Deretan Kasus Korupsi Seret Oknum BPK - Pius Lustrilanang Lolos dari Kasus Suap Pj Bupati Sorong Yan Piet?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 16 Mei 2024 00:41 WIB
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) VI Pius Lustrilanang (Foto: Dok MI)
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) VI Pius Lustrilanang (Foto: Dok MI)
Jakarta, MI - Beberapa kali oknum anggota BPK, maupun pegawai BPK hingga auditornya itu menjadi tersangka korupsi. Biasanya menerima suap atau gratifikasi dari audit dengan tujuan untuk mempengaruhi hasil audit itu sendiri.

Praktik suap yang dilakukan oleh oknum dilingkungan BPK nyata, dimana telah melakukan kejahatan yang melekat dengan kedudukan atau jabatannya  yang bertentangan dengan kewajibannya, kata Azmi Syahputra, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki).

Ini jelas, tambah Azmi, fungsi auditor BPK yang melekat dan strategis kok digunakan untuk perilaku bagai "bandit merajalela "dan karenanya perilaku  culas begini harus diberantas habis. 

"Sungguh miris dan memalukan tindakan dan perbuatan oknum pegawai BPK ini," ujar Azmi saat dihubungi Monitorindonesia.com, Rabu (15/5/2024) malam.

Suap maupun pemerasan terkait laporan audit, itu terstruktur mulai dari tim pemeriksa, pengendali teknis, penanggungjawab dan anggota. 

Jadi siapapun yang melakukan pemerasan atau menerima suap atas jabatannya dan menerima penyuapan termasuk bagi pejabat yang membiarkan, masuk dalam kualifikasi bersama-sama dalam permufakatan jahat dan harus Ikut bertanggung Jawab secara hukum.

"Karenanya harus segera diperiksa semua pihak- pihak dimaksud," Azmi menandaskan.

Ia pun mendesak BPK untuk segera berbenah agar tak ada lagi anggota mereka yang terjerumus dalam pusaran kasus korupsi. Bukan tanpa alasan Azmi menyorot hal itu, soalnya BPK kini kembali menjadi sorotan sebagai lembaga yang seharusnya memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. 

BPK tersorot usai Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Sesditjen PSP) Kementerian Pertanian (Kementan), Hermanto mengungkapkan, adanya setoran demi kementeriannya mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). 

Bahkan, Hermanto menyebutkan bahwa oknum auditor BPK meminta uang Rp 12 miliar. Tetapi, hanya diberikan Rp 5 miliar. 

Belakangan, sejumlah pejabat BPK dari tingkat pusat sampai daerah memang kerap tersangkut kasus dugaan korupsi. Anggota III BPK, Achsanul Qosasi, misalnya. 

Dia didakwa menerima uang sebesar 2,6 juta dollar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp 40 miliar. 'Liciknya', dia menyimpang uang tersebut di rumah khusus di Kawasan Kemang, Jakarta Selatan (Jaksel).

Uang itu disebut untuk mengkondisikan temuan BPK dalam proyek penyediaan infrastruktur base transceiver station (BTS) 4G yang dikelola oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).

Selain itu, ada juga ada aliran uang sebesar Rp 1,1 miliar yang berasal dari dugaan korupsi tunjangan kinerja (Tukin) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ke Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Robertus Kresnawan. Dan kasus lainnya.

Kendati, masih ada oknum anggota BPK yang disebut-sebut lolos dalam dugaan rasuah, tak lain adalah Anggota IV BPK RI Pius Lustrilanang. Nama Pius ini sempat terseret di kasus dugaan suap Penjabat (Pj) Bupati Sorong Yan Piet Mosso.

Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK sempat menyegel ruang kerja Pius di kantor BPK usai menggelar OTT di Sorong, Papua Barat Daya. 

Meski sempat dua mangkir, Pius sudah menjalani pemeriksaan di kantor KPK pada 1 Desember 2023.

Saat itu, Pius diperiksa sebagai saksi dalam dugaan korupsi berupa suap pengondisian temuan pemeriksaan BPK di Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat Daya dengan Tersangka eks Pj Bupati Sorong Yan Piet Mosso dan kawan-kawannya.

Yakni, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Sorong Efer Sigidifat; dan Staf BPKAD Kabupaten Sorong Maniel Syatfle sebagai tersangka. 

Kemudian, Kepala Perwakilan BPK Provinsi Papua Barat Patrice Lumumba Sihombing; Kasubaud BPK Provinsi Papua Barat Abu Hanifa; dan Ketua Tim Pemeriksa David Patasaung turut dijerat KPK. 

Konstruksi kasus tersebut berawal saat BPK hendak melakukan pemeriksaan laporan keuangan Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya. Salah satu pimpinan BPK menerbitkan surat tugas untuk melakukan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) yang lingkup pemeriksaannya di luar keuangan dan pemeriksaan kinerja. 

Dari hasil temuan pemeriksaan PDTT di Provinsi Papua Barat Daya, khususnya di Kabupaten Sorong, diperoleh beberapa laporan keuangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. 

Atas temuan dimaksud, sekitar Agustus 2023, mulai terjalin rangkaian komunikasi antara Efer Segidifat dan Maniel Syatfle, sebagai representasi dari Yan Mosso, dengan Abu Hanifa dan David Patasaung yang juga sebagai representasi dari Patrice. 

Dalam komunikasi tersebut, direncanakan akan dilakukan pemberian sejumlah uang agar temuan dari tim pemeriksa BPK menjadi tidak ada. Penyerahan uang dilakukan secara bertahap dengan lokasi yang berpindah-pindah, di antaranya suatu hotel di Sorong. 

Fakta persidangan
Dalam sidang lanjutan kasus ini di Pengadilan Tipikor Manokwari pada Selasa (30/4/2024) lalu, lima auditor BPK Perwakilan Papua Barat dan Kepala Kesekretariatan BPK Papua Barat Kasman Alwi dihadirkan turut dihadirkan. 

Mereka terungkap bagi-bagi uang di dalam kamar hotel ketua tim pemeriksa (auditor) David Patasaung. Uang tunai yang diberikan David Patasaung kepada lima auditor BPK Papua Barat setelah kegiatan selesai itu berkisar antara Rp75 juta hingga Rp80 Juta.

Keenam saksi yang dihadirkan, selain Kasman Alwi adalah lima auditor, yaitu Faradilah Sudirman; Ardiansyah; Nurul Adiyati Rahma; Arlina Jakob; dan Rescie Pratama Batti. 

Mereka mengungkapkan pemberian uang tunai dari David Patasaung. Dugaan bagi-bagi uang itu dilakukan di Hotel Mamberamo Sorong dan terjadi setelah dilakukan ‘exit meeting’ pemeriksaan bantuan sosial (Bansos) pada Pemerintah Kabupaten Sorong. 

Kelima saksi mengakui menerima uang di kamar hotel David Patasaung.

Faradilah, pemeriksa di BPK yang masuk dalam tim auditor pemeriksa Bansos di Kabupaten Sorong, Papua Barat mengaku menerima uang setelah ‘eksit meeting’ siang hari. “Saya ditelepon disuruh ke kamar dan siap-siap ke kamar sebentar, lalu dikasih uang Rp80 juta di kantong plastik warna hitam,” kata Faradilah saat ditanya Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK.

Faradilah bertugas sebagai anggota tim pemeriksa belanja modal di Pemkab Sorong. Dalam pemeriksaan tersebut, ia menemukan 49 temuan, namun ketua tim hanya memasukkan 20 temuan ke dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK.

Sedangkan saksi Ardiansyah mengaku menerima uang tunai Rp75 juta setelah dihubungi David untuk menghadap ke kamarnya.  Begitu juga dengan saksi Nurul yang menerima Rp75 juta, saksi Arina Jakob menerima Rp75 Juta dan Rp 20 juta, serta Resky Pratama yang menerima Rp80 juta.

David juga meminta Resky Pratama agar turun ke halaman parkir hotel membawa ransel. Kemudian ia dan David memasukkan uang tunai di dalam mobil Fortuner dan membawanya ke kamar hotel David.

Saat ditanya oleh kuasa hukum eks Kepala BPK Papua Barat terhadap kelima saksi saat menerima uang tunai dari David, serentak mereka menjawab bingung dan takut ketika menerima uang itu. Namun kelimanya tetap mengambil uang tersebut hingga terjadi OTT (Operasi Tangkap Tangan) oleh KPK terhadap pimpinan BOK dan Penjabat Bupati Sorong.

Setelah menerima uang, para pemeriksa itu kembali ke Manokwari, kemudian mendapat kabar adanya siaran pers dari KPK mengenai operasi tangkap tangan. Selang beberapa hari, tim KPK menggeledah mes tempat tinggal mereka di Manokwari berikut menyita sejumlah uang yang diberikan David kepada mereka.

Namun ada juga yang menyetor kembali uang tersebut kas Daerah Pemkab Sorong serta ada yang mengembalikan ke tim audit internal BPK. Adapun proses pemeriksaan Dana Hibah di Pemkab Sorong terjadwal selama 53 hari oleh tim yang dipimpin David Patasaung.

Kelima auditor ditugaskan berdasarkan surat tugas untuk melakukan pemeriksaan di sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD). “Sebelum memulai pemeriksaan entry meeting bersama tim dan sejumlah OPD terkait untuk memperkenalkan tim pemeriksa BPK dan juga kebutuhan data yang akan dilakukan pemeriksaan,” kata Faradilah yang dibenarkan empat saksi lainya.

Faradilah bertugas memeriksa belanja modal dengan objek pemeriksaan di Dinas Perhubungan, Dinas Kesehatan, dan Dinas Pendidikan. “Temuan sekitar 49 pekerjaan yang berkaitan dengan kekurangan volume, kekurangan pembayaran pemeriksaan dilakukan sekitar tanggal 20 September 2023. Setelah itu dilaporkan kepada Ketua Tim,” katanya.

Dari 49 temuan dari Faradilah, hanya 20 item yang dimasukan ke dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) sebagai hasil temuan. Meski demikian, 49 temuan oleh Faradilah dilaporkan kepada Ketua Tim. 

“Setelah saya hitung saya laporkan ke Pak David, ketua tim,” katanya mengonfirmasi pertanyaan JPU.

Ardiansyah dalam keterangan mengaku bahwa sebagai auditor BPK ia telah diberikan fasilitas dari negara, berupa uang harian dan fasilitas transportasi.

Sementara Nurul mengaku ia bertugas melakukan pemeriksaan belanja Hibah di 12 dinas yang ada di Kabupaten Sorong.

Beberapa di antaranya adalah Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Perindagkop, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, serta Dinas PUPR. “Dari 12 dinas hanya 10 yang dicek, sedangkan dua dinas belanja hibah belum dicairkan waktu itu,” kata Nurul.

Teknis kerjanya adalah menerima dokumen, kemudian melakukan konfirmasi dan wawancara secara sampel.

Rekening penampungan dan biaya ulang tahun Pius Lustrilanang
Kehadiran Kepala Kesekretariatan BPK Papua Barat Kasman Alwi untuk memberi keterangan seputar transferan sejumlah uang dari tim pemeriksa ke rekening yang disebut sebagai rekening Penampungan.

Kasman Alwi yang bukan tim pemeriksa di Kabupaten Sorong itu mengakui terdapat uang Rp15 juta ditransfer dari pemeriksa di Sorong untuk keperluan biaya ulang tahun pimpinan bernama Pius Lustrilanang, Tim BPK Wilayah VI.

“Uang masuk ke rekening penampungan untuk biaya ulang tahun pimpinan,” jelas Kasman saat ditanya uang 15 juta yang ditransfer oleh Faradilah.

Kasman pun mengakui terdapat sejumlah uang yang digunakan di rekening penampungan untuk biaya perjalanan ke Purwokerto dalam rangka menghadiri undangan pengukuhan Guru Besar di Universitas Jendreal Sudirman. “Untuk kebutuhan makan minum dan akomodasi di sana (Purwokerto),” katanya saa ditanya uang sekitar Rp20 juta yang dikirim ke rekening penampungan.

Kendati demikian, Kasman menyebut rekening penampungan yang dibuat terkait dengan duit sisa kegiatan-kegiatan di Kantor BPK.

Deretan kasus korupsi yang menyeret oknum BPK

1. Aliran dana dari Kementan 
Dalam sidang kasus dugaan pemerasan dan penerimaan gratifikasi di lingkungan Kementan dengan terdakwa mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL), terungkap soal aliran dana ke BPK sebesar Rp 5 miliar untuk bisa mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Sesditjen PSP Kementan Permanto yang dihadirkan sebagai saksi mengatakan, ada oknum auditor BPK meminta uang Rp 12 miliar untuk mendapatkan WTP. 

Sebab, opini ini terhambat akibat adanya temuan di program lumbung pangan nasional atau food estate. Namun, Hermanto mengaku, tidak mengetahui apakah Kementan langsung memenuhi permintaan tersebut atau tidak. 

Hanya saja, dia mengatakan, berdasarkan informasi yang diperoleh dari eks Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan, Muhammad Hatta, Kementan hanya memberi Rp 5 miliar. 

“Enggak, kita tidak penuhi. Saya dengar tidak dipenuhi. Saya dengar mungkin (kalau) enggak salah sekitar Rp 5 miliar,” kata Hermanto dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Rabu (8/5/2024). 

Kepada Jaksa, Hermanto mengaku tidak mengetahui secara detail penyerahan uang miliaran ke BPK tersebut. Hanya saja, oknum auditor BPK itu kerap menagih sisa permintaan yang tidak dipenuhi Kementan. 

Dalam perkara ini, Jaksa KPK menduga SYL menerima uang sebesar Rp 44,5 miliar hasil memeras anak buah dan Direktorat di Kementan untuk kepentingan pribadi dan keluarga. 

2. Proyek fiktif demi setoran BPK dalam kasus Tol MBZ
Direktur Operasional Waskita Beton Precast Sugiharto juga mengakui, dirinya pernah menyiapkan uang sebesar Rp 10 miliar untuk memenuhi permintaan dari BPK RI. 

Hal itu diungkap Sugiharto saat dihadirkan Jaksa pada Kejaksaan Agung sebagai saksi dalam sidang dugaan korupsi proyek pembangunan Jalan Tol Sheikh Mohammed bin Zayed (MBZ) Jakarta-Cikampek (Japek) II Elevated Ruas Cikunir-Karawang Barat. 

Proyek fiktif ini terungkap saat Jaksa mengkonfirmasi berita acara pemeriksaan (BAP) Sugiharto yang mengungkap adanya permintaan uang miliaran dari BPK. 

"Di BAP saudara ada ditanya terkait proyek fiktif. Ditanya oleh penyidik apakah ada proyek fiktif terkait pelaksanaan Tol Japek ini? Bisa dijelaskan?" kata Jaksa dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (14/5/2024). 

Di hadapan Majelis Hakim, Sugiharto menyampaikan, permintaan BPK terjadi setelah menemukan banyak masalah dalam proyek pembangunan Jalan Tol MBZ. Untuk memenuhi permintaan itu, ia pun membuat sejumlah proyek fiktif saat menjabat sebagai Super Vice President (SPV) Infrastruktur 2 Waskita. 

"Apa pekerjaan fiktifnya?" tanya Jaksa mendalami. "Pekerjaan fiktifnya itu untuk pekerjaan, karena pekerjaan sudah 100 persen, (pekerjaan fiktifnya) hanya pemeliharaan, hanya patching-patching (menambal) saja, pak. Itu kecil saja," kata Sugiharto. 

"Berapa nilainya?" cecar Jaksa. "Rp 10,5 miliar," kata Sugiharto. 

Di muka persidangan, Sugiharto menjelaskan bahwa dirinya dipanggil bersama sejumlah Waskita Beton Precast dipanggil untuk dijelaskan adanya permintaan BPK. 

Dari pertemuan itu, disepakati pembuatan proyek fiktif untuk memenuhi permintaan BPK tersebut. "Akhirnya dibuatkanlah dokumen seolah-olah ada pekerjaan Rp 10,5 miliar itu?" timpal Jaksa. “Iya, betul Pak,” kata Sugiharto. 

Dalam perkara ini, Jaksa menduga telah terjadi kerugian keuangan negara sebesar Rp 510 miliar dalam proyek pekerjaan pembangunan Jalan Tol MBZ tersebut.

3. Anggota III BPK Achsanul Qosasi tersangka
Achsanul Qosasi didakwa telah menerima uang sebesar 2,6 juta dollar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp 40 miliar untuk mengkondisikan temuan BPK dalam proyek penyediaan infrastruktur BTS 4G yang dikelola oleh Bakti Kemenkominfo. 

“Menguntungkan terdakwa Achanul Qosasi sebesar 2.640.000 USD atau sebesar Rp 40.000.000.000,” kata Jaksa KPK dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta pada 7 Maret 2024. 

Jaksa menjelaskan, uang itu diterima Achsanul dari Direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera, Windi Purnama yang bersumber dari Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, Galumbang Menak Simanjuntak. 

Galumbang memberikan uang kepada Achsanul berdasarkan perintah dari mantan Direktur Utama Bakti Kemenkominfo Anang Achmad Latif. “Dengan maksud supaya terdakwa Achsanul Qosasi membantu pemeriksaan pekerjaan BTS 4G 2021 yang dilaksanakan oleh Bakti Kemenkominfo supaya mendapatkan hasil Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan tidak menemukan Kerugian negara dalam pelaksaan Proyek BTS 4G 2021,” kata Jaksa. 

Berdasarkan surat dakwaan, Anang disebut memberikan uang ke Achanul lantaran ketakutan atas Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) Belanja Modal TA 2021 untuk Kementerian Kominfo. 

Achanul pun memanggil Anang untuk ke ruangannya di Kantor BPK Slipi. Di situ, Anang diminta menyiapkan uang Rp 40 miliar. 

Setelahnya, Anang Achmad Latif menelepon Irwan Hermawan dan Windi Purnama untuk menyiapkan Rp 40 miliar yang diberikan kepada seseorang bernama Sadikin Rusli di Hotel Grand Hyatt Jakarta. 

Atas perbuatannya, Achsanul Qosasi didakwa melanggar Pasal 12 huruf e, Pasal 5 Ayat 2, Pasal 12 B dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

4. Korupsi Tukin di Kementerian ESDM 
Dalam surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terungkap bahwa ada aliran uang sebesar Rp 1,1 miliar yang berasal dari dugaan korupsi tunjangan kinerja (Tukin) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ke Auditor BPK RI, Robertus Kresnawan. 

Terkait kasus ini, para terdakwa disebut telah mencairkan dana Ditjen Minerba Kementerian ESDM yang berasal dari tunjangan kinerja tahun anggran 2020-2022 yang tidak terserap. 

Diketahui, ada sepuluh terdakwa kasus dugaan korupsi Tukin Kementerian ESDM. Antara lain, Subbagian Perbendaharaan, Priyo Andi Gularso; pejabat pembuat komitmen (PPK), Novian Hari Subagio; dan staf PPK, Lernhard Febian Sirait. 

Kemudian, Bendahara Pengeluaran bernama Abdullah; Bendahara Pengeluaran, Christa Handayani Pangaribowo; dan PPK Haryat Prasetyo. Selanjutnya, Operator SPM, Beni Arianto; Penguji Tagihan, Hendi; PPABP, Rokhmat Annasikhah; serta Pelaksana Verifikasi dan Perekaman Akuntansi, Maria Febri Valentine. 

“Bahwa di persidangan terungkap fakta adanya pemberian uang dari terdakwa Lernhard Febian Sirait kepada auditor BPK Robertus Kresnawan,” kata Jaksa KPK dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta pada 29 April 2024.

Fakta adanya aliran uang miliaran rupiah ke aditor BPK itu diperoleh dari alat bukti berupa keterangan Robertus Kresnawan, Priyo Andi Gularso, Yayat Ruhiyat dan Ismawati. 

Keterangan mengenai adanya aliran uang untuk BPK ini berkesesuaian dengan keterangan Novian Hari Subagio dan Lernhard Febian Sirait. 

“Bahwa dari uang manipulasi tunjangan kinerja yang diperoleh terdakwa Lernhard Febian Sirait ada yang diserahkan kepada Auditor BPK Robertus Kresnawan agar dapat mengamankan pemeriksaan BPK yang keseluruhannya berjumlah Rp 1.135.000.000,” ungkap Jaksa KPK. 

Dalam kasus ini, 10 terdakwa telah dijatuhi hukuman. Adalah Lernhard Febrian Sirait dengan lama masa pidana badan selama enam tahun. Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 12,4 miliar Priyo Andi Gularso dengan lama masa pidana badan selama lima tahun. 

Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 5,5 miliar Abdullah dengan lama masa pidana badan selama dua tahun. 

Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 355,4 juta Christa Handayani Pangaribowo dengan lama masa pidana badan selama tiga tahun. Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 2,5 miliar Rokhmat Annashikhah dengan lama masa pidana badan selama dua tahun. 

Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 1,2 miliar Beni Arianto dengan lama masa pidana badan selama tiga tahun. Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 1,6 miliar Hendi dengan lama masa pidana badan selama dua tahun. 

Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 679,9 juta Haryat Prasetyo dengan lama masa pidana badan selama dua tahun. Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 963,5 juta Maria Febri Valentine dengan lama masa pidana badan selama dua tahun. 

Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 805,7 juta Novian Hari Subagio dengan lama masa pidana badan selama tiga tahun. Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 1 miliar. 

Sepuluh pegawai Direktorat Jenderal Mineral Batubara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM itu diduga melakukan korupsi uang tukin sebesar Rp 27,6 miliar. 

Jumlah kerugian negara Rp 27,6 miliar akibat mark up uang tukin itu diperoleh berdasarkan audit perhitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). 

Sepuluh pegawai Kementerian ESDM itu terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

5. Suap jalur kereja di DJKA
Aliran dana kepada oknum BPK juga terkuak dalam kasus dugaan suap proyek jalur kereta di Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA). 

Penyidik KPK menduga, ada pemberian uang dan pengkondisian temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bahkan, KPK menyatakan, satu orang dari BPK telah ditetapkan sebagai tersangka. 

Tetapi, identitasnya belum diungkap ke publik. Dugaan ini pun didalami ketika memeriksa empat aparatur sipil negara (ASN) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta pada 22 Februari 2024. 

Mereka adalah Yunanda, Achyar Pasaribu, Zulkarnain dan Anton Aprianto. 

“Para saksi dikonfirmasi antara lain kaitan beberapa proyek pekerjaan yang ada di DJKA Kemenhub yang diduga ada pemberian uang berupa fee dan pengondisian hasil audit BPK atas pengadaan tersebut,” kata Juru Bicara KPK Ali Fikri pada 23 Februari 2024.

Selain itu, KPK telah memeriksa Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemenhub Novie Riyanto sebagai saksi pada 18 Januari 2024. Dia diperiksa untuk mendalami dugaan pengondisian temuan BPK terkait proyek di DJKA. 

"Dikonfirmasi terhadap saksi atas dugaan adanya pengaturan para pemenang lelang, termasuk pengondisian temuan audit BPK," kata Ali pada 22 Januari 2024. 

Terkait perkara ini, KPK total telah menetapkan 14 orang tersangka, termasuk dua tersangka baru yang salah satunya berasal dari BPK. Tujuh tersangka yang masih diproses di KPK, yakni Direktur PT Istana Putra Agung Dion Renato Sugiarto; Direktur Prasarana Perkeretaapian Harno Trimadi; dan PPK Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Jawa Bagian Tengah, Bernard Hasibuan. 

Kemudian, Kepala BTP Jawa Bagian Tengah, Putu Sumarjaya; PPK BTP Jawa Bagian Barat, Syntho Pirjani Hutabarat; PPK Balai Pengelola Kereta Api (BPKA) Sulawesi Selatan, Achmad Affandi; dan PPK Perawatan Prasarana Perkeretaapian, Fadilansyah.

6. Kasus suap Pj Bupati Sorong 
Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa kasus yang berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) pada 12 November 2023. Kasus ini sempat menyeret nama Anggota IV BPK RI Pius Lustrilanang itu. Namun hingga saat ini tak diketahui rimbanya dugaan keterlibatan Pius di kasus itu.

7. Korupsi Bupati nonaktif Kepulauan Meranti, Muhammad Adil 
Dalam kasus dugaan korupsi Bupati nonaktif Kepulauan Meranti Muhammad Adil, KPK menyebut ada dugaan suap kepada BPK perwakilan Riau. 

Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, suap yang dilakukan Adil bertujuan agar hasil pemeriksaan keuangan Pemerintah Kabunpaten (Pemkab) Kepulauan Meranti mendapat status baik. 

Alex menjelaskan, suap kepada BPK itu berawal dari Adil yang menerima uang sejumlah sekitar Rp1,4 Miliar dari PT Tanur Muthmainnah pada Desember 2022. 

PT Tanur Muthmainnah sendiri merupakan perusahaan travel perjalanan umroh. "Adapun penerimaan uang tersebut melalui Fitria Nengsih (Kepala BPKAD Meranti yang juga orang kepercayaan Adil)," ujar Alex dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta pada 7 April 2023. 

Uang itu diberikan karena Adil memenangkan PT Travel Muthmainnah untuk proyek pemberangkatan umroh bagi para Takmir Masjid di Kabupaten Kepulauan Meranti. 

“Lalu, agar proses pemeriksaan keuangan Pemkab Kepulauan Meranti pada 2022 mendapatkan predikat baik sehingga nantinya memperoleh wajar tanpa pengecualian (WTP), Adil dan Fitri memberikan uang sejumlah sekitar Rp 1,1 liliar pada M Fahmi Aressa selaku Ketua Tim Pemeriksa BPK Perwakilan Riau," kata Alex. 

KPK kemudian menetapkan Adil, Fitria dan Fahmi masing-masing sebagai tersangka pemberi dan penerima suap. Kemudian, pada 15 Mei 2023, KPK diketahui meminta Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mencegah 10 orang terkait dugaan korupsi ini. 

Terbaru, Auditor BPK Perwakilan Riau Muhammad Fahmi Aressa mengaku telah menerima uang Rp 1 miliar dari Bupati Kepulauan Meranti nonaktif Muhammad Adil. 

Hal itu diakuinya saat bersaksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor Pekanbaru pada 15 November 2023. Sementara itu, Muhammad Adil divonis sembilan tahun penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri Pekanbaru pada 21 Desember 2023. 

"Terdakwa Muhammad Adil terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi, dengan ini menjatuhkan hukuman sembilan tahun penjara. Serta, menjatuhkan denda Rp 600 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, akan diganti dengan penjara enam bulan," kata Hakim Ketua, M Arif Nurhayat. 

Selain itu, majelis hakim juga meminta Adil untuk mengembalikan uang pengganti sebesar Rp 17 miliar.

Penting diingat, bahwa pengawasan terhadap BPK dan aktivitas para pegawainya masih sangat minim. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab praktik jual beli predikat WTP untuk laporan keuangan kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah. 

Dugaan penyalahgunaan wewenang dan jual-beli opini marak terutama karena desain pengawasannya minim. Problem lain adalah makin tergerusnya integritas pegawai BPK.

Maka dari itu, perlunya evaluasi menyeluruh di BPK, mulai dari proses rekrutmen anggota hingga skema audit keuangannya.

Pakar hukum tindak pidana pencucian uang (TPPU) Yenti Garnasih mendesak klarifikari semua yang dapat WTP. "Jangan-jangan abal-abal, rakyat dibohongi lagi," kata Yenti saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Rabu (15/5/2024) malam.

"Kita sedang krisis kepercayaan, morally corrupt yang semakin menggila, rasa malu yang menipis, suka pamer, kurang pengawasan dan rekruitmennya, bisa jadi karena terafiliasi parpol. Sepertinya di Indonesia ini sangat dikuasai oleh dinamika politik yang menggerus hukum," demikian Yenti Garnasih. (wan)