Ketua KPK Firli Bahuri Terseret Dugaan Korupsi, Catatan Hitam dalam Sejarah

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 25 November 2023 22:07 WIB
Ketua Barisan Pemantau Kebijakan Publik (BPKP) Hasan Komasarano (Foto: Dok MI)
Ketua Barisan Pemantau Kebijakan Publik (BPKP) Hasan Komasarano (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Publik menyebut penetapan tersangka terhadap Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, sebagai kabar baik bagi upaya pemberantasan korupsi.

Sebab, menurut Ketua Barisan Pemantau Kebijakan Publik (BPKP) Hasan Komasarano, orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi tidak layak memegang jabatan sebagai pimpinan tertinggi di lembaga yang seharusnya menjaga integritas dan moral.

Kendati, Hasan begitu ia disapa Monitorindonesia.com, Sabtu (25/11) menilai bahwa dengan kasus yang menyeret pimpinan lembaga antirasuah tersebut sebagai tersangka dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) memberi catatan hitam dalam sejarah perjalanan bangsa.

"Ini bagian dari kejahatan terhadap negara yang seharusnya tidak boleh terjadi di tubuh lembaga penegak hukum," tegas Hasan.

Dengan kondisi yang terjadi saat ini, lanjut dia, yang melibatkan pimpinan KPK dengan kasus yang menjeratnya, membuat mosi tidak percaya publik terhadap keberadaan KPK itu sendiri yang notabenenya sebagai panglima dalam penberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.

"Selama ini lembaga KPK menjadi tumpuan harapan rakyat yang melakukan tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi di negeri yang kita cintai ini," katanya.

"Dan juga telah menorehkan beberapa prestasi pencapaian kinerja walaupun tidak sedikit orang memberi respons negatif atas kinerja dari KPK itu sendiri," imbuhnya.

Sebelum Firli Bahuri, ada empat pimpinan yang bersatus tersangka. Yaitu Bibit Samad Riyanto, Chandra Hamzah, Bambang Widjojanto, dan Abraham Samad.

Meskipun mereka tersangka tapi oleh publik dianggap sebagai pahlawan lantaran muncul dugaan adanya rekayasa kasus. Tapi mereka berbeda dengan Firli, yang menurutnya sedari awal punya masalah integritas.

Dikatakannya bahwa, integritas Firli Bahuri jauh di bawah standar yang harusnya dibutuhkan sebagai pimpinan dan situasi ini membuat citra KPK hancur dan harapan pemberantasan korupsi mengalami kemunduran.

"Rekam jejak Firli saat menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK pada 2018 melakukan sejumlah pelanggaran kode etik karena bertemu dan menjemput saksi yang berperkara dengan KPK. Kemudian penggunaan helikopter dari perusahaan swasta dalam kunjungan pribadi," demikian pemuda asal Sualwesi Tenggara ini.

Sebagaimana diketahui, bahwa Presiden  Joko Widodo atau Jokowi telah menandatangani Keppres pemberhentian sementara Firli dari posisi Ketua KPK dan menunjuk Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango sebagai pengganti.

"Presiden Joko Widodo telah menandatangani Keppres Pemberhentian Sementara Ketua KPK Firli Bahuri, sekaligus menetapkan Nawawi Pomolango sebagai Ketua Sementara KPK," kata Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, Jumat (24/11) malam.

Sementara itu, Direktur Reskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Ade Safri Simanjuntak menjelaskan Firli Bahuri dicegah ke luar negeri selama 20 hari ke depan.

"Penyidik telah membuat surat dan telah diterima, ditujukan kepada Dirjen Imigrasi Kemenkumham terkait dengan permohonan pencegahan ke LN atas nama FB selaku ketua KPK RI," kata Ade Safri kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (24/11).

Dalam kasus ini, Firli Bahuri dijerat dengan pasal tiga pasal yakni Pasal 12e, atau Pasal 12B, atau Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 65 KUHP yang terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya sekitar tahun 2020 sampai dengan tahun 2023.  

Adapun ancaman hukuman dalam Pasal 12e dan Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor, pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Sedangkan, Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor, ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun penjara, serta denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.