Fatwa MUI: Sembako Tak Boleh Dipajaki, Pajak hanya untuk Kebutuhan Sekunder dan Tersier

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 25 November 2025 2 jam yang lalu
Ilustrasi (Foto: Ist)
Ilustrasi (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan Fatwa Pajak Berkeadilan dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI XI yang digelar akhir pekan lalu. 

Salah satu poin penting menegaskan bahwa barang kebutuhan primer, termasuk sembilan bahan pokok (sembako), tidak boleh dibebani pajak.

Dalam fatwa itu, MUI menegaskan bahwa pengenaan pajak hanya diperbolehkan untuk harta maupun konsumsi yang tergolong kebutuhan sekunder dan tersier. 

Ketua MUI Bidang Fatwa periode 2025-2030, Prof. KH Asrorun Ni'am Sholeh, menekankan bahwa pajak tetap merupakan kewajiban moral dan hukum bagi warga negara selama dijalankan secara adil, transparan, dan berpihak pada kemaslahatan publik.

"Pajak merupakan instrumen pembiayaan negara dalam mewujudkan kesejahteraan. Karena itu, setiap warga negara wajib menaati aturan perpajakan sepanjang dilaksanakan dengan dan untuk kemaslahatan bersama," jelasnya dalam siaran resmi dikutip dari website MUI Pusat, Selasa (25/11/2025).

Dalam ketentuan fatwanya, MUI menegaskan bahwa pajak hanya dapat dikenakan pada harta yang memiliki potensi untuk diproduktifkan atau pada konsumsi yang termasuk kategori kebutuhan sekunder dan tersier (hajiyat dan tahsiniyat).

Sementara itu, barang kebutuhan primer (dharuriyat), terutama sembako, tidak boleh dipajaki, terlebih secara berulang. Bumi dan bangunan yang dihuni untuk kepentingan tempat tinggal juga tidak boleh dikenakan pajak berulang.

MUI juga menekankan bahwa pemungutan pajak yang tidak sejalan dengan prinsip tersebut dihukumi haram. Fatwa tersebut menegaskan bahwa pemerintah berkewajiban mengelola dana pajak secara amanah, profesional, transparan, akuntabel, dan adil.

"Sebab secara syar'i, pajak yang dibayarkan merupakan milik rakyat yang hanya dititipkan kepada negara untuk dikelola," katanya.

MUI menyatakan, penetapan pajak juga harus mempertimbangkan kemampuan wajib pajak. Mereka mendorong evaluasi terhadap tarif pajak progresif yang dianggap terlalu membebani masyarakat. Dalam ketentuan lain, MUI menegaskan zakat yang telah dibayarkan umat Islam dapat menjadi pengurang kewajiban pajak, sesuai regulasi yang berlaku.

Meski membatasi objek pajak, MUI menegaskan bahwa masyarakat tetap wajib mematuhi aturan perpajakan selama sesuai dengan prinsip syariat dan digunakan untuk kepentingan publik.

"Membayar pajak merupakan wujud tanggung jawab warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," ujar Prof Ni'am.

Selain itu, MUI meminta pemerintah dan DPR untuk mengevaluasi aturan perpajakan yang dinilai tidak adil, sekaligus memberantas mafia pajak untuk memastikan manfaat pajak kembali ke masyarakat.

Topik:

pajak fatwa-mui pajak-sembako