Kamaruddin Simanjuntak: Tanpa 70% Aset Disita Kejagung, Omong Kosong Kerugian Negara Korupsi Timah Rp 271 Triliun!

Tim Redaksi
Tim Redaksi
Diperbarui 1 Mei 2024 12:54 WIB
Kamaruddin Simanjuntak saat memberikan keterangan pers pada rekonstruksi kasus Brigadir J di Jaksel (Foto: MI/Aswan)
Kamaruddin Simanjuntak saat memberikan keterangan pers pada rekonstruksi kasus Brigadir J di Jaksel (Foto: MI/Aswan)

Jakarta, MI - Pakar hukum pidana, Kamaruddin Simanjuntak menyoroti kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2022. Yakni menyentuh Rp 271 triliun, namun disebutkan sebagai kerugian lingkungan dalam kasus ini.

Awalnya, Kamaruddin Simanjuntak meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) agar menelusuri soal pembuatan perjanjian tersebut hingga sejumlah barang milik Sandra Dewi terkait dengan kasus dugaan korupsi timah Rp 271 triliun menyeret suaminya Harvey Moeis.

Pasalnya, di tengah penelusuran aset milik Harvey Moeis, Harris Arthur Hendar menyebut kliennya itu telah membuat perjanjian pranikah berupa pisah harta sebelum menikah dengan artis Sandra Dewi pada November 2016 lalu.

"Untuk mengetahui itu apakah perjanjian itu dibuat apa tidak, pada saat pernikahan atau setelah menikat tahun 2016. Kemudian apakah perjanjian itu sah apa tidak, maka harus tahu kita oleh notarisnya apa. Kemudian jenis perjanjian atau akta itu kan ada tiga akta. Apakah termasuk akta ini termasuk legalisasi atau waarmeking itu juga harus ditelusuri lagi," kata Kamaruddin Simanjuntak dalam sebuah wawancara ditukil Monitorindonesia.com, Rabu (1/5/2024).

Menurut mantan kuasa hukum Brigair Yosua (J) ini, jika memang benar ada perjanjian pranikah tersebut, maka perbuatan suami tidak melibatkan istri. "Namun sepanjang ada perjanjian pranikah dan benar adanya tahun 2016, berarti perbuatan suami adalah perbuatan suami tidak melibatkan istri," beber Kammarudin.

Namun jika ada Sandra Dewi diberi hadiah yang diketahui dari hasil korupsi, maka tetap harus disita. "Tetapi pemberian kepada istri apakah itu mobil, pesawat, dan sebagainya. Sepanjang itu perolehannya dari korupsi adalah tetap harus disita. Karena itu adalah objek korupsi. Termasuk hadiah pernikahan atau rumah apapun namanya itu. Sepanjang diperoleh berdasarkan harta korupsi, itu juga disita untuk negara gitu," katanya.

Adapun Kejagung telah menyita satu per satu aset milik Harvey Moeis. Kamaruddin menegaskan bahwa penyidik gedung bundar Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung agar membuktikan sesuai soal nilai korupsinya yang menyentuh angka Rp271 triliun itu.

"Betul begini kalau kita dengar kerugian negara kan 271 triliun, sementara yang disita oleh Jaksa Agung belum ada 1 triliun berarti kan belum ada 1 persen. Kita bicara 10 persen dulu deh minimal, 10 persen disita dari Rp271 triliun. Kalau tanpa 70% disita oleh jaksa Agung itu omong kosong itu kerugian negara 271 triliun. Maka apabila itu disita benar 10%, maka kita akui bahwa negara memang rugi 271 triliun gitu loh," kata Kamaruddin menandaskan.

Sebagaimana diberitakan, bahwa nilai kerugian lingkungan kasus itu berdasarkan perhitungan ahli forensik lingkungan IPB dan disebut-sebut masuk kerugian negara. Namun, terjadi perdebatan yang mencuat yakni kerugian lingkungan tidak serta merta dipahami sebagai kerugian negara.

Pasalnya, dalam konteks tipikor atau pidana korupsi, yang berhak menghitung dan menetapkan kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas permintaan penyidik, bisa Kejagung, Tipikor Bareskrim atau KPK. 

Sedangkan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) hanya berwenang melakukan pemeriksaan dan audit. Terkait kerugian negara tetap wewenang konstitusional pada BPK.

Patut dipertanyakan posisi atau status akademisi asal IPB tersebut. Apakah ahli forensik lingkungan bagian dari BPK atau lembaga audit negara seperti BPKP atau bagian penyidik semisal KPK. Bila perhitungan kerusakan lingkungan sebagai pintu masuk untuk melihat kerugian negara terkait tindak pidana lingkungan.

Berdasarkan catatan Kejagung, kerugian ekologis yang disebabkan dari kasus korupsi itu mencapai Rp271 triliun. Nilai itu berasal dari hitungan pakar dari IPB Bambang Hero Saharjo, yang digaet Kejagung sebagai ahli dalam kasus ini.

Dari hasil perhitungannya, ia menemukan bahwa kasus ini memberikan kerugian ekologis atau kerusakan lingkungan senilai Rp271.069.688.018.700.

"Seperti saya sampaikan pada saat paparan di Kejagung beberapa waktu lalu, bahwa nilai kerugian sebesar Rp271.069.688.018.700," ujar Bambang.

Angka itu terdiri dari dari kerugian lingkungan (ekologis) Rp157.832.395.501.025; Kerugian Ekonomi Lingkungan Rp60.276.600.800.000, dan Biaya Pemulihan Lingkungan Rp5.257.249.726.025.

Bambang, yang beberapa kali digugat korporasi sawit pembakar lahan, menjelaskan biaya kerugian ekologis dihitung merujuk Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014.

Dalam aturan ini, Biaya Kerugian Lingkungan atau Ekologis meliputi Biaya Menghidupkan Fungsi Tata Air; Biaya Pengaturan Tata Air; Biaya Pengendalian Erosi dan Limpasan; Biaya Pembentukan Tanah; Biaya Pendaur Ulang Unsur Hara; Biaya Fungsi Pengurai Limbah; Biaya Biodiversiti (Keanekaragaman hayati); Biaya Sumberdaya Genetik; dan Biaya Pelepasan Karbon.

Ketentuan tersebut juga mensyaratkan lokasi tambang timah harus rusak agar perhitungan kerugian lingkungan dapat dilakukan. "Saat kami melakukan verifikasi lapangan kami mengambil sampel pada lokasi yang telah dibuka yang kemudian dibuatkan berita acara pengambilan sampel oleh penyidik kemudian penyidik sendiri yang membawa sampel tersebut ke laboratorium, dan kemudian hasilnya baru di share kepada kami sebagai ahli," tutur Bambang.

"Karena hasil analisa lab menyatakan bahwa lokasi yang telah dibuka itu rusak maka proses perhitungan bisa dilakukan," tambahnya.

Spesialis forensik api ini menyebut data terkait letak, luas, dan koordinat dari lokasi setiap perusahaan didapatkannya dari penyidik. Berdasarkan data-data tersebut, Bambang dan tim melakukan rekonstruksi kejadian sejak 2015 hingga 2022 dengan menggunakan citra satelit. Citra satelit menunjukkan kondisi awal tambang pada 2015, dan kondisi tahun-tahun berikutnya hingga 2022.

"Berdasarkan citra satelit yang kami pantau setiap tahunnya, kami tahu berapa luas bukaan/galian setiap tahun, kearah mana pergerakan bukaan/galian tersebut, termasuk ketika mereka membuka tambangnya telah melewati batas IUP yang mereka miliki," jelasnya.

Bambang juga memastikan apakah tambang yang dibuka termasuk dalam kawasan hutan atau tidak dengan menggunakan data tutupan lahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Berdasarkan data tersebut, ia menemukan tambang yang sudah dibuka/digali tersebut ditemukan di kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi, Taman Hutan Raya, Taman Nasional, dengan total luasan 75.345,751 hektare. Sementara, luas galian non kawasan hutan adalah 95.017,313 hektare, sehingga totalnya adalah 170.363,064 hektare.

Menurut total luas galian tambang 170.363,064 hektare tersebut, maka terdapat Luas galian yang memiliki IUP yaitu 88.900,462 hektare dan Luas galian Non IUP seluas 81.462,602 hektare.

Berikut rincian kerugian akibat tambang timah berdasarkan lokasinya:

1. Di dalam kawasan hutan

- Kerugian lingkungan: Rp 157,83 triliun
- Kerugian ekonomi lingkungan: Rp60,27 triliun
- Biaya pemulihan lingkungan: Rp5,26 triliun

2. Di luar kawasan hutan

- Kerugian lingkungan: Rp 25,87 triliun
- Kerugian ekonomi lingkungan: Rp15,2 triliun
- Biaya pemulihan lingkungan: Rp6,63 triliun

Peran 21 tersangka korupsi timah

Sejauh ini Kejagung telah menyeret 21 tersangka. Selengkapnya klik di sini

(wan)