Ada Bansos Jokowi saja Rakyat Masih Miskin, Bagaimana dengan Makan Siang Gratis?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 25 April 2024 14:20 WIB
Uji coba program makan siang gratis di Aceh pada Maret 2024 (Foto: MI/Antara)
Uji coba program makan siang gratis di Aceh pada Maret 2024 (Foto: MI/Antara)

Jakarta, MI - Enam bulan jelang pelantikan, skema rinci terkait program makan siang gratis ini masih belum dipaparkan secara jelas kubu Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang pemilihan presiden (Pilpres) 2024.

Hanya saja, Gibran mengatakan skemanya masih dirumuskan. “Ya ini masih kami pikirkan, skema-skema terbaik, ya sekali lagi [agar] tepat sasaran. Menunya baik, proses logistik, distribusinya baik, nanti kami pastikan ke depan seperti apa,” ujar Gibran di Jakarta Utara pada Rabu (24/4/2024), hari penetapan sebagai pemenangan pilpres 2024 oleh KPU.

Program tersebut diharapkan dapat memenuhi gizi anak-anak Indonesia, memperbaiki kualitas sumber daya manusia (SDM) hingga menggerakkan ekonomi nasional dan mendorong kesejahteraan. Bahkan, program ini akan menjadi langkah strategis untuk mengurangi kemiskinan serta ketimpangan ekonomi.

Lantas bagaimana pelaksanaanya?

Anggota dewan pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo menyatakan bahwa pelaksanaan program makan siang gratis pada 2025 akan mengikuti ruang fiskal yang tersedia di Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Secara keseluruhan, ujar dia, program ini membutuhkan anggaran sebesar Rp400 triliun. Namun pada tahun-tahun awal, program ini tidak langsung diterapkan secara penuh. “Tahun 2025 itu akan lebih banyak sebagai pilot project sambil belajar. Karena itu, anggaran yang dibutuhkan mungkin tidak terlalu besar. Tapi saya belum bisa sebut jumlahnya berapa karena kami belum rapat dengan Kementerian Keuangan,” jelas Drajad.

Djajad menjanjikan bahwa program makan siang gratis tidak akan memberatkan APBN dan tidak akan mengganggu program-program yang sudah berjalan. “Dana makan siang gratis itu akan diambil dari tambahan penerimaan negara dan ruang fiskal yang ada,” beber Drajad.

Drajad pun mengaku bahwa pihaknya sudah mulai menyisir sumber-sumber potensial itu. Salah satunya dari perbaikan pengelolaan pajak pertambahan nilai (PPN). Menurutnya, pemungutan PPN digital dapat mengoptimalkan penerimaan negara.

Yang kedua, tambah dia, yang ad hoc itu ada sumber yang seharusnya sudah disetorkan ke negara, tapi tidak disetorkan. 

"Jumlahnya sih cukup besar,” klaim Drajad.

Terpisah, Esther Sri Astuti dari Indef mengatakan program ini memang bisa mengurangi beban harian keluarga miskin dalam jangka pendek. 

Namun klaim bahwa program ini dapat mengurangi kemiskinan, menurut Esther, adalah klaim yang salah. Dia mengatakan dampak dari program makan siang gratis serupa dengan pemberian bantuan sosial. Sifatnya lebih berupa perlindungan sosial, bukan menstimulus pertumbuhan ekonomi.

“Kalau kita lihat data selama 10 tahun terakhir, tingkat kemiskinan itu turun dua persen, padahal bansos digelontorkan sebanyak itu,” beber Esther.

Padahal selama sembilan tahun terakhir, Jokowi telah menggelontorkan bansos senilai Rp3.319,2 triliun. Jika Prabowo-Gibran menargetkan untuk memutus rantai kemiskinan, Esther mengatakan "seharusnya pemerintah memberi kailnya, bukan langsung memberikan ikannya".

Menurut dia, efek jangka panjang dari program ini, akan berbeda jika misalnya pemerintah lebih fokus pada program-program yang dapat memberi stimulus seperti mempermudah akses pendidikan dan membuka lapangan kerja.

Kebijakan ini pun dinilai juga belum tentu sebanding untuk menutupi tekanan biaya hidup dan penurunan daya beli yang dihadapi masyarakat miskin imbas kebijakan pemerintah lainnya. Pemerintah bahkan berencana menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada awal 2025 mendatang, yang menurut Esther akan berdampak terhadap seluruh lapisan masyarakat.

“Kondisi itu justru akan semakin mencekik masyarakat pada saat kondisi perekonomian juga sulit. Pada akhirnya program makan siang gratis ini populis saja, seolah negara hadir,” jelas Esther.

Menimbang kebutuhan anggarannya yang jumbo, Esther pun menyarankan agar program makan siang gratis ditunda sampai situasi ekonomi lebih stabil. Untuk saat ini, Esther mengatakan APBN kian tertekan imbas situasi global dan konflik di sejumlah negara.

Harga minyak melambung dan nilai tukar rupiah menurun. Belakangan ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat telah menembus angka Rp16.000. Jika situasi ini bertahan, ada peluang APBN akan defisit lebih besar. 

Itu karena pemerintah harus mengalokasikan subsidi energi yang lebih besar dari yang diperkirakan demi menjaga daya beli masyarakat. "Itu artinya ruang fiskal yang tersedia akan semakin sempit," tutur Esther.

Sebelumnya, ruang fiskal yang tersedia di APBN disebut sangat sempit. Tanpa program makan siang gratis, APBN 2023 sudah defisit sebesar Rp347,6 triliun. Rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) telah mencapai 38%. Sedangkan rasio pajak selama 10 tahun terakhir cenderung menurun.

Sementara itu, program makan siang gratis apabila telah berjalan penuh membutuhkan anggaran sebesar Rp450 triliun. Itu berarti setara dengan 13,5% dari APBN 2024 yang berjumlah Rp3.325 triliun. Belum lagi pemerintah juga memiliki beban megaproyek seperti Ibu Kota Nusantara.

“Dengan kondisi seperti itu pemerintah semestinya menghemat-hemat anggarannya. Kalau nanti sudah agak leluasa, baru bisa dilaksanakan programnya,” kunci Esther. (wan)