Relasi Kuasa dan Ketiadaan Waktu Bhadara E Sulit Pertimbangkan Perintah Ferdy Sambo 

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 26 Desember 2022 22:43 WIB
Jakarta, MI - Selama persidangan lanjutan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Senin (26/12), Ahli Filsafat Moral Romo Franz Magnis Suseno menekankan adanya unsur relasi kuasa dan ketiadaan waktu bagi Bharada E untuk mempertimbangkan keputusannya menembak Brigadir J itu. Namun demikian, Magnis menegaskan bahwa orang yang memerintah untuk melakukan suatu tindak pidana maka dialah yang paling berat pidananya Magnis lantas mengaitkan kasus tersebut dengan kejadian pada zaman Nazi di Jerman. Kata dia, pada saat itu orang-orang kerap menerima perintah dan merasa terancam bila tidak melakukannya. "Dalam pembicaraan mengenai yang terjadi di zaman Nazi, di Jerman. Di mana berulang kali orang melakukan perintah-perintah karena diperintahkan, mungkin dia juga terancam kalau tidak melaksanakan perintah," ungkapnya. Menurut dia, budaya orang yang memberikan perintah kerap kali tidak dididik dan tidak dilatih untuk dapat bertanggung jawab. Mereka hanya tahu memberi perintah tiap saat. Apalagi dalam kasus pembunuhan Brigadir J, Ferdy Sambo selaku orang yang pada berpangkat jenderal bintang dua, memiliki kuasa untuk memberikan perintah kepada Bharada E sekalipun itu perintah jahat. Sementara, Bharada E hanya dapat mematuhi dan bila menolaknya, bakal ada konsekuensi. "Jadi jelas menurut saya jelas tanggung jawab yang memberi perintah itu, jauh lebih besar. Malah katakan saja yang diperintah itu, itu orang kecil, orang kecil biasa melakukan karena dia juga tahu akibatnya buruk kalau tidak melakukannya," tutur ahli filsafat moral itu. Romo Magnis menegaskan Bharada E sulit akan menolak perintah dari atasannya Ferdy Sambo untuk menembak Brigadir J. Lantaran dalam suatu budaya kepolisian atas yang dinamakan, 'Laksanakan'. "Dalam budaya perintah 'laksanakan' berhadapan dengan atasan yang sangat tinggi mungkin ditakuti," ujar Romo. Selain budaya perintah 'laksanakan', posisi Bharada E yang pada saat itu juga merupakan bawahan langsung Sambo, secara psikologis tidak dapat memungkinkan untuk melawan. Walaupun, pada akhirnya menerima perintah, Bharada E ada rasa ragu. "Tetapi sekarang juga lakukan, itu tipe perintah yang amat sulit secara psikologis dilawan, karena siapa dia, mungkin dia orang kecil, jauh di bawah yang memberi perintah sudah biasa laksanakan, meskipun dia ragu-ragu dia bingung," tutur Magnis. Bharada E juga harus mengalami dilema terkait perintah dari atasannya untuk menembak seseorang. Apalagi menembak mati seseorang bukanlah perkara kecil. Pasalnya, hal itu berhubungan dengan posisi anggota polisi yang terikat oleh kewajiban untuk melaksanakan perintah dari atasan, serta normatif yang berlaku di masyarakat. "Dari sudut pandang etika, di situ kita bicarakan dengan sebuah dilema moral. Di satu pihak, harusnya dia tahu bahwa [apa] yang diperintahkan itu tidak boleh diperintahkan," ungkapnya. Menurut Magnis, dalam kondisi tersebut, kejelasan penilaian atas posisi kebersalahan suatu perintah akan cenderung menjadi sulit untuk ditentukan oleh seseorang yang melakukan eksekusi terhadap perintah tadi. "Di satu pihak, menembak sampai mati bukan hal kecil. Setiap orang tahu, dia tahu juga. Di lain pihak, yang memberi perintah itu orang yang juga dalam situasi tertentu malah berat memberi perintah untuk menembak mati," ujarnya. Dengan demikian, secara etika, seseorang yang menerima perintah eksekusi itu akan berada dalam kondisi yang membingungkan baginya. Oleh karena itu, menurut Romo Magnis, seorang eksekutor yang menerima perintah tembak tak semata-mata harus dipersalahkan. "Menurut saya, jangan begitu saja mengutuk atau mempersalahkan dia [secara] objektif, dia salah. Dia [memang] harus melawan, tapi apakah dia bisa mengerti? Dan dalam etika pengertian, kesadaran itu merupakan unsur kunci," pungkasnya. Untuk diketahui, Romo Franz Magnis-Suseno merupakan satu dari tiga orang yang dihadirkan oleh tim kuasa hukum Bharada E dalam persidangan hari ini, Senin (26/12). Sementara itu, dua orang lainnya adalah Ahli Psikologi Klinik Liza Marielly Djaprie dan Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri.