Proses Penegakan Hukum yang Telah Inkracth Pada Kasus Kopi Sianida Berdasarkan Perspektif Hukum Tata Negara

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 9 Oktober 2023 18:10 WIB
Jakarta, MI - Pakar hukum tata negara, Muhammad Rullyandi, menegaskan bahwa proses penegakan hukum dalam kasus kopi sianida dengan hadirnya kekuasaan negara dalam fungsi pelaksanaan penegakan hukum melalui kepolisian dalam hal kewenangan penyidikan, jaksa selaku penuntut umum dan peradilan dalam kekuasaan kehakiman, merupakan bentuk pengakuan prinsip negara hukum yang telah dijamin dalam konstitusi sejak lahirnya UUD 1945. Yang dipertegas dalam bagian penjelasan UUD 1945 sebagai supreme of law yang pada perubahan UUD 1945 terkandung dalam ketentuan Pasal 1 ayat 3, bahwa negara indonesia adalah negara hukum (rechststaat) bukan sebagai negara kekuasaan belaka (machststaat). "Artinya hadirnya organ kekuasaan negara yang menjalankan fungsi penegakan hukum due process of law telah dijamin oleh konstitusi tidak akan sewenang-wenang, baik pada tingkat pemeriksaan di penyidikan, penuntutan dan di peradilan," ujar Rully sapaan akrabnya kepada Monitorindonesia.com, Senin (9/10). Maka dari itu, tegas dia, KUHAP mengatur bahwa proses pembuktian sejak di penyidikan dalam pasal 184 akan diuji di persidangan hingga mendapatkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pada prinsip negara hukum, tambah Rully, maka jaminan kepastian hukum dan keadilan merupakan hakekat yang mendasar sehingga untuk mewujudkan hal tersebut Negara mempersilahkan adanya penghormatan terhadap asas presumption of innocence dalam proses di penyidikan, hingga di peradilan hingga adanya putusan inkracht. "Namun demikian sebaliknya jika telah diputus inkracht maka semua warga negara dan semua organ negara wajib tunduk dan menghormati putusan inkracht tersebut," ungkap Rully. "Sehingga putusan inkracht sesungguhnya sebuah akhir dari proses mencari kebenaran yang sudah diuji pada tingkatan peradilan sesuai hukum acara pidana agar masyarakat dan publik menjadikan pembelajaran hukum yang bertujuan meningkatkan kembali esensi sebuah nilai kesadaran hukum yang berlaku di masyarakat kedepannya," imbuhnya. Diketahui, bahwa asus kopi sianida kembali menggegerkan publik pada 2016 lalu dikupas tuntas oleh Netflix dalam dokumenter Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso. Kasus ini terjadi pada Januari 2016 silam. Semua bermula ketika Mirna bersua tiga teman semasa kuliahnya, yakni Jessica dan Hani, di Kafe Oliver, Grand Indonesia, dalam rangka reuni. Mereka bertiga merupakan alumni Billy Blue College, Australia Tengah. Jessica tiba sebelum pukul 16.00 WIB untuk menghindari kebijakan 3 in 1. Dia pun berinisiatif memesankan minum untuk kedua temannya. Ia memesan dua koktail untuk dirinya dan Hani serta satu es kopi vietnam untuk Mirna. Jessica menunggu kedua temannya itu di meja nomor 54. Setelah pesanan tiba, Mirna dan Hani pun tiba di lokasi. Setelah saling bertegur sapa dengan kedua temannya, Mirna minum seteguk es kopi vietnam yang dipesankan Jessica. Tak lama kemudian, Mirna tiba-tiba mengalami kejang hingga tak sadarkan diri. Sebelum dibawa ke klinik mal, mulut Mirna disebut sempat mengeluarkan buih. Mirna lalu segera dibawa ke Rumah Sakit Abdi Waluyo. Sayangnya, Mirna menghembuskan napas terakhirnya dalam perjalanan. Kasus ini kemudian menjadi ramai diperbincangkan karena dirasa terdapat sejumlah kejanggalan. Keluarga Mirna pun melaporkan perkara ini ke Polsek Metro Tanah Abang. Otopsi pengambilan sampel tubuh pun dilakukan kepolisian sebelum Mirna dikebumikan pada 9 Januari 2016. Beberapa hari kemudian polisi menemukan zat sianida sebesar 3,75 miligram dalam lambung Mirna yang disebut berasal dari es kopi vietnam yang diminumnya. Setelah memeriksa rekaman CCTV dan meminta keterangan para saksi, pada 29 Januari 2016, Jessica pun resmi ditetapkan sebagai tersangka utama dalam kasus ini dengan tuduhan pembunuhan berencana. Pihak Jessica sempat mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada 16 Februari 2016. Kuasa hukum Jessica, Yudi Wibowo, menyebut hal ini dilakukan karena pihaknya merasa penetapan dan penahanan terhadap kliennya tidak sah. Namun, PN Jakarta Pusat menolak permohonan ini pada 1 Maret 2016. Persidangan kasus ini digelar pertama kali pada 15 Juni 2016. Ketika itu polisi meyakini bahwa Mirna meninggal karena sianida. Hal ini karena saat pemeriksaan, selain menemukan 0,2 miligram per liter anion sianida dalam lambung Mirna, tim forensik menyebut ada 7.400 miligram per liter pada sisa minuman kopi Mirna. Setelah melewati 32 kali persidangan dan menghadirkan puluhan saksi di meja pengadilan, Jessica akhirnya dituntut 20 tahun penjara. Dalam tuntutannya, jaksa menyebutkan Jessica diyakini terbukti bersalah meracuni Mirna dengan sianida kadar 5 gram. Racun tersebut dicemplungkan ke dalam kopi Vietnam yang dipesannya untuk Mirna. Jessica disebut menutupi aksinya dengan cara meletakkan 3 kantong kertas di meja nomor 54. Pada 27 Oktober 2016, Jessica Wongso dijatuhi vonis sesuai tuntutan, yakni pidana penjara 20 tahun oleh majelis hakim atas pembunuhan berencana terhadap Wayan Mirna Salihin dengan motif sakit hati karena dinasihati soal asmara. Pihak Jessica bereaksi dengan mengajukan kasasi namun ditolak dan justru diperkuat vonisnya oleh Mahkamah Agung pada 21 Juni 2017. Pihak Jessica kemudian mengajukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (PK). Namun, lagi-lagi upaya hukum itu juga ditolak MA pada 3 Desember 2018. Jessica Wongso pun menjalankan hukuman bui 20 tahun di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur. (An)