Jukir Liar Minimarket di Koja 'Peliharaan' RW Mengaku Wajib Setor

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 20 Mei 2024 16:41 WIB
Jukir liar di salah satu minimarket yang ada di Koja, Jakarta Utara tetap beroperasi meski sudah ditertibkan, Senin (20/5/2024)
Jukir liar di salah satu minimarket yang ada di Koja, Jakarta Utara tetap beroperasi meski sudah ditertibkan, Senin (20/5/2024)

Jakarta, MI - Pada umumnya juru parkir (jukir) liar di minimarket di wilayah Jakarta mengaku bisa melakukan aktivitasnya karena ada oknum di belakangnya. Baik oknum ketua RW, oknum polisi dan ormas yang biasanya mereka menempatkan jukir pilihannya untuk berbagi hasil setelah malam minimarket tutup jam 22 00 WIB.

Contohnya pengakuan Taufik, 47, seorang juru parkir liar di salah satu minimarket di daerah Koja, Jakarta Utara. Dia mengaku harus menyetorkan sebagian pendapatannya ke RW setempat.

"Kadang dapat Rp 50.000 sampai Rp 60.000, setor Rp 30.000 ama RW yang punya wilayah," kata Taufik saat ditemui di lokasi Minimarket pada Senin (20/5/2024). 

Menurut dia, para jukir liar muncul lagi di minimarket meski sudah ditertibkan di daerah Koja, karena  jukir liar di Koja itu mengaku harus cari nafkah buat keluarga yaitu anak dan isteri.

"Kalau dilarang lalu makan keluarga kami sehari-hari gimana? Taufik dan jukir liar lainnya sudah sejak lama menyetorkan sebagian pendapatannya itu kepada RW setempat. Uang hasil setoran para jukir liar dimasukkan ke uang kas RW. Uang itu katanya digunakan untuk kegiatan warga, misalnya rapat atau karang taruna," ungkap Taufik.

Meski harus setoran, lanjut Taufik, pihaknya tidak merasa berkeberatan karena bersyukur tetap diizinkan mencari nafkah untuk keluarganya di depan minimarket itu. 

Menurut Ridho teman Taufik jukir liar di mikimarket di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, pendapatannya menjadi jukir liar juga tidak sebesar yang dibayangkan. 

Contoh, katanya, dia jarang mendapat uang mencapai Rp 100.000 setelah seharian menjaga parkir. Hal itu karena  Ridho tidak mau memaksa para pengunjung minimarket untuk membayar parkir. 

Selain itu, Ridho juga tidak pernah meminta para pengunjung membayar parkir dengan nominal yang sudah ditentukan. Menurut Ridho, jukir-jukir liar meski ada penertiban tidak merasa gentar. Mereka justru makin nekat beroperasi meski baru ditertibkan. Namun sekarang mereka selalu menerima berapa pun uang receh yang diberikan para pengunjung kepada dirinya. 

"Jarang dapat Rp 100.000. Kita namanya enggak menetapkan tarif, ada yang memberi Rp 1.000, Rp 2.000, ada yang Rp 700, enggak dipastikanlah," ungkap Taufik.

Meski pendapatannya tidak begitu besar, namun mereka  sudah menggantungkan hidupnya sebagai penjaga parkir selama 10 tahun. Dia juga harus menjadi tulang punggung untuk isteri dan kedua anaknya di rumah. Hal itu yang membuatnya tetap menjaga parkir meski sudah dilarang Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. (Sar)