Bisakah Indonesia Berperan Lebih Banyak Terkait Palestina?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 13 Januari 2024 17:01 WIB
Warga di Sulawesi Tenggara menuntut gencatan senjata bertepatan 115 hari agresi Israel di Jalur Gaza, Palestina, pada Sabtu (13/1) (Foto: Dok MI)
Warga di Sulawesi Tenggara menuntut gencatan senjata bertepatan 115 hari agresi Israel di Jalur Gaza, Palestina, pada Sabtu (13/1) (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Dosen Hubungan Internasional dari Universitas Katolik Parahyangan, Kishino Bawono, dengan fokus kajian Timur Tengah, posisi Indonesia di peta perpolitikan dunia belum bisa dikatakan middle power (kekuatan menengah) apalagi major power (kekuatan besar).

Hal ini membuat pengaruh Indonesia di mata internasional tidak akan terlalu signifikan dalam konteks menyuarakan isu kemanusiaan di Palestina.

“Tidak heran jika memang kita hanya sibuk dengan pernyataan-pernyataan saja dan pertemuan-pertemuan yang juga menghasilkan pernyataan-pernyataan serta resolusi tanpa realisasi signifikan,” ujarnya, dikutip pada Sabtu (13/1).

Di sisi lain, Kishino menambahkan bahwa Indonesia masih dibebani isu-isu kemanusiaan di negeri seperti ini. Akademisi ini menggarisbawahi kasus kekerasan kepada pengungsi Rohingya di Aceh yang sempat viral pada bulan Desember 2023.

Pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan Indonesia tentang Palestina pun, menurut Kihsino juga akan terasa munafik dengan sempat merebaknya sentimen anti pengungsi Rohingnya di Indonesia beberapa waktu terakhir ini.

“Di satu sisi menyuarakan seruan membela Palestina, tapi kemudian melakukan tindak kekerasan kepada pengungsi Rohingya yang ada di Indonesia,” katanya.

Lalu, tanpa meratifikasi Konvensi Genosida, apakah Indonesia berperan lebih dalam mendukung Palestina?

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan implikasi dari tidak diratifikasinya Konvensi Genosida – dan Statuta Roma – adalah Indonesia semakin kehilangan pijakan untuk berperan secara nyata dalam menangani situasi krisis kemanusiaan di dunia.

Hampir satu juta orang etnis Rohingya melarikan diri dari Myanmar pada 2017 dan sebagian dari mereka menuju Indonesia. Kendati demikian, Teuku Rezasyah, dosen Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran, Bandung, memiliki pendapat lain.

“Konvensi Genosida yang ada hingga saat ini, cenderung memojokkan negara berkembang saja. Tidak mampu menyebut genosida di masa lalu, yang telah dilakukan oleh negara-negara berkebudayaan Eropa, atas wilayah jajahan mereka di Asia, Afrika, dan Latin Amerika,” ujar Rezasyah.

Menurut dia, Indonesia masih bisa melakukan langkah-langkah konkret lainnya seperti mendukung saran Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk memboikot produk yang berhubungan dengan Israel di dalam negeri dan juga menggalang solidaritas Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Gerakan Non-Blok (GNB) di seluruh dunia dalam mendukung Palestina.