Ekspor Gelap Nikel ke China, Siapa Benar, Siapa Salah?

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 18 September 2023 00:44 WIB
Jakarta, MI - Terdapat perbedaan presepsi antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal dugaan ekspor gelap nikel Kalsel ke China oleh PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO). Siapa benar, siapa salah? Pasalnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan tengah menindaklanjuti hasil kajian KPK terkait dengan temuan ekspor 5,3 juta ton nikel ke China. Dia menyebut kementeriannya masih menginvestigasi dan menghitung temuan KPK yang bersumber dari data Bea Cukai China itu. Sementara Kedeputian Pencegahan dan Monitoring KPK memastikan bahwa temuan ekspor jutaan ton nikel ke Negeri Panda itu bukan merupakan suatu penyelundupan. Adapun temuan ekspor 5,3 juta ore nikel ke China itu diduga terjadi selama Januari 2020 hingga Juni 2022. [caption id="attachment_566465" align="alignnone" width="707"] Ilustrasi Nikel (Foto: ist)[/caption] Perbedaan presepsi ini tentunya menjadi tadanya tanya, ada apa dengan kedua lembaga tersebut. Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai hal ini aneh, jika lembaga antirasuah itu tidak mempecayai ESDM. "Ini gila. Patut dicurigai insan-insan penyelidik," kata Abdul Fickar kepada wartawan, Minggu (17/9). Abdul Fikar mencuriga lembaga yang dipimpin oleh Firli Bahuri itu bermain dengan perusahaan pengekspor barang itu. Sehingga, menurut dia, bisa saja membuat pernyataan dini seperti itu. [caption id="attachment_561670" align="alignnone" width="709"] Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar (Foto: Doc Pribadi)[/caption] KPK memang mengklaim bawa SILO mengekspor 5,3 ton bijih besi ke China. Namun ketika sampai di sana, baru diketahui ada kandungan nikel. Kadarnya antara 0,5 hingga 0,9 persen. Dalam hal ini dapat dikatakan, KPK menyimpulkan bahwa nikel itu tak sengaja terkirim lantaran tertempel di besi. Abdul Fickar lantas mempertanyakan siapa benar dan salah? Sekalipun asumsi KPK benar, tetap ada kerugian negara sekitar Rp14 miliar. "Tanpa pretensi menuduh, para pimpinan KPK wajib dicurigai telah bekerja tidak profesional. Karena tak mau atau sengaja menampik data resmi dari ESDM," pungkasnya. Kementerian ESDM Vs KPK Sebelumnya, KPK menindaklanjuti temuan tersebut dengan membentuk rekomendasi perbaikan kebijakan bersama Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Ditjen Bea Cukai Kemenkeu, serta PT Sucofindo sebagai surveyor. Namun demikian, berbeda dengan KPK, Arifin menilai ekspor 5,3 juta ton nikel tersebut merupakan praktik penggelapan. Hal tersebut kendati temuan KPK bahwa nikel Indonesia yang ditemukan di China itu bukan merupakan penyelundupan. "Tetapi memang kan tidak boleh ekspor besi isinya nikel. Itu penggelapan. Nilainya kan lain [antara besi dan nikel]," terang Arifin di kantor Kementerian ESDM, Jumat (15/9) kemarin. [caption id="attachment_533114" align="alignnone" width="702"] Menteri ESDM Arifin Tasrif (Foto: MI/Aswan)[/caption] Kementerian ESDM saat ini tengah menginvestigasi, menghitung, dan menginventarisasi terkait dengan temuan ekspor nikel ke China itu. Seperti diketahui, pemerintah Indonesia memang telah melarang ekspor nikel sejak 2020 guna mendorong penghiliran di dalam negeri. "Kita masih menginvestigasi, lagi dihitung. Kita tuh harus menginventarisasi lagi nih, benar tidak [temuan ekspor nikel ke China]. Kita lagi pendataan internal," bebernya. Sementara itu, Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengatakan bahwa pengiriman ore nikel ke China sebagaimana temuan Satuan Tugas (Satgas) Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V KPK bukan merupakan penyelundupan. "Penyelundupan itu kan barang tidak boleh keluar, [lalu] dikeluarkan. Kalau ini enggak," jelasnya saat ditemui di Gedung ACLC KPK belum lama ini. Pengiriman ore nikel ke China itu, jelas Pahala, berasal dari perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) besi bernama PT Sebuku Iron Lateritic Ores atau SILO di Kalimantan Selatan. Perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan itu mengekspor besi salah satunya ke China. Berdasarkan laporan surveyor yang didapatkan KPK, Pahala menyebut terdapat 84 kali pengiriman komoditas besi dari SILO ke China. Pengiriman itu dilihat dari bill of lading atau surat tanda terima barang yang telah muat dalam kapal angkut. Usai Satgas Korsup V Wilayah KPK mengungkap temuan 5,3 juta ton ore nikel Indonesia diekspor ke China 2020-2022, Pahala pun meminta data bill of lading dari Bea Cukai China terkait dengan pengiriman besi itu. Dari 84 kali pengiriman besi ke Negeri Panda, hanya 73 data bill of lading yang diberikan oleh pihak China. Kemudian, sebanyak 63 dari 73 bill of lading itu menunjukkan terdapat nikel yang "menempel" di besi dengan rata-rata kadar 0,9 persen. "Jadi, 63 pengiriman [besi] yang ada nikelnya di atas 0,5 persen dihitung di China sebagai nikel. Dilihat orang Indonesia, berarti ada ekspor nikel, padahal nikel yang [menempel] bareng besi," tuturnya. Pahala menjelaskan perbedaan asumsi itu berangkat dari perbedaan regulasi yang diterapkan di dua negara. Di Indonesia, lanjutnya, eksportir hanya bisa memperoleh royalti terhadap komoditas yang didaftarkan sebagaimana IUP yang dimiliki. Dalam kasus PT SILO, perusahaan itu hanya memiliki IUP untuk komoditas besi. [caption id="attachment_556177" align="alignnone" width="716"] Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan (Foto: MI/Rekha)[/caption] Oleh karena itu, surveyor pun hanya akan mencatat komoditas yang bakal diekspor sesuai dengan IUP dari pihak eksportir. Sementara itu, otoritas di China menganggap bahwa nikel dengan kadar 0,5 persen, kendati menempel dengan komoditas/mineral lain, dihitung sebagai nikel dengan HS code yang sama. "Menurut Indonesia, kalau IUP-nya [perusahaan eksportir] besi, ya hitung besi saja. Sampai di China, lain lagi, kalau kadar nikel 0,5 persen ke atas itu kodenya [HS code] 26040000, nikel dia," ungkap Pahala. Adapun KPK menemukan potensi selisih nilai ekspor ore nikel tersebut senilai Rp41 miliar, berdasarkan 63 bill of lading yang didapatkan. Angka tersebut ditemukan dari royalti yang berpotensi didapatkan oleh eksportir, PT SILO, apabila ore nikel yang terkirim ke China itu diakui sebagaimana regulasi di Indonesia. Namun demikian, Pahala menegaskan bahwa adanya nikel dalam 63 bill of lading ekspor besi ke China itu tak bisa dikenakan royalti. Untuk itu, KPK langsung merekomendasikan perbaikan regulasi agar mineral utama yang diekspor dan "yang menempel dengannya" bisa sama-sama dikenakan royalti, walaupun dalam kadar yang rendah. Dengan demikian, konsekuensinya PT SILO pun tidak mendapatkan royalti dari ore nikel tersebut. "Kita cepat-cepat tulis rekomendasi perbaikan. Yang ideal, apabila kirim besi ada [kadar] nikelnya, kenakan [royalti] saja dua-duanya. Iya dong. Baru untung," demikian Pahala. (An)