Putusan Hukuman Seumur Hidup Ferdy Sambo Jadi Yurisprudensi untuk Para Pembunuh?

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 10 Agustus 2023 21:14 WIB
Jakarta, MI - Putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang menganulir vonis mati menjadi penjara seumur hidup untuk Ferdy Sambo, terdakwa utama kasus pembunuhan berencana terhadap ajudannya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, kini jadi perbincangan hangat masyarakat. Bahkan putusan ini berpotensi menjadi yurisprudensi bagi para pembunuh lainnya. "Yurisprudensi itukan kita bukan mengikuti, tetapi jadi pedoman, kalau pengacara bisa kita ikuti itu," ujar pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI), Kurnia Zakaria saat dihubungi Monitorindonesia.com, Kamis (10/8) malam. [caption id="attachment_497544" align="alignnone" width="1200"] Kriminolog Universitas Indonesia, Kurnia Zakaria (Foto: Doc MI)[/caption] Karena itu, lanjut Kurnia, ada putusan inkracht sebagai pedoman yurisprudensi yang dipakai oleh aparat penegak hukum seperti jaksa penuntut umum atau advokat sebagai kuasa hukum maupun majelis hakim yang membuat masyarakat bingung. "Sehingga penafsiran hukum atas Peraturan perundang-undangan lama dengan yang baru saling bertentangan mana yang benar nanti dalam penerapan hukum antara KUHP lama UU No. 73 Tahun 1958 atau UU No. 1 Tahun 2023 untuk pidana hukuman mati atau pidana hukuman seumur hidup," jelas Kurnia. Dijelaskannya, bahwa hukum di Indonesia itu menganut sistem hukum eropa kontinental (civil law system), eksistensi peraturan perundang-undangan sangatlah penting. Karena bila dikaitkan dengan asas legalitas yang berarti setiap tindakan pemerintah harus memiliki dasar pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. "Tiada kesalahan tanpa aturan UU". "Maka, tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan, segala macam aparat pemerintah dan aparat penegak hukum tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya," beber Kurnia yang juga sebagai Advokat. "Yurisprudensi bisa kita ikuti, bisa juga tidak. Tergantung hakimnya. Memang dikatakan bahwa hukum Indonesia tidak menganut asas precedent tetapi kita bisa memakai yurisprudensi yang sudah ada untuk dijadikan pertimbangan hukum," katanya. "Yurisprudensi bisa dipakai, bisa diabaikan, tapi tidak wajib, hakim yang memutuskan dalam pertimbangan hukumnya," timpal kriminolog ini. Kemudian, lanjut dia, dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 20/PUU-XXl/2022 tanggal 14 April 2023 memperkuat Putusan MK No. 34/PUU-XIV/2016 Kejaksaan Agung tidak bisa mengajukan Peninjauan Kembali (PK) SESUAI PASAL 263 (1) KUHAP mencabut pasal 30c huruf h UU No. 11 Tahun 2021 perubahan UU No. 11 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republilk Indonesia. "Dengan hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup ini juga nantinya kan KUHP UU Nomor 1 Tahun 2023 ini akan berlaku tahun 2026. Itukan bisa saja dipermainkan, kaya nggak tau aja akan hukum kita ini," terang Kurnia. "Diantara Undang-Undang yang saling bertentangan, maka mana yang akan berlaku nanti, KUHP yang baru? Karena terpidana Ferdy Sambo Cs nanti mengajukan Peninjauan Kembali (PK) sehingga hukuman dikurangi lagi," tambahnya. Kurnia juga menilai putusan kasasi tersebut disinyalir adanya simbiosis mutualisme. "Biasa juga begitu. Mungkin ada yang punya jasa atau nanti kepolisian sama hakim secara individual maupun MA sebagai institusi hukum tertinggi. Dan jasa yang berbeda gitu yang akan dipakai dikemudian hari". "Walaupun dikatakan KUHP baru itu, tapikan Ferdy Sambo nanti dapat mengajukan PK, ini juga yang sangat berbahaya. Ferdy Sambo atau keluarganya yang bisa ajukan PK. Kemudian belum lagi grasi yang bisa diajukan berulang kali," bebernya. Selain itu, Kurnia juga menilai bahwa, putusan kasasi MA itu juga membingungkan. Pasalnya, kasasi Ferdy Sambo ditolak, tetapi hukumannya dirubah. "Kasasinya ditolak tapi dirubah hukumannya. Ini menjadi pertanyaan bagi kita apakah betul seperti ini putusan kasasi Mahkamah Agung? Ini juga menjadi pelajaran penting baik kita semua untuk mendapatkan kepastian hukum," tutup Kurnia Zakaria. Sebagaimana diketahui, Mahkamah Agung menganulir hukuman empat pelaku kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Melalui putusan kasasi, MA meringankan vonis mati Ferdy Sambo menjadi penjara seumur hidup. Lalu, hukuman istri Sambo, Putri Candrawathi, dipangkas setengahnya, dari 20 tahun penjara menjadi 10 tahun penjara. Sementara, asisten rumah tangga (ART) Sambo dan Putri, Kuat Ma’ruf, hukumannya dikorting dari 15 tahun menjadi 10 tahun penjara. [caption id="attachment_517864" align="alignnone" width="1000"] Putri Candrawathi (Foto: MI/Aswan)[/caption] Sedangkan hukuman mantan ajudan Sambo, Bripka Ricky Rizal, didiskon dari penjara 13 tahun menjadi 8 tahun. [caption id="attachment_512612" align="alignnone" width="1448"] Terdakwa Ricky Rizal (Foto: MI/Aswan)[/caption] [caption id="attachment_522827" align="alignnone" width="699"] Kuat Ma'ruf (Foto: MI/Plo)[/caption] Terkait ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengaku sudah tidak mempunyai kewenangan untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana mengatakan hal itu berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XXI/2023 tanggal 14 April 2023. [caption id="attachment_549571" align="alignnone" width="780"] Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana (Foto: Istimewa)[/caption] Putusan tersebut menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 30C huruf h Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. “Menggugurkan kewenangan jaksa penuntut umum dalam mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan pengadilan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan hanya bisa diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya,” kata Ketut dalam keterangannya, Rabu (9/8). (Wan)