Eks Ketua KPK Ngaku Diminta Jokowi Setop Kasus Setya Novanto, DPR: Betapa Kuatnya Pemerintah Intervensi Penegak Hukum!

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 1 Desember 2023 11:53 WIB
Anggota Komisi II DPR, Mardani Ali Sera (Foto: MI/An)
Anggota Komisi II DPR, Mardani Ali Sera (Foto: MI/An)
Jakarat, MI - Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Mardani Ali Sera menyoroti pengakuan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Raharjo yang pernah dipanggil dan diminta Presiden Joko Widodo untuk menghentikan kasus korupsi E-KTP yang menjerat Setya Novanto (Setnov).

Mardani Ali Sera yang mengaku kaget dengan pengakuan Ketua KPK periode 2015 - 2019 itu, menilai betapa kuatnya pemerintah mengintervensi lembaga penegak hukum.

"Kaget saya baca dan lihat pengakuan mas Agus Rahardjo, betapa intervensi pemerintah terhadap lembaga penegak hukum sangat kuat. Padahal smangat pemberantasan korupsi jadi prioritas negeri ini," ujar Mardani Ali Sera dalam unggahannya di media sosial (Medsos) X (Twitter) seperti dikutip Monitorindonesia.com, Jum'at (1/12).

Untuk itu, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini berharap agar penegakkan hukum ditegakkan pada jalurnya. "Perubahan harus terlaksana agar hukum kembali tegak pada jalurnya yang kuat untuk NKRI berdaulat," tandasnya.

Diketahui, bahwa Setnov saat itu menjabat sebagai Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar, salah satu parpol pendukung Jokowi. Ia diumumkan menjadi tersangka oleh KPK pada 17 Juli 2017 lalu.

Sebelum mengungkapkan peristiwa itu, Agus menyampaikan permintaan maaf dan merasa semua hal harus jelas. “Saya pikir kan baru sekali ini saya mengungkapkannya di media yang kemudian ditonton orang banyak,” kata Agus.

“Saya terus terang, waktu kasus e-KTP saya dipanggil sendirian oleh presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara),” sambung Agus. 

Saat itu, Agus merasa heran karena biasanya presiden memanggil lima pimpinan KPK sekaligus. Namun, kala itu dipanggil seorang diri. Ia juga diminta masuk ke Istana tidak melalui ruang wartawan melainkan jalur masjid. 

Ketika memasuki ruang pertemuan, Agus mendapati Jokowi sudah marah. Ia pun heran dan tidak mengerti maksud Jokowi. Setelah duduk ia baru memahami bahwa Jokowi meminta kasus yang menjerat Setnov disetop KPK. 

“Presiden sudah marah menginginkan, karena baru masuk itu beliau sudah ngomong, ‘hentikan!’. Kan saya heran, yang dihentikan apanya? Setelah saya duduk ternyata saya baru tahu kalau yang (Jokowi) suruh hentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov,” beber Agus. 

Namun, Agus menolak perintah Jokowi. Sebab, Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) kasus E-KTP dengan dengan tersangka Setnov sudah terbit tiga minggu sebelumnya. 

Sementara, saat itu dalam aturan hukum di KPK tidak ada mekanisme Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). “Saya bicara apa adanya saja bahwa Sprindik sudah saya keluarkan tiga minggu yang lalu di KPK itu enggak ada SP3, enggak mungkin saya memberhentikan itu,” kata Agus. 

Merespons itu, Jokowi kemudian bertanya kepada Pratikno mengenai apa itu Sprindik. “Sprindik itu apa to?” ucap Agus menirukan Jokowi. 

Pertemuan itu tidak menghasilkan apa-apa karena Agus menolak perintah itu. Agus melanjutkan, beberapa waktu setelah kejadian itu, Undang-Undang KPK direvisi. Ketika masa revisi, lembaga antirasuah diserang buzzer dan dituding jadi sarang taliban atau radikalis. 

Hal itu membuat dukungan ke KPK begitu kurang. Setelah direvisi, KPK memiliki mekanisme SP3. 

Agus pun merenungkan dan menduga revisi UU KPK tidak terlepas karena keinginan penguasa mengendalikan lembaga tersebut. “Itu salah satu yang setelah kejadian revisi UU KPK kemudian menjadi perenungan saya, oh ternyata (penguasa) pengin KPK itu bisa diperintah-perintah,” jelas Agus. 

Adapun E-KTP merupakan salah satu megaproyek yang dikorupsi rama-ramai. Berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), negara rugi Rp 2,3 triliun.  Setya Novanto pun akhirnya divonis 15 tahun penjara dalam kasus korupsi E-KTP itu. 

Sementara itu, Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana enggan berkomentar apakah Presiden Jokowi memang pernah memerintahkan Agus menghentikan kasus E-KTP yang menjerat Setya Novanto pada 2017 lalu. 

Ia hanya meminta publik untuk melihat proses hukum Setya Novanto yang terus berjalan sampai tingkat pengadilan. 

"Kita lihat saja apa kenyataannya yang terjadi. Kenyataannya, proses hukum terhadap Setya Novanto terus berjalan pada tahun 2017 dan sudah ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap," kata Ari.

Terkait revisi UU KPK yang turut disinggung Agus Rahardjo, Ari pun menegaskan bahwa langkah itu merupakan inisiatif DPR. "Perlu diperjelas bahwa Revisi UU KPK pada tahun 2019 itu inisiatif DPR, bukan inisiatif pemerintah, dan terjadi dua tahun setelah penetapan tersangka Setya Novanto," tandasnya. (LA)