Dunia Usaha, Penerimaan Negara dan Penegakan Hukum Pajak

Kamrussamad Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Fiskal Moneter.

Kamrussamad Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Fiskal Moneter.

Diperbarui 24 November 2025 11 jam yang lalu
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Fiskal dan Moneter
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Fiskal dan Moneter

Kejaksaan Agung (Kejagung) sedang menangani kasus dugaan korupsi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Modus kejahatan pajak berupa praktik memperkecil kewajiban pembayaran pajak, yang terjadi dalam periode 2016 hingga 2020.

Praktik tersebut melibatkan dua pihak, yaitu pegawai pajak dan wajib pajak. Pegawai pajak berperan memperkecil kewajiban pajak para wajib pajak. Sementaran itu, wajib pajak memberikan imbalan suap kepada pegawai pajak.

Kejagung bergerak cepat, di antaranya menggeledah kantor pajak dan rumah pegawai pajak, memanggil pihak-pihak terkait, serta mencekal sejumlah pihak. Selain itu, Kejagung telah menaikkan kasus ini ke tahap penyidikan.

Sebanyak 5 nama telah dicekal bepergian ke luar negeri. Yaitu, mantan Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi, Direktur Utama PT Djarum Victor Rachmat Hartono, dan Kepala KPP Madya Dua Semarang Bernadette Ning Dijah Prananingrum. Selain itu, juga terdapat Pemeriksa Pajak Muda Karl Layman dan juga Konsultan Pajak Heru Budijanto Prabowo.

Pencekalan dilakukan untuk mempermudah proses penyidikan agar pihak-pihak terkait tidak melarikan diri ke luar negeri. Kejaksaan Agung ingin menunjukkan keseriusan dalam mengusut kasus ini secara tegas dan tidak pandang bulu. 

Rentetan Kasus Pajak

Kasus pajak yang melibatkan pegawai pajak sudah berulang kali terjadi. Dalam rentang 2010 hingga 2026 setidaknya terpotret 10 kasus yang menghebohkan publik. Artinya, DJP sudah berkali-kali dibobol oleh para pegawainya, serta berulang kali juga jatuh di lubang yang sama.

Pada 2010, publik dihebohkan kasus pajak yang melibatkan Gayus Tambuhan, seorang pegawai pajak golongan IIIA. Gayus tidak bekerja sendiri, tapi melibatkan 27 nama pegawai lainnya. Selanjutnya, pada 2011 yang terbongkar kasus Bahasyim Assifie, yang merupakan Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII.

Pada 2012, terungkap kasus Dhana Widyatmika, yang mendapatkan vonis Mahkamah Agung 10 tahun penjara. Lalu, pada 2013 terciduk Pargono Riyadi, seorang Penyidik Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Pusat. Di tahun yang sama juga terbongkar kasus Eko Darmayanto dan Muhammad Dian Irwan Nuqisra, serta Tomy Hindratno. Serta pada 2016 tertangkap nama Handang Soekarno.

Tidak berhenti di situ, pada 2021, terungkap kasus Angin Prayitno, mantan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan DJP. Dan, yang masih hangat di ingatan publik adalah kasus pada 2023 yang melibatkan Rafael Alun Trisambodo, mantan Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah DJP Jakarta Selatan II.

Bila diamati secara seksama, dari berbagai kasus tersebut, modusnya hampir sama, yaitu para pegawai pajak berperan memperkecil kewajiban pajak wajib pajak, yang kemudian mendapatkan imbalan sejumlah uang dari wajib pajak.

Kasus yang terjadi berulang-ulang dengan modus yang hampir sama menandakan adanya kelemahan sistematis di institusi perpajakan. Hingga saat ini belum ada perbaikan yang signifikan untuk memperbaiki integritas para pegawai pajak.

Lemahnya integritas pegawai pajak berdampak terhadap berkurangnya penerimaan perpajakan. Hal tersebut dapat dilihat dari panjangnya daftar shortfall pajak. Perlu diketahui, shortfall pajak adalah tidak terpenuhinya target penerimaan pajak.

Sepanjang 2010 hingga 2024, alias 14 tahun, telah terjadi shortfall pajak sebanyak 10 kali. Hanya 4 kali penerimaan pajak mencapai target yaitu 2011 dan 2021 hingga 2023, yang lebih disebabkan adanya windfall (rezeki nomplok) naiknya harga komoditas pasca-pandemi secara signifikan.

 


Realisasi Penerimaan Pajak

 


Realisasi penerimaan pajak hingga akhir bulan kesepeluh tahun ini masih menunjukkan capaian yang memprihatinkan. Dalam rilis “APBN Kita” periode Oktober 2025 disebutkan, penerimaan pajak baru tercapai Rp1.459,0 triliun atau 70,2% terhadap Outlook 2025. 

Capaian tersebut mengalami penurunan bila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2024 yang mampu mengumpulkan pajak Rp1.517,5 triliun atau 79,0% dari target. 

Bila dihitung, pemerintah harus mampu mengumpulkan sisa target pajak 2025 sebesar Rp617,9 triliun. Tentunya hal tersebut merupakan tantangan yang tidak ringan. Sebagai perbandingan, pada November dan Desember 2024, pemerintah hanya mampu mengumpulkan pajak sebesar Rp414,1 triliun. 

Jika pemerintah gagal mengumpulkan pajak sesuai target maka akan terjadi shortfall (kekurangan) pajak kembali. Terjadinya shortfall akan berimbas pada berbagai aspek perekonomian dan fiskal negara, di antaranya ancaman meningkatnya defisit anggaran.

Defisit yang makin melebar secara otomatis akan berdampak terhadap meningkatnya pembiayaan utang. Pemerintah akan menerbitkan SBN lebih banyak dari yang direncanakan. Dampak selanjutnya, biaya bunga akan membengkak yang makin membebani anggaran negara.

Selain itu, shortfall juga akan mendorong kebijakan penyesuaian atau pemotongan belanja negara (automatic adjustment). Hal tersebut akan menyebabkan tertundanya sejumlah program prioritas, serta juga bisa menganggu realisasi Transfer ke Daerah (TKD).

Shortfall tidak bisa dianggap remeh. Jika tidak bisa dikelola dengan baik akan menyebabkan turunnya kredibilitas kebijakan fiskal pemerintah di mata investor, lembaga pemeringkat kredit, dan publik. 

Langkah Terobosan

Di bawah bayang-bayang terjadinya shortfall pajak, otoritas pajak telah melakukan strategi terobosan dengan mengejar 200  penunggak pajak kelas jumbo. Hingga pertengahan November 2025 telah terkumpul setoran pajak sebesar Rp11,48 triliun dari total target Rp60 triliun.

Otoritas pajak sudah seharusnya bertindak tegas dalam melaksanakan tugasnya. Otoritas pajak telah dibekali dengan wewenang yang mencukupi, mulai dari menerbitkan surat teguran, menerbitkan surat paksa, menyita barang milik, memblokir rekening, melelang barang sitaan, hingga menyandera wajib pajak.

Dengan kewenangan yang cukup besar tersebut sudah seharusnya target penerimaan pajak bisa tercapai. Lebih dari itu, seharusnya tax ratio perpajakan juga seharusnya meningkat seiring dengan pertumbuhan perekonomian.

Tax ratio Indonesia tercatat lebih rendah di banding negara-negara lainnya. Rasio perpajakan dari 2022 hingga 2024 masih berkisar di angka 10%. Capaian tersebut masih jauh di bawah negara-negara ASEAN, antara lain: Thailand 17,18%, Vietnam 16,21%, dan Singapura 12,96%. Bahkan lebih rendah di banding negara-negara Asia Pasifik yang mencapai 19% dan negara-negara OECD yang mencapai 34%.

Dalam rangka mendorong peningkatan rasio pajak perpajakan, DPR RI telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Selanjutnya, dalam RPJMN 2025-2029 juga ditetapkan target rasio pajak maksimal sebesar 15%.

Peningkatan rasio perpajakan harus selalu dioptimalkan sebagai modal utama pembangunan, sehingga nantinya bisa mengerem utang. Sebagaimana diketahui, utang pemerintah tiap tahun terus meningkat, per Juni 2025 mencapai Rp9.138 triliun atau setara dengan 39,86% PDB.

Utang yang bertambah besar akan mendorong peningkatan biaya bunga. Pada 2026 biaya bunga utang yang harus dibayar mencapai Rp599 triliun.

Alokasi bunga utang tersebut lebih besar dibanding anggaran perlindungan sosial yang hanya Rp508,2 triliun, program Makan Bergizi Gratis (MBG) Rp335 triliun, ketahanan energi Rp402,4 triliuh, ketahanan pangan Rp164,4 triliun, dan sektor kesehatan Rp244 triliun. 


Dampak Penegakan Hukum

Seiring dengan akan berakhirnya tahun 2025, Kejaksaan Agung perlu mempercepat proses pengungkapan kasus perpajakan yang melibatkan pegawai pajak dengan wajib pajak. Tindakan tegas Kejaksaan Agung memiliki efek deteren yang cukup besar baik bagi internal DJP maupun bagi para wajib pajak. 

Gebrakan Kejaksaan Agung diharapkan dapat meningkatkan integritas internal Direktorat Jenderal Pajak. Tindakan hukum yang tegas akan memberikan peringatan yang keras kepada seluruh pegawai pajak untuk bekerja sesuai aturan dan tidak terlibat dalam praktik korupsi.

Bagi kalangan wajib pajak, langkah hukum Kejaksaan Agung harus ditangkap bahwa tidak ada yang istimewa di hadapan aparat penegak hukum. Siapapun bisa dijerat bila melakukan manipulasi pembayaran pajak. 

Presiden Prabowo selalu menyampaikan, bahwa di republik ini tidak ada yang kebal hukum. Negara akan bertindak tegas terhadap siapapun yang mencuri uang rakyat. Tindakan Kejagung yang menjerat kasus pajak merupakan implementasi dari arahan kepala negara. 

Harapannya, aparat penegak hukum, baik Kejaksaan Agung maupun KPK, memberikan perhatian yang besar terhadap institusi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), mengingat penghasilan negara dari pajak menyumbang 72,47% dari total pendapatan negara.

Jika realisasi pajak menyusut maka akan mendorong peningkatan defisit anggaran. Kondisi tersebut akan mengganggu proses pembangunan nasional. Defisit anggaran yang membengkak akan mendorong negara untuk menambah beban utang. 

Harapan Dunia Usaha

Dunia usaha memegang peran penting dalam pembangungan nasional. Peran tersebut meliputi mendorong produktivitas nasional, menciptakan lapangan kerja, serta menghasilkan pendapatan negara melalui pajak. 

Peran dunia usaha dalam perekonomian nasional semakin meningkat secara signifikan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat peran investasi/PMTB terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 30%. BPS juga melaporkan, pada triwulan II dan triwulan III 2025, investasi telah tumbuh masing-masing sebesar 6,99% dan 5,04%.

Selain itu, Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM juga melaporkan, realisasi investasi hingga triwulan III 2025 telah mencapai Rp1.434,3 triliun atau sebesar 75,3% dari total target investasi 2025 sebesar Rp1.905,6 triliun. Realisasi investasi tersebut telah menyerap tenaga kerja sebanyak 1,9 juta orang.

Peningkatan investasi perlu didukung oleh kepastian hukum terutama dalam bidang pemungutan pajak, serta perlu didorong dengan kebijakan-kebijakan yang mendukung perkembangan dunia usaha.

Pelaku usaha berharap bahwa proses pemungutan pajak bisa dilakukan secara transparan dan berkeadilan. Otoritas pajak perlu memberikan pelayanan secara lebih berintegritas. Pelayanan yang nyaman akan mendorong pembayar pajak lebih termotivasi melakukan kewajiban membayar pajak secara tepat waktu dan tepat nilai.

Tindakan Kejaksaan Agung yang sedang mengusut kasus pajak perlu didukung bersama demi terwujudnya pelayanan pajak yang lebih baik. Momentum tersebut perlu dimanfaatkan oleh DJP untuk melakukan koreksi internal dan membersihkan institusi perpajakan dari oknum-oknum yang ingin mengambil keuntungan pribadi dan merugikan pembayar pajak.

Dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak, DJP juga perlu melakukan langkah-langkah terobosan, di antaranya memaksimalkan strategi intensfikasi dan ekstensifiaksi, terutama memperluas basis pajak, agar terhindar dari kesan berburu di kebun binatang.

Topik:

Kamrussamad DPR RI Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Fiskal dan Moneter