Oknum Anggota BPK Kecipratan Rp 40 Miliar Korupsi BTS Kominfo "Tampar Muka Rakyat"

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 28 September 2023 22:21 WIB
Jakarta, MI - Dugaan oknum anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Sadikin menerima Rp 40 miliar hasil korupsi BTS 4G Bakti Kominfo seakan menampar muka sendiri dan rakyat. Padahal, BPK RI selama ini disebut lembaga yang bersih, karena dia tugasnya adalah melakukan audit laporan pertanggungjawaban penggunaan keuangan negara, justru diduga kecipratan uang triluinan rupiah dari hasil tindak pidana korupsi yang menyeret bekas Menkominfo Johnny G Plate dan kawan-kawannya itu. "Tetapi hari ini, menjadi serasa tertampar muka masyarakat, justru ada oknum yang diduga menerima uang sebesar Rp 40 miliar dari korupsi BTS Kominfo," kata ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof. Mudzakir saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Kamis (28/9) malam. Hal ini, tegas Prof. Mudzakir, semakin meyakinkan bahwa ternyata pengawasan BPK sekarang juga bisa diragukan. "Ini dapat dikatakan bahwa kasus korupsi BTS Kominfo yang ditangani Kejagung dan kemudian diproses ke pengadilan, hanya sebagian kecil saja," ungkapnya. Prof. Mudzakir ragu kepada mereka-mereka yang berani menyuap oknum BPK RI itu tidak akan diproses. "Karena dalam melakukan auidit disusun sedemikian rupa, sehingga audit itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar," lanjutnya. Lebih lanjut, Prof. Mudzakir mengungkapkan bahwa penegakan hukum yang ada di Kominfo ini sebaiknya ditangani secara serius. "Kalau itu benar itu terkait dengan kewenangan-kewenangan itu, ya penyidik pada institusi yang menangani perkara di kominfo ini harus serius gitu, tutup mata, bekerjalah dengan hati nurani," tuturnya. Karena, kata dia, pertama itu adalah pejabat-pejabat Kominfo. Yang kedua adalah pihak pengusaha yang bekerja sama, yang melakukan proyek yang diselenggarakan oleh kominfo. Yang ketiga adalah pejabat-pejabat yang lainnya yang ikut nimbrug dalam proyek BTS Kominfo yang jumlahnya triliunan rupiah. Maka untuk membuat hal ini terang benerang, tegas dia, oknum anggota BPK itu harus diseret ke Pengadilan untuk memberikan kesaksiannya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh saksi mahkota Windy Purnama dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Selasa (26/9) kemarin. Kunci pandoranya menurut dia adalah Sadikin yang akan membuka kembali ini dana yang disetorkan kepada BPK ini. "Mister "S" ini segera untuk dipanggil dan diproses, kalau perlu dibawa ke pengadilan terlebih dahulu untuk dimintai keterangan sebagai saksi dan dia harus fair terbuka lebar-lebarnya, sejujurnya. Sehingga pejabat-pejabat yang terlibat menerimanya sebaiknya harus juga proses semuanya," katanya. Kalau memang oknum anggota BPK itu benar menerima uang haram itu, maka segera mengundurkan diri sehingga BPK RI mempunyai kehormatan yang tinggi, lembaganya bisa bersih, citranya positif," tutup Prof. Mudzakir. Seperti diberitakan bahwa, Direktur Utama (Dirut) Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Anang Achmad Latif memberikan uang Rp 40 miliar kepada seseorang bernama Sadikin yang disebut sebagai perwakilan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI lantaran proyek penyediaan menara base transceiver station (BTS) 4G bermasalah. Hal itu diungkapkan oleh mantan Komisaris PT Solitech Media Sinergy Irwan Hermawan saat dihadirkan oleh jaksa penuntut umum (JPU) sebagai saksi terdakwa eks Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Johnny G Plate; Direktur Utama (Dirut) Bakti Kominfo, Anang Achmad Latif; dan eks Tenaga Ahli Human Development (Hudev) Universitas Indonesia (UI) Yohan Suryanto. Dalam kesaksiannya, Irwan mengungkapkan bahwa uang puluhan miliar itu diberikan Anang kepada Sadikin melalui perantara Direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera, Windi Purnama. JPU pun mencecar Windi tujuan eks Dirut Bakti memberikan uang Rp 40 miliar kepada perwakilan BPK. Namun, Windi mengaku tidak mengetahui secara pasti tujuan uang puluhan miliar itu diberikan kepada Sadikin. "Ini bisa dijawab oleh saksi Windi. Untuk penyerahan uang ke BPK RI dalam hal ini apakah Pak Anang Latif itu menyampaikan apa tujuan atau kepentingan uang Rp 40 miliar untuk diserahkan ke BPK?" tanya jaksa dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (26/9). "Saya tidak tahu, Pak," jawab Windi. Mendengar jawaban itu, jaksa kembali mencecar Windi mengenai perintah Anang untuk memberikan uang kepada oknum perwakilan BPK. Jaksa mencurigai Dirut Bakti itu menginginkan predikat dari BPK. Misalnya, wajar tanpa pengecualian (WTP) atau unqualified opinion, wajar dengan pengecualian (WDP) atau qualified opinion, atau tidak memberikan pendapat (TMT) atau disclaimer opinion. "Pak Windi, pada saat mendapat perintah dari Anang tahu tidak apakah ini untuk mengamankan WDP, WTP atau disclaimer?" tanya jaksa lagi. "Saya tidak tahu," jawab Windi. Lantaran Windi terus mengaku tidak tahu, jaksa pun beralih bertanya kepada Irwan Hermawan perihal tujuan Anang memberikan uang kepada oknum BPK. Meski tidak mengetahui secara pasti alasan pemberian uang itu, Irwan menyebut Anang merasa proyek BTS 4G yang bermasalah ini akan berujung pada audit BPK. "Tidak terlalu detail saya tahu, yang jelas Pak Anang, tapi sedikit ada penyampaian bahwa ini berat dan sebagainya, karena masalah BTS ini," ungkap Irwan. "Ini berat karena ada masalah di BTS?" tanya jaksa. "Iya," jawab Irwan. "Apakah Pak Anang menyampaikan bahwa ada temuan dari BPK mengenai audit terhadap proyek BTS?" tanya jaksa. Irwan lagi-lagi mengaku tidak mengetahui secara pasti apakah ada temuan BPK terkait permasalahan dalam proyek BTS 4G tersebut. "Coba saudara ingat, saya bantu saudara ingat, coba ingat, yang disampaikan Pak Anang?" kata jaksa. "Pada saat karena BTS ini telat, jadi mungkin audit BPK itu dirasa berat," jawab Irwan. "Ada audit itu terasa berat? Memang waktu itu temuannya sudah didapatkan oleh BPK RI?" tanya jaksa. "Saya tidak tahu," kata Irwan Hermawan. Berdasarkan surat dakwaan jaksa, proyek proyek penyediaan menara BTS 4G ini telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 8,032 triliun. (Wan)