CHT Masih Timbulkan Permasalahan, Pemerintah Dinilai Perlu Sederhanakan Struktur Pajak

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 30 Juli 2022 01:50 WIB
Jakarta, MI - Sistem tarif cukai hasil tembakau (CHT) di Indonesia masih dinilai menimbulkan permasalahan, khususnya upaya pengendalian konsumsi tembakau. Oleh karena itu, penyederhaaan struktur pajak dapat menjadi solusi. "Kalau misalnya kira mengurangi 1 tier, maka harga rokok akan naik sekitar hampir 3%," ujar Yurdhina Meilissa, Chief Strategist Center for Indonesia's Strategic Development Initiative (CISDI) dalam webinar KBR Meninjau Penghindaran Pajak Cukai Hasil Tembakau, Jumat (29/7/2022). Sementara itu, saat ini struktur pajak hingga penentuan harga ke konsumen terbilang sangat kompleks. Yurdhina mengatakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau tidak serta merta turut menaikkan harga rokok. Ada sebagian dari kenaikan tarif itu yang diabsorpsi oleh para pengusaha rokok. "Karena perusahaan sudah menikmati begitu besar laba. Kalau mereka bilang rokok merugi kalau struktur pajaknya dimain-mainin dan naik kemudian disimplifikasi, sebenarnya bukan rugi, tapi untungnya berkurang," jelasnya. Menurutnya, kebijakan perusahaan afiliasi meningkatkan passthrough pajak rokok, sehingga kenaikan pajak akan lebih efektif untuk mengubah harga rokok. "Jadi, kita berharap bahwa kebijakan yang lebih baik dari soal tier dan HJE akan membuat cukainya bisa secara utuh passthrough ke konsumen sehingga harga rokoknya bisa jadi mahal," pungkasnya. Sementara itu, Ketua Yayasan Harian YLKI Tulus Abadi menilai struktur sistem cukai rokok di Indonesia masih belum efektif. Ia juga memapaparkan apa saja dampak dari sistem cukai rokok di Indonesia yang belum efektif. Berikut 5 dampak rumitnya sistem cukai rokok di Indonesia Tingkat pelanggaran sangat tinggi, khususnya industri rokok kelas kakap Tulus Abadi mengatakan bahwa dampak dari rumitnya sistem cukai rokok di Indonesia adalah tingkat pelanggaran yang tinggi. Biasanya, hal ini terjadi di industri rokok besar. "Tingkat ada beberapa hal, pertama tingkat pelanggaran sangat tinggi, baik itu kelas kakap. Dengan adanya sistem-sistem yang rumit itu potensi pelanggaran dilakukan juga sangat besar. Cara mainnya seperti apa? ya itu harus kulik-kulik," ujarnya. Pendapatan negara dari cukai tidak signifikan Menurutnya, pendapatan negara dari cukai rokok dinilai tak signifikan. Hal ini karena penerimaan cukai dari sektor IHT menembus Rp152 triliun. "Ibu Sri Mulyani ini terlalu kecil mendapatkan Rp152 triliun ya, seharusnya negara bisa mendapatkan Rp350 sampai Rp400 triliun kalau sistem tipenya yang sederhana. Tapi karena terlalu rumit hanya 152 triliun, kurang dari 50 persen," paparnya. Persaingan antar industri rokok tidak sehat. Industri rokok besar bersaing dengan industri rokok kecil Dampak berikutnya adalah persaingan industri yang tidak sehat. Menurutnya, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 146 tahun 2017 tentang Tarif Cukai Tembakau dinilai berpotensi menyebabkan persaingan industri hasil tembakau menjadi tidak sehat. "Kalau kenaikan cukai yang jadi industri rokok, iya (industri rokok) kecil jika mati. Kalau industri rokok besar menyederhanakan atau menaikkan cukai ya jadi mati," paparnya. Industri rokok besar membuat sekoci (industri rokok kecil) untuk menghindari regulasi pajak/cukai Pemerintah menilai upaya penyederhanaan penarikan cukai atau simplifikasi cukai rokok bisa mematikan industri rokok di Tanah Air. "Memang akan mati bagi karena sistemnya tidak dibuat sederhana. Dan sebagai bayang-bagi bagi sekoci atau industri rokok besar. Sehingga jadinya tak efektif," ucapnya. Tidak efektif untuk pengendalian konsumen bagi masyarakat Kebijakan kenaikan cukai yang dilakukan tiap tahun di Indonesia tidak efektif dan menurunkan prevalensi perokok di Indonesia. Sehingga, tujuan pengendalian konsumsi belum tercapai. "Jadi tidak efektif bagi konsumsi masyarakat. Kenaikan rokok cukai tidak terkendali walaupun harus didorong untuk penyederhanaan. Rezimnya masih pendapatan bukan pengendalian," pungkasnya.

Topik:

Rokok Bea Cukai