar tidak masalah, KPK perlu memeriksa pihak DPRD Papua lagi, meskipun KPK telah memeriksa Wakil Ketua DPRD Papua Yunus Wonda pada Jumat (20/1) lalu. Sebab kata dia, dalam hukum terdapat asas praduga tak bersalah yakni suatu ketentuan yang menganggap seseorang yang menjalani proses pemidanaan tetap tidak bersalah sehingga harus dihormati hak-haknya sebagai warga negara sampai ada putusan pengadilan negeri yang menyatakan kesalahannya. "Bisa jadi DPRD-nya juga kebagian karena itu semua pihak yang terkait harus diproses," jelas Abdul Fickar. Di lain pihak, KPK juga disarankan memeriksa pihak Kemendagri untuk memastikan apakah benar tidak mengetahui Pergub yang dibuat Lukas Enembe itu. "LE dengan mudahnya menggunakan anggaran yang fantastis itu. Apakah benar pihak Kemendagri tidak menyadari aturan yang dia buat itu, dalam hal ini peraturan gubernur (Pergub). Kok bisa ya tak tercium Kemendagri gitu ya, " ujar pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Kurnia Zakaria saat dihubungi Monitorindonesia.com, Jum'at (30/6) malam. Jika merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 39 tahun 2020 tentang pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD. Maka tegas Kurnia, tidak ada alasan KPK untuk tidak memeriksa pihak Kemendagri. "Untuk lebih jelasnya, soal Kemendagri dikelabui LE ini, KPK mesti memanggil pihak Kemendagri untuk dimintai keterangannya dalam kasus ini," tegas Kurnia. Respons Kemendagri Direktur Produk Hukum Daerah Kemendagri Makmur Marbun mengatakan, sebuah pergub tidak boleh bertentangan dengan aturan yang ada di atasnya. Dalam konteks pergub di kasus Lukas Enembe, Kemendagri akan melihat terlebih dulu muatan aturannya. "Pada prinsipnya peraturan gubernur tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kami harus melihat terlebih dahulu materi muatan dalam pergub tersebut," ujar Makmur, Rabu (28/6). Makmur menjelaskan, penyusunan Pergub terkait dengan biaya operasional mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Adapun besaran biaya operasional ditentukan dari klasifikasi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Duduk Perkara Singkat Kasus ini bermula saat Direktur PT Tabi Bangun Papua Rijatono Lakka mendapatkan proyek infrastruktur usai melobi Lukas Enembe dan beberapa pejabat Pemprov Papua. Padahal perusahaan Rijatono bergerak dibidang farmasi. Kesepakatan yang disanggupi Rijatono dan diterima Lukas Enembe serta beberapa pejabat di Pemprov Papua di antaranya yaitu adanya pembagian persentase fee proyek hingga mencapai 14 % dari nilai kontrak setelah dikurangi nilai PPh dan PPN. Setidaknya, ada tiga proyek yang didapatkan Rijatono. Pertama yakni peningkatan Jalan Entrop-Hamadi dengan nilai proyek Rp14,8 miliar. Lalu, rehabilitasi sarana dan prasarana penunjang PAUD Integrasi dengan nilai proyek Rp13,3 miliar. Terakhir, proyek penataan lingkungan venue menembang outdoor AURI dengan nilai proyek Rp12,9 miliar. Dari tiga proyek itu, Lukas diduga sudah menerima Rp1 miliar dari Rijatono. Dalam kasus ini, Rijatono disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai penyuap, kini ia dituntut hukuman 5 tahun penjara. Jaksa meyakini Rijatono memberikan suap Rp 35,4 miliar kepada Lukas Enembe. "Menyatakan terdakwa Rijatono Lakka terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan pertama melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP," kata jaksa KPK, di PN Tipikor, Jl Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Selasa (6/6). Sementara itu, Lukas Enembe didakwa telah menerima suap dengan total Rp45,8 miliar dan gratifikasi senilai Rp1 miliar. Lukas Enembe dijerat dengan Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupi Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP. (Wan)