Apa Kabar RUU Perampasan Aset? Kena Macet Kah?

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 26 September 2023 12:23 WIB
Jakarta, MI - Hingga saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tak kunjung membahas dan mengesahkan Rancanga Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Padahal, Pengesahan RUU Perampasan Aset dinilai sebagai bagian dari upaya berskala besar dalam mengoptimalkan pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana. "Saat RUU Perampasan Aset sudah disahkan menjadi UU, maka negara dapat merampat aset yang diduga hasil tindak pidana tersebut tanpa perlu memidanakan pelaku berdasarkan keputusan pengadilan. Tapi mengapa hingga saat ini DPR tak kunjung dibahas ini hingga mengesahkannya?" ujar pengamat hukum dari Universitas Indonesia (UI) Kurnia Zakaria, Selasa (26/9). "Padahal sudah ada surpres Presiden Jokowi yang juga telah diterima. Atau sibuk kampanye takut kena senjata makan tuannya," tambahnya. Kurnia yang juga kriminolog ini, melihat berbagai praktik di banyak negara maju dengan merampas aset hasil tindak pidana tanpa pemidanaan alias non-convicted based. Artinya, jelas dia, ada aset hasil tindak pidana, aset yang merupakan alat sarana untuk lakukan tindak pidana. "Dan tidak bisa dibuktikan secara sah maka negara bisa memperkarakannya ke pengadilan untuk menegaskan statusnya tersebut,” bebernya. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Omar Sharif Hiariej, pada beberapa waktu lalu mengatakan Indonesia dinilai tertinggal 17 tahun karena tidak kunjung mengesahkan RUU Perampasan Aset. Seharusnya, RUU tersebut telah disahkan sejak Indonesia meratifikai perjanjian internasional dengan diterbitkannya UU No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003. Salah satu poin penting dalam perjanjian internasional tersebut yaitu pemulihan aset dari hasil tindak kejahatan. Menurutnya, dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, perampasan aset tidak didasarkan pada tindak pidana. Dengan kata lain, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang disodorkan pemerintah ke DPR merupakan non-conviction yang berarti tidak ada tindak pidananya maupun putusan pidananya. “Kalau yang ada tindak pidananya sudah ada di UU Tipikor dan UU eksisting. Ini (non-conviction) betul-betul sesuatu yang belum diatur sama sekali,” ujarnya dalam diskusi daring bertema ‘Akselerasi Reformasi Hukum dengan Penyusunan UU Perampasan Aset’ saat itu. Perampasan aset tanpa pemidanaan alias non-convition based asset forfeiture merupakan konsep pengembalian kerugian negara yang kali pertama berkembang di negara penganut sistem hukum common law. Tujuan penerapan asas ini, setidaknya agar upaya perampasan aset hasil tindak pidana seperti korupsi secara maksimal telah dilakukan, serta tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari. Tapi penggunaan asas tersebut terhambat akibat ketiadaan regulasi yang menjadi payung hukum asas tersebut. Ia pun berpendapat, terdapat hambatan dari pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yaitu komitmen dari pembuat kebijakan. Maklum, keberadaan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana sudah digagas sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhyono, namun baruu bergerak maju di era pemerintahan Joko Widodo. “Pada pemerintahan kali ini berkomitmen untuk segera dibahas dan disahkan. Artinya tidak ada keraguan bagi kita bersama dari political will pemerintah,” tukasnya. Senjata Makan Tuan? Belum dibahas dan disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dinilai karena adanya faktor kekhawatiran dari DPR hingga pemerintah. Kehadiran UU itu diyakini bakal jadi senjata makan tuan. "Undang-Undang Perampasan Aset bisa menjadi senjata makan tuan. Sejatinya perampasan aset hanya dilakukan terhadap aset-aset hasil kejahatan. Jadi setiap aset objek perampasan pasti ada riwayat yuridisnya, meskipun pada saat diketahui secara formal sudah menjadi aset yang legal,” ujar Abdul Fickar saat dihubungi Monitorindonesia.com. RUU Perampasan Aset diketahui sudah lewat enam kali sidang paripurna sejak surat perintah presiden (surpres) diserahkan pemerintah. Ini tak ayal ikut mengundang pertanyaan akan keseriusan DPR tentang urgensi pemberantasan korupsi. Padahal, RUU tersebut juga sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023. Aneh, RUU itu hingga saat ini tak kunjung disahkan. “Itu tandanya kekuasaan riil itu ada dikekuatan partai politik, karena itu eksekutif sekelas Presiden saja tidak efektif,” tambah Abdul Fickar. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyatakan sudah berulang kali mendorong agar DPR segera menyelesaikan RUU Perampasan Aset, dalam upaya memudahkan proses penanganan tindak pidana korupsi. “RUU perampasan aset, saya itu sudah mendorong tidak sekali dua kali, sekarang posisinya itu ada di DPR,” kata Jokowi. Sementara itu, Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan Surat Presiden (Surpres) RUU Perampasan Aset belum juga dibacakan dalam rapat paripurna karena pihkanya tengah fokus menggodok RUU yang lain. “Terkait dengan perampasan aset, hari ini Komisi III sedang fokus membahas tiga permasalahan atau RUU yang masih dibahas,” kata Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7). (Wan)

Topik:

Koruptor Ruu perampasan aset