Alex Denni Hilir Mudik Duduki Jabatan saat Buron! Tanda Tanya Besar di KemenPANRB dan BUMN

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 31 Juli 2024 3 jam yang lalu
Yang bikin kening publik kian berkerut heran, selama ini Alex Denni tak tampak berusaha menyembunyikan diri.  Paling tidak, Alex tetap mengisi akun yang ia miliki di Linkedin. Ia juga tergolong rajin melaporkan harta kekayaannya sebagai pejabat negara, setiap tahun. Pada 2022 lalu, Alex melaporkan total kekayaan sebesar Rp 25 miliar. (Foto: Dok MI/Aswan)
Yang bikin kening publik kian berkerut heran, selama ini Alex Denni tak tampak berusaha menyembunyikan diri. Paling tidak, Alex tetap mengisi akun yang ia miliki di Linkedin. Ia juga tergolong rajin melaporkan harta kekayaannya sebagai pejabat negara, setiap tahun. Pada 2022 lalu, Alex melaporkan total kekayaan sebesar Rp 25 miliar. (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Bukan mendekam di penjara 1 tahun, Alex Denni justru hilir mudik menduduki jabatan bergengsi di Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB).

Proses penerimaan Alex Denni sebagai Deputi SDM di KemenPAN-RB pun kini masih menjadi tanda tanya besar. Pasalnya, menurut peraturan yang berlaku, Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Madya di bidang pengelolaan aparatur negara tidak dapat diisi oleh non-PNS, sehingga penerimaan Alex Denni menimbulkan kontroversi. 

Dalam Pasal 106 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) tentang Manajemen PNS secara tegas menyatakan bahwa posisi JPT Madya harus diisi oleh PNS.
Selain itu, masyarakat juga mempertanyakan legalitas hukum Alex Denni sebagai Deputi dengan statusnya sebagai terpidana.

Keabsahan pengambilan keputusan oleh Alex Denni selama menjabat sebagai Deputi SDM KemenPAN-RB juga dipertanyakan, mengingat status hukumnya yang telah diputus bersalah.

Sementara Menteri BUMN Erick Thohir melantik Deputi Sumber Daya Manusia Kementerian BUMN Alex Deni pada Selasa (3/3/2020). Erik juga melantik Staf Ahli bidang Implementasi Kebijakan Strategis Kementerian BUMN Warih Sadono kala itu. Keduanya saat itu resmi sebagai Pejabat Pimpinan Tinggi Madya atau setingkat Eselon I. 

Pelantikan ini dilaksanakan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 33/TPA Tahun 2020 tentang Pengangkatan Pejabat Pimpinan Tinggi Madya di Lingkungan Kementerian Badan Usaha Milik Negara, serta Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 34/TPA Tahun 2020 tentang Pengangkatan Dalam Jabatan Pimpinan Tinggi Madya di Lingkungan Kementerian Badan Usaha Milik Negara tanggal 30 Januari 2020, sebagai tindak lanjut dari Penetapan Hasil Seleksi Terbuka Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Madya di lingkungan Kementerian BUMN yang telah diumumkan pada 22 Januari 2020.

Berdasarkan catatan Monitorindonesia.com, Alex Denni juga setidaknya sempat menjabat sebagai Komisaris PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (2022); Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) dan Tranformasi (Human Capital & Transformation) PT Jasa Marga (2018-2020); Chief Human Capital Officer PT Bank Negara Indonesia (BNI) (2016-2018); Chief Transformation Officer Dharma Satya Nusantara Group (2014-2016) dan Senior VP Human Capital Strategy and Policy Group PT Bank Mandiri (2013).

Jika dihubungkan dengan sekian banyak jabatan di pemerintahan  dan perusahaan BUMN yang pernah Alex Denni emban, apa saja kerja lembaga-lembaga yang terkait proses seleksi ketat dan penelusuran rekam jejak sebelum seseorang bisa memangku satu jabatan publik? 

Jelas, bahwa Peraturan Presiden Nomor 177 Tahun 2014 Tentang Tim Penilai Akhir, Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Dalam dan Dari Jabatan Pimpinan Tinggi Utama dan Pimpinan Tinggi Madya, menegaskan pelibatan Sekretaris Kabinet, Tim Penilai Akhir, dan Badan Intelijen Negara dalam mencari dan menilai rekam jejak seseorang. 

Lantas, mengapa Alex Denni baru ditangkap petugas 11 tahun kemudian, setelah terpidana begitu santuy berkarir di sekian banyak BUMN? 

“Faktanya kami baru menerima (salinan putusan kasasi) April dan langsung kami tindak lanjuti dengan pemanggilan dan pencarian, sampai akhirnya diterbitkan Surat Pencekalan. Hasil akhirnya adalah penangkapan beliau  di Bandara Soekarno Hatta Jakarta," begitu kata Kepala Seksi Intelijen Kejari Kota Bandung, Wawan Setiawan.

Alex Denni merupakan terpidana perkara korupsi proyek di PT Telkom sejak 2013, baru dieksekusi tahun 2024 ini. Padahal, putusan kasasinya di keluarkan atau ditanda tangani pada tanggal 14 November 2013.

Tetapi,Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar menyatakan bahwa, untuk melakukan eksekusi, harus ada salinan putusan persidangan terlebih dahulu. 

“Karena untuk melaksanakan eksekusi harus ada salinan putusannya. Kapan diterima oleh jaksa?” kata Harli ketika ditemui di kantornya, Jakarta Selatan, Kamis (25/7/2024).

Dengan adanya kendala tersebut, kata Harli, hal ini menjadi bahan evaluasi Kejaksaan Agung dalam memproses kasus-kasus ke depan. “Pertanyaannya memang, apakah selama ini jaksa yang bersangkutan pernah menelusuri putusan ini? Ini bahan evaluasi yang kami lakukan,” tuturnya.

Kendati demikian, Harli mengatakan bahwa hal ini seharusnya diapresiasi terlebih dahulu. “Kenapa apresiasi? Karena 11 tahun dia tidak nampak bisa kami tangkap dan kami tahan. Karena kalau tidak, aparat penegak hukum ini bisa mati lemas terus. Ini bentuk kita melawan kejahatan," katanya.

Dia juga tidak ingin menuding pihak mana pun soal alasan Alex Denni belum dieksekusi hingga 11 tahun. “Tidak menyatakan bahwa kami artinya tidak ada sesuatu masalah, ini bahan refleksi bagi kami,” jelas Harli. 

Sementara itu, menurut peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman, ada potensi maladministrasi dalam peristiwa ini.

"Perkara Alex Denni ini harus jadi evaluasi bagi kejaksaan dan MA. Kenapa? Karena ada sebuah perkara salinan putusan kasasi baru dikirim 11 tahun kemudian berarti di sini kemudian ada potensi maladministrasi saya melihatnya," kata Zaenur, Senin (22/7/2024).

Zaenur mempertanyakan apakah ini terjadi karena berkas hilang, tercecer, atau karena kejadian lain. "Menurut saya ini perlu dilakukan evaluasi internal MA, juga di internal kejaksaan. Mengapa sebuah perkara bisa 11 tahun untuk pengiriman salinan putusan gitu ya," katanya.

Akibat keterlambatan ini maka terjadi keadilan yang tertunda, keadilan yang tertolak. Apalagi Alex Denni sampai menduduki sejumlah jabatan penting.

"Seseorang itu sampai menduduki jabatan penting karena meskipun sudah divonis bersalah tidak segera dieksekusi hanya karena salinan putusan tidak segera dikirimkan," katanya.

Padahal semua sudah ada standar operasional prosedurnya. Contohnya proses persidangan kasasi maksimal 250 hari. Tentu, batas waktu penyampaian salinan harus ada dan harus dipatuhi.

Untuk mencegah hal ini, Pukat berharap MA terus meningkatkan kualitas layanan. Selain itu harus dilakukan evaluasi. "Apakah ini human error, apakah ini technical error, atau kah di sini ada pelanggaran itu harus dilakukan pemeriksaan. Harus dilakukan pemeriksaan agar seperti ini tidak terjadi lagi," ujarnya.

Di sisi lain, Zaenur juga bertanya-tanya apakah pihak kejaksaan tidak menanyakan ke MA mengenai putusan kasasi. "Kan perkara kalau diajukan kasasi 250 hari putus. Apakah kemudian pihak kejaksaan tidak menanyakan kepada MA, misalnya berkirim surat gitu mengenai perkara tersebut ini perlu dijadikan evaluasi," katanya.

Denni terjerat kasus korupsi saat masih menjabat Direktur Utama PT Parardhya Mitra Karti pada tahun 2003. Saat itu, Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah selaku Direktur SDM Niskung serta Asisten Kebijakan SDM pada Direktorat SDM Niskung PT Telkom menunjuk perusahaan Alex sebagai konsultan analisa jabatan.

Proyek pengadaan jasa konsultan analisa jabatan tersebut dianggarkan sebesar Rp 5,7 miliar. Tapi berdasarkan hasil penelusuran, kejaksaan mengendus adanya kongkalikong dalam proyek itu. Kerugian negara akibat proyek ini mencapai Rp 2,7 miliar.

Sidang kasus ini berjalan di Pengadilan Negeri pada 2006 silam. Putusannya dibacakan Pada 29 Oktober 2007. Pengadilan memvonis Agus Utoyo, Tengku Hedi Safinah, dan Alex Denni 1 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsidair 3 bulan kurungan.

Denni dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ia juga diputus untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 789 juta. Jika uang pengganti itu tidak sanggup dibayar, maka akan diganti dengan hukuman penjara 6 bulan kurungan. (an)