Skandal Bank Jateng Seret Ganjar, Semua Hal Perlu Diketahui soal Gratifikasi

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 6 Maret 2024 20:11 WIB
Ilustrasi pemberian hadiah (Gratifikasi) (Foto: MI/Net/Ist)
Ilustrasi pemberian hadiah (Gratifikasi) (Foto: MI/Net/Ist)

Jakarta, MI - Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso melaporkan mantan Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo ke Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK terkait dugaan penerimaan gratifikasi dari Bank BPD Jateng.

Dalam laporan yang diterima KPK, gratifikasi diterima oleh mantan Direktur Utama Bank Jateng berinisial S. Dan IPW menuduh Ganjar sebagai penerima aliran dana tersebut. Ganjar telah membantah tuduhan itu, sementara KPK akan menelaah.

Ihwal gratifikasi itu disebut berasal dari perusahaan-perusahaan asuransi yang memberikan pertanggungan jaminan kredit di Bank Jateng. Uang yang diterima disebut sebesar 16 persen dari nilai premi.

Ada tiga pihak yang diduga menerima duit tersebut. Ganjar disebut menerima 5,5 persen atas aliran dana tersebut. Uang itu disebut masuk karena Ganjar merupakan pengendali Bank Jateng. 

Menurut Sugeng, penerimaan uang itu berlangsung dari 2014 sampai 2023. Dana yang sudah diterima Ganjar ditaksir mencapai Rp100 miliar.

Soal gratifikasi, masih banyak masyarakat yang belum paham. Bahkan pembaca setia Monitorindonesia.com turut mempertanyakan maksud gratifikasi yang diduga menyeret capres nomor urut 03 itu. 

Untuk itu Monitorindonesia.com mencoba menjelaskan lewat berita ini. Simak!!!

Gartifikasi itu dalah pemberian hadiah atau imbalan dalam bentuk apapun kepada seseorang yang melakukan tindakan positif atau memberikan keuntungan tertentu. 

Praktik gratifikasi ini sudah lazim di beberapa bidang, seperti dalam dunia bisnis, pemerintahan, atau sektor publik. Walaupun sering kali terjadi di lingkungan profesional, gratifikasi sebenarnya dapat melibatkan siapa saja. 

Hal ini dapat memengaruhi integritas dan objektivitas seseorang dalam menjalankan tugasnya.

Gratifikasi dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa contoh gratifikasi termasuk memberi uang, barang berharga, tiket liburan, atau fasilitas lainnya kepada seseorang. 

Pemberian ini biasanya bertujuan untuk mendapatkan jasa, perlindungan, pertimbangan khusus, atau layanan yang lebih baik. Oleh karena itu, gratifikasi sering kali dianggap sebagai upaya korupsi atau tindakan penyuapan.

Untuk mengatasi praktik gratifikasi, pemerintah mengeluarkan peraturan dan sanksi yang ketat. Sanksi gratifikasi dapat bervariasi, mulai dari sanksi administratif hingga tindakan pidana, seperti hukuman penjara, denda, atau pencabutan hak-hak tertentu.

Dalam UU 31/1999 dan UU 20/2001 Pasal 12, menjelaskan bahwa gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas. Pemberian yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Sementara gratifikasi digunakan dalam konteks pemberian yang diterima oleh PNS atau penyelenggara negara dapat merujuk pada UU No. 20/2001, bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Kendati, gratifikasi juga dapat dianggap sebagai suap bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Kriteria gratifikasi yang dilarang adalah gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan. Penerimaan tersebut dilarang oleh peraturan yang berlaku, bertentangan dengan kode etik, memiliki konflik kepentingan atau merupakan penerimaan yang tidak patut/tidak wajar.

PNS atau penyelenggara negara yang sering menerima gratifikasi terlarang akan terjerumus pada tindak korupsi lain seperti suap dan pemerasan. Ini membuat gratifikasi dianggap sebagai akar dari korupsi. (wan)