Ahli Psikologi Forensik Menyoal Kasus Sekeluarga Bunuh Diri di Apartemen Penjaringan

Tim Redaksi
Tim Redaksi
Diperbarui 17 Maret 2024 14:24 WIB
TKP bunuh diri satu keluarga-Apartemen Penjaringan, Jakarta Utara (Foto: MI/Aswan)
TKP bunuh diri satu keluarga-Apartemen Penjaringan, Jakarta Utara (Foto: MI/Aswan)

Jakarta, MI - Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri, mengatakan kejadian empat orang anggota keluarga yang bunuh diri di apartemen Penjaringan, Jakarta Utara, tidak bisa disebut bunuh diri sekeluarga karena tidak dapat dipastikan bahwa setiap orang melakukannya secara konsensual.

Sebab, dalam kasus ini, perlu dipertimbangkan bahwa terdapat dua orang anak yang masih di usia remaja.

“Dalam situasi apa pun, anak-anak secara universal harus dipandang tidak memiliki kecukupan kapasitas mental berupa keinginan dan tidak mungkin pula memberikan persetujuan atau kesepakatan bagi aksi bunuh diri,“ ujar Reza kepada wartawan, Minggu (17/3/2024).

Reza menjelaskan bahwa dalam sudut pandang hukum, anak menjadi korban karena mereka tidak bisa memberikan persetujuan murni pada tindakan bunuh diri. Sama halnya dengan posisi anak dalam kasus kekerasan seksual.

“Karena tidak konsensual, maka anak-anak itu harus disikapi sebagai manusia yang tidak berkehendak dan tidak bersepakat, melainkan dipaksa untuk melakukan aksi ekstrim tersebut,“ ungkapnya.

Oleh karena itu, Reza mengatakan kasus itu masuk ke ranah pidana dan melanggar pasal 340 dalam KUHP, yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam dengan pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun,“ seperti tertulis dalam pasal tersebut.

Namun, polisi tidak bisa memrosesnya lebih lanjut karena Indonesia tidak mengenal posthumous trial atau proses pidana terhadap pelaku yang sudah mati.

Lebih lanjut, ia menilai kasus tewasnya satu keluarga akibat bunuh diri dan pembunuhan tidak cukup jika hanya ditinjau sebagai masalah individu per individu yang ditangani lewat pendekatan klinis.

Dengan kata lain, sambungnya, penyikapan terhadap kasus-kasus tersebut tidak memadai jika akhirnya hanya menghasilkan rekomendasi terapi atau penanganan individual.

Melainkan, ia merasa perlu ada pendalaman lebih terkait kegagalan pemerintah dalam menjamin adanya pengamanan sosial bagi anak-anak dari keluarga yang sedang kesulitan dalam menghadapi berbagai situasi.

“Peristiwa bunuh diri dan pembunuhan serupa sudah saatnya memanggil paksa pemerintah untuk hadir. Anggaplah ayah bunda diterpa masalah yang amat pelik. Saking peliknya, sampai-sampai kedua orangtua sudah memikirkan langkah tragis sebagai "jalan keluar".