MAKI Ragukan KPK Tindaklanjuti Kasus Korupsi Kabasarnas Henri: Peristiwa Pidananya Masih Aktif Pati TNI

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 27 Juli 2023 21:27 WIB
Jakarta, MI - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menyatakan proses hukum terhadap Kepala Badan SAR (Basarnas) Marsekal Madya, Henri Alfiandi tersangka korupsi pengadaan barang dan jasa semestinya diproses oleh Polisi Militer (POM) bukanlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "KPK tidak sah menurut saya menetapkan tersangka terhadap Kepala Basarnas ini. Apapun itu karena masih aktif. Toh kalau menjelang pensiunkan, tapi peristiwanya kan dia masih aktif dan ini bisa jadi masalah dikemudian hari," ujar Koordiantor MAKI, Boyamin Saiman kepada Monitorindonesia.com, Kamis (27/7) malam. Mestinya, kata Boy begitu ia disapa, KPK menggandeng Polisi Militer (POM) untuk membentuk tim koneksitas, baru kemudian penetapan tersangka. "Ini rawan, ini bisa saja Henri Alfiandi mempermasalahkan atau tidak patuh hukum," tegas Boy. Selain itu, Boy juga meragukan KPK menindaklanjuti kasus ini, pasalnya kata dia, sudah ada kasus dugaan korupsi yang ditangani sebelumnya juga melibatkan pihak TNI. "Sebelumnya dalam kasus dugaan korupsi Helikopter AW 101 itu levelnya hanya swastanya, bahkan TNI-nya tidak disentuh oleh KPK dan diserahkan di Polisi Militer dan sampai sekarang juga belum pernah disidangkan oleh Pengadilan Militer," jelas Boy. Bahkan, tambah Boy, KPK saat itu tidak mampu menghadirkan mantan KASAU, hanya sekedar jadi saksi di Pengadilan. "Nampak lemahlah KPK. Ini berani menetapkan tersangka perwira tinggi aktif itu, tapi juga menurut saya salah prosedur karena berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi itu harus ada tim koneksitas, karena masih aktif. Maka  yang menetapkan tersangka itu mestinya penyidik dan Polisi Militer TNI atau gabungan," beber Boy. Boy lantas khawatir jikalau Henri Alfiandi tidak mau dipanggil KPK karena penetapan tersangkanya dianggap tidak sah. Karena apapun itu, berdasarkan Pasal 39 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi, dalam pasal 39, 40, 41 dan 42 dan seterusnya, diatur bagaimana tim koneksitas itu. "Bahkan kalau tidak ada itu yang berwenang malah Jaksa Agung, bukan KPK. Saya tidak tau nih, KPK akan seperti apa menindaklanjuti kasus ini, meskipun pensuin 24 Juli 2023 kemarin, tapikan peristiwanya satu rangkaian," katanya. "Karena dianggap menerima suap Rp 88, 3 miliar sekian itu, berartikan peristiwa yang masih aktif dan sekarang apapun belum diganti dan masih menjabat dan masih rangkaian kemarin pada saat OTT," tambah Boy. Jadi proses hukumnya nanti, lanjut Boy, tetap harus Pengadilan Militer dan tidak bisa Pengadilan Tipikor. "Karena memang dalam UU tentang pemberantasan korupsi pun begitu dan di UU KPK tidak ada kalimat bahwa dia boleh menangani tindak pidana apapun, oleh siapapun sepanjang itu korupsi. Misalnya korupsi oleh TNI dia tangani lansung itu nggak bisa. Nggak ada aturannya, kalau ada aturannya kembali ke UU Tipikor pasal 39, 40, 41, 42," kata Boy. Kendati demikian, menurut Boy, terkait OTT-nya boleh-boleh saja, karena bukan hanya dua anggota TNI yang terjerat namun ada sipilnya atau swasta. "Namun apa dia nunggu jadi  warga sipil? Itu nggak bisa karena peristiwanya sebagian besar kalau Rp 88,3 miliar itu sangkaannya itukan. Berarti selama sebelum kurung waktu sebelumnya," tutup Boy. Untuk diketahui, bahwa Henri sebenarnya sudah pensiun dari TNI dengan pangkat terakhir Marsdya dan sedang menunggu pelantikan Kabasarnas baru pengganti dirinya. Sebagai informasi, nama Henri masuk dalam Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/779/VII/2023 tanggal 17 Juli 2023. Surat itu berisi rotasi terhadap sejumlah perwira tinggi di lingkungan TNI. Panglima TNI Laksamana Yudo Margono merotasi Henri Alfiandi dari Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPP/Basarnas) menjadi Pati Mabes TNI AU dalam rangka pensiun. Henri sendiri merupakan pria kelahiran 24 Juli 1965. Artinya, Henri berusia 58 tahun pada tahun ini yang merupakan usia pensiun seorang Perwira TNI. Posisi Henri di Basarnas digantikan oleh Marsdya TNI Kusworo. Namun, Kusworo belum dilantik dan belum melaksanakan serah terima jabatan. Tugas Kabasarnas pun masih dipegang oleh Henri. Hal itu diketahui berdasarkan informasi dari situs resmi Basarnas yang menyebut Henri selaku Kepala Basarnas resmi membuka Pembekalan Pengeloa Anggaran Semester I di ruang serbaguna Dono Indarto pada Senin (24/7). Lima Tersangka Lima tersangka dalam kasus ini, yakni Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Kabasarnas) Marsekal Madya TNI (purn) Henri Alfiandi, Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kepala Basarnas, Letnan Kolonel Adm, Afri Budi Cahyanto (ABC); Komisaris Multi Grafika Cipta Sejati, Mulsunadi (MS); Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati, Marilya (MR); dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama, Roni Aidil (RA). Tersangka MG, MR dan RA sebagai pihak Pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Sedangkan Henri dan Afri Budi diserahkan kepada Puspom Mabes TNI, mengingat keduanya merupakan anggota TNI. Hal itu esuai dengan  Pasal 42 Undang-Undang KPK berbunyi, ''Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum". (Wan)